Mohon tunggu...
FX Aris Wahyu Prasetyo
FX Aris Wahyu Prasetyo Mohon Tunggu... -

Penulis di berbagai media seperti Kompas, Lampung Post, Wawasan, Suara Merdeka, dan Pontianak Post. Saat ini menjadi kontributor tetap untuk Majalah PsikologiPlus. Dan, pendidik di Kolese Loyola Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Undangan: Pesta Pendidikan Penuh Karisma

29 Agustus 2013   06:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:40 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana agar memiliki karisma? Buku “The 21 Indispensable Qualities of A Leader” karya John C. Maxwell mengutip kata-kata Dan Reiland, Wakil Presiden Pengembangan Kepemimpinan, INJOY, “Buatlah orang lain merasabahwa diri mereka baik, bukan membuat mereka merasa diri Anda baik”. Pernyataan itu benar adanya dan sudah sepantasnya untuk dilaksanakan oleh semua pemumpin di manapun.

Dengan kata lain dalam kepemimpinan sangat mementingkan adanya penghargaan atau apresiasi pada semua orang di sekitarnya, terlebih orang-orang yang dipimpinnya. Kadangkala sikap egois melanda banyak pemimpin di mana mereka ingin dihargai dan diakui bahwa mereka adalah sosok yang hebat dan sukses dalam kinerja mereka. Padahal sesungguhnya pemimpinlah yang harus mengenal, mengakui, dan menghargai orang-orang yang dipimpinya sebagai pribadi-pribadi yang unik dan berpotensi.

Manusia dan tak luput para pemimpin seringkali berfokus pada bagaimana orang lain harus bersikap pada dirinya. Inilah yang disebut egois. Bahkan manusia akan mudah menuntut orang lain berubah dan mengikuti apa yang dipikirkan dan dikehendaki oleh dirinya. Manusia akan sulit menuntut dirinya sendiri untuk berubah dan menyesuaikan dengan lingkungan dan orang lain. Maka hancurlah sebuah negara, lembaga, komunitas, keluarga yang dipimpin oleh pribadi seperti ini.

Celakanya bangsa Indonesia sedang mengalami krisis kepimimpinan. Banyak pemimpin selalu mencela pihak atau golongan lain tanpa memberi solusi apapun. Apa saja yang dilakukan pihak atau golongan lain selalu dinilai jelek. Jika ada hal baik yang dilakukan pihak lain, ada keengganan untuk memuji dan memberi apresiasi. Inilah kepemimpinan penuh gensi demi kepentingan pribadi dan golongan masing-masing. Rasanya begitu sulit membuat pihak lain merasa mereka baik tetapi cenderung menginginkan golongannya yang terbaik dan harus dinilai baik. Sesungguhnya inilah kiamat nyata yang terjadi di era modern.

Konteks Pendidikan

Para siswa sering mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari para guru dengan berbagai pola, seperti selalu dicap jelek, tidak mendapat apresiasi yang seharusnya mereka terima, sampai pada pembunuhan karakter lewat doktrinisasi teori yang tak kunjung henti. Sangat ironis memang karena para siswa dituntut untuk selalu mengikuti dan menyesuaikan pola pikir dan perilaku para guru mereka. Para siswa harus memberi kesan baik jika mereka mau sukses belajar di sekolah. Akhirnya sekolah menjadi tempat yang sangat kental dengan kediktatoran atas nama humanisasi dan generasi yang lebih baik.

Keadaan pendidikan kita rasanya tidak memiliki pengharapan untuk menuju ke situasi yang menyenangkan dan penuh makna. Kekelaman dan masa depan suram yang selalu menghadang di depan para siswa. Sekolah menjadi tempat yang menakutkan bagi anak-anak zaman ini.

Jenderal Perancis, Napoleon Bonaparte, melihat para pemimpin sebagai “pemberi harapan”. Menurutnya, pengharapan adalah harta yang paling berharga. Maka sangat indah dan mengesankan jika guru sebagai pemimpin pendidikan juga mampu memberi pengaharapan bagi para siswa. Kehadiran guru benar-benar diharapkan dan diyakini akan membantu para siswa menemukan potensinya. Inilah sebuah tantangan besar bagi dunia pendidikan.

Rasanya tidak adil jika hanya berfokus pada guru untuk mengembangkan dan memajukan pendidikan di negara tercinta ini. Sebagai pemimpin utama, para pejabat elit di lingkungan pendidikan pun hendaknya mampu memberi pengharapan bagi anak-anak bangsa ini dengan sistem pendidikan yang tidak membebani hidup mereka. Mata pelajaran yang begitu banyak, kurikulum yang begitu cepat berganti, sistem evaluasi nasional yang ikut menentukan kelulusan merupakan bentuk perampasan harapan anak bangsa untuk menikmati pendidikan yang sewajarnya.

Akhirnya John C. Maxwell menegaskan bahwa karisma selalu memikirkan orang lain. Para pemimpin yang memperhatikan karisma lebih memikirkan serta memperhatikan orang lain ketimbang diri sendiri. Sudah waktunya elit pejabat di lingkungan pendidikan (menteri pendidikan dan jajarannya, dinas pendidikan dan aparaturnya) memikirkan nasib anak bangsa ini dengan kejujuran dan ketulusan, bukan demi kepentingan tertentu. Para guru dan administrator sekolah pun hendaknya mengabdikan dirinya untuk memahami anak didik sebagai pribadi yang unik dan penuh potensi.

Mari kita renungkan kisah Perle Mesta dalam buku “The 21 Indispensable Qualities of A Leader” berikut ini. Perle Mesta ditanyai apa rahasia kesuksesannya dalam mengundang banyak orang kaya dan terkenal ke semua pesta yang ia adakan. “Semuanya tergantung pada sambutan serta ucapan selamat jalannya,” katanya. Ketika seorang tamu datang, ia menyambutnya sambil berkata, “Akhirnya Anda datang juga!” Ketika tamunya pulang ia mengatakan, “Sayang sekali Anda harus segera pulang!” Kisah ini menunjukkan betapa Perle Mesta memfokuskan perhatiannya pada orang lain, bukan dirinya sendiri. Dia menempatkan tamunya sebagai pribadi yang hebat dan sangat diharapkan dalam pestanya. Itulah karisma yang sesungguhnya. Mari merayakan pesta pendidikan yang penuh karisma ala Perle Mesta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun