Mohon tunggu...
Kinar Set
Kinar Set Mohon Tunggu... Pustakawan - rajin dan setia

senang belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Radikalisme Tidak Muncul dari Ruang Hampa

5 November 2022   14:31 Diperbarui: 5 November 2022   14:47 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seringkali kita mendengar pernyataan polisi tentang seseorang yang punya hubungan dengan beberapa faham atau kelompok tertentu . Katakanlah dengan Negara Islam Indonesia (NII), DI/TII Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia, HTI (Hisbuth Tahrir Indonesia). Atau mungkin juga seseoang terafiliasi dengan JAD (Jamaah Ansharut Daulah) atau JI (Jamaah Islamiah ) dll.

Jika kita mendengar itu, sering mulut kita mencibir, lalu berujar " ah polisi, bisa-bisa bae". Ujaran itu mengarah pada kesangsian bahwa seringkali polisi atau stake holder lain memberi penilaian atas sesuatu terlalu dini. 

Pikiran kita mungkin mengarah pada " ah gak mungkin orang sesopan itu terkait dengan kelompok HTI" atau juga ujaran " ah gak mungkin orang sangat alim gitu tega membawa dan melakukan bom bunuh diri," Namun secara fakta, hal itu terjadi.

Radikalisme tidak muncul dari ruang hampa. Tidak mungkin seseorang tiba-tiba saja ingin meledakkan hotel di jantung Jakarta seperti JW Marriot atau yang lain. Tