Meningkatnya jumlah penderita covid-19 secara signifikan terhitung sejak kasus pertama di Indonesia pada  2 Maret 2020 hingga 8 April 2021 telah tercatat sebanyak 1,5 juta kasus. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus tersebut mulai dari himbauan untuk isolasi diri dengan upaya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) serta penghimbauan masyarakat agar selalu mematuhi dan menerapkan protokol kesehatan. Tidak hanya itu, pemerintah juga berupaya melalui pemberlakuan kewajiban masyarakat yang akan bepergian atau melakukan perjalanan ke luar kota untuk menunjukkan surat keterangan hasil rapid test negatif covid-19 yang berlaku 14 hari sejak diterbitkannya surat rapid test tersebut serta upaya vaksinisasi yang tengah gencar dilakukan saat ini.
Sejak kebijakan tahun lalu terkait isolasi mandiri, pemerintah berasumsi bahwa ketika menjelang hari raya atau hari libur panjang tetap akan terjadi peningkatan aktivitas pelaku perjalanan yang tentunya akan menimbulkan cluster covid-19 baru. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan sejumlah syarat bagi pelaku perjalanan diantaranya surat rapid test, swab PCR yang negatif, maupun GeNose yang bertujuan untuk mencegah penyebaran virus serta mengetahui dan mengantisipasi apabila orang tersebut positif corona. Persyaratan tersebut berdasarkan surat edaran Kepala BNPB Selaku Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 9 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease-19 (Alih Usman, 2021)
POKOK PERMASALAHAN
Kasus-kasus pemalsuan surat keterangan tes rapid yang dikeluarkan oleh klinik atau tenaga medis akan menerima beberapa sanksi yang telah ditetapkan sebelumnya, baik itu pidana maupun perdata. Hal tersebut menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai bentuk pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah serta Tata Cara Penanggulangan Seperlunya. Permasalahan ini perlu adanya analisis dari kacamata hukum supaya masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan berupa tes rapid dan tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dapat mematuhi peraturan untuk memutus rantai covid-19 sehingga kebijakan yang telah ditetapan akan berjalan sebagaimana mestinya.
Tentunya, oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam memperjualbelikan dan menggunakan surat keterangan tes rapid palsu tersebut memiliki beberapa alasan seperti kasus di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara yang menangkap dua orang tenaga kesehatan yang ketahuan menerbitkan ratusan lembar surat keterangan tes rapid palsu yang akan digunakan penumpang kapal untuk menyeberang ke Pulau Nias melalui Pelabuhan Sibolga. Tindakan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah dengan bantuan salah seorang perawat lainnya di sebuah klinik kesehatan di daerah tersebut lantaran terdesak uang untuk melunasi hutangnya.
Pada kasus tersebut, Kasat Reskrim Polres Tapanuli Tengah, AKP Sisworo mengatakan bahwa tidak ada perbedaan surat rapid test palsu dengan yang asli, namun setelah diteliti ternyata surat rapid test palsu yang diterbitkan pelaku sama sekali tidak mencantumkan kode registrasi dari instansi yang dicantumkan serta yang terdapat di surat itu hanyalah tanda tangan seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah yang dipalsukan oleh para tenaga kesehatan tersebut. Dokter inilah yang kemudian melaporkan kejadian itu pada polisi setempat. Pasalnya setelah dilakukan penyelidikan dan dikonfirmasi ke fasilitas kesehatan yang dimaksud, mereka mengaku tidak pernah memiliki daftar nama sejumlah orang itu serta instansi merasa tidak mengeluarkan surat keterangan tersebut (Raymond, 2020).
Kasus pemalsuan surat tes rapid serupa juga terjadi di Palangka Raya dengan oknum pengguna seorang sopir di Posko Lintas Batas Gugus Tugas Penanganan Covid 19 Palangka Raya. Kejadian ini acap kali terjadi di daerah tersebut. Oleh karena itu, Antonius Kristianto sebagai Ketua DPD PPKHI Kalimantan Tengah memeringatkan bahwa tidak hanya oknum yang mengeluarkan surat, tetapi oknum yang menggunakan surat tersebut dapat dikenai hukuman pidana. Beliau juga mengatakan bahwa surat hasil tes rapid sebagai bukti yang menerangkan bahwa seseorang itu dalam keadaan sehat atau tidak. Apabila para sopir ini bekerja atas nama perusahaan, maka perusahaan pun wajib memfasilitasi rapid tes kepada karyawannya yang bepergian dalam menjalankan pekerjaan (Andre Faisal, 2020).
Melalui beberapa data kasus di atas dan kasus-kasus yang dikeluarkan oleh iNews (2020), ternyata kasus seperti ini telah terjadi sepanjang tahun 2020 di berbagai daerah dengan alasan pengguna diantaranya seperti ketakutan atau kecemasan jika dinyatakan negatif sehingga enggan melakukan tes Covid-19 yang sebenarnya, kemudian pengguna juga ingin mencari cara yang cepat untuk mendapatkan surat keterangan tanpa mengantri atau mendaftar telebih dahulu, hingga persoalan biaya (Maria Christina Malau, 2020).
Menurut sumber yang sama, petugas memproses sebagian pelaku perjalanan yang ketahuan untuk sebagian diamankan dan menjalani proses hukum, lalu sebagian pula ada yang diminta untuk menjalani tes agar bisa mendapatkan dokumen sah dan melanjutkan perjalanannya. Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsudin, sangat mengapresiasi tindakan kepolisian dan satgas covid-19 dalam pengungkapan sindikat pemalsu tes rapid ini baik di bandara, pelabuhan, maupun jalur darat yang lain karena menurutnya hal tersebut akan berdampak banyak terhadap orang lain apabila pelaku perjalanan ternyata terbukti positif Covid-19. Menurutnya temuan mengenai pemalsuan hasil tes Covid-19 perlu mendapatkan perhatian khusus karena dampaknya sangat berbahaya, bisa saja pelaku perjalanan tersebut positif Covid-19 sehingga dapat menularkan kepada orang lain di sekitarnya (Noverdi Puja Saputra, 2021).
ANALISIS HUKUM
Apabila ditinjau dari kacamata hukum, bagi pelaku yang membuat dan memalsukan surat keterangan hasil tes rapid serta bagi pengguna yang secara sengaja menggunakannya akan dikenakan sanksi berdasarkan pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun yang berbunyi demikian :
- Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun
- Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Selain itu, apabila pemalsuan tersebut diberikan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya dan surat keterangan hasil tes tersebut digunakan oleh seseorang seolah-olah isinya sesuai kebenaran, maka dokter dan yang menggunakan surat tes rapid palsu tersebut dapat dipidana berdasarkan pasal 267 ayat (1) dan (3) KUHP yang berbunyi demikian :
- Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
- Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Tidak hanya itu, menurut beberapa kasus dimana dokter justru tidak melakukan campur tangan terhadap pemalsuan surat tetapi tanda tangannya digunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab dalam pembuatan surat palsu, maka oknum tersebut dapat dikenakan sanksi berdasarkan pasal 268 KUHP yang berbunyi demikian :
- Barang siapa membuat secara palsu atau memalsukan surat keterangan dokter tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
- Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud yang sama memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsu
Dilansir dari Jurnal Pojok Penyuluhan Hukum Pusat Penelitian Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI (2021), Â selain ancaman pidana, pemalsuan ini rentan digugat secara perdata, seperti pasal 1365 KUHPerdata oleh instansi atau tempat penyelenggaraan tes Covid-19 yang namanya dipakai dalam surat tersebut, karena hal ini tentu saja merugikan dan merusak nama baik dari instansi ataupun tempat penyelenggara tes Covid-19 tersebut.
Apabila dikaitkan dengan dasar hukumnya, tenaga kesehatan pada kasus di atas dapat dikenakan pasal berlapis yaitu pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat yang dapat menimbulkan kerugian dan pasal 268 KUHP terkait dengan pemalsuan surat keterangan dari dokter sehingga dari kedua pasal tersebut para tenaga kesehatan yang terlibat kasus akan diancam pidana penjara selama-lamanya enam tahun. Adanya penerbitan surat keterangan hasil tes rapid palsu dengan disertai nama instansi yang pada kasus disebutkan bahwa surat palsu itu dikeluarkan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah dan tanda tangan dokter yang dipalsukan dapat dikenakan sanksi perdata berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata jika RSUD dan dokter tersebut mengalami kerugian atas pencemaran nama baik instansi dan menuntut kerugian terhadap para tenaga kesehatan yang telah memalsukan surat tersebut.
Selanjutnya, pada kasus sopir truk yang menggunakan surat keterangan tes rapid palsu dapat dikaitkan dengan pasal 263 ayat (2) KUHP, Â pasal 267 ayat (3) KUHP, dan pasal 268 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya enam tahun. Pada kasus ini tidak terdapat pelanggaran hukum perdata karena sopir truk berada di posisi pengguna tanpa melibatkan nama baik instansi maupun menyebabkan kerugian masyarakat secara langsung. Namun, terlepas dari hal tersebut, sopir truk tetap mendapat sanksi yang sama dengan pembuat surat palsu itu secara hukum pidana. Menurut saya, pemerintah, satuan petugas, dan kepolisian telah bekerja sama untuk melakukan fungsi dan tugasnya masing-masing, terlihat bahwa adanya pengawasan area moda transportasi, penangkapan sindikat hingga terkuaknya kasus-kasus serupa yang kemudian diselidiki dan ditindaklanjuti dengan regulasi hukum yang terkait.
KESIMPULAN
Dari pembahasan dan analisis permasalahan diatas dapat disimpulkan bahwa kasus pemalsuan tes rapid dapat dikenakan sanksi baik secara pidana maupun perdata serta baik dari pembuat, pengedar, maupun pengguna. Permasalahan di atas dikatakan sebagai pelanggaran atas hukum dan peraturan yang telah ditetapkan pemerintah karena tindakan tersebut dapat merugikan masyarakat luas dan justru semakin memperparah kondisi wabah covid-19 di Indonesia. Adanya ketegasan dan kesigapan dari para satgas covid-19 bersama kepolisian sangat mengambil andil dalam penegakan hukum dan perlindungan masyarakat sehingga kasus-kasus pemalsuan tes rapid dapat diminimalisasi sebagai upaya dalam usaha bersama untuk mencegah dan menanggulangi penyebaran covid-19. Dengan dikumandangkannya pengetahuan akan sanksi pidana tersebut disertai ketatnya pengawasan petugas diharapkan mampu untuk membuat para pelaku sadar dan jera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H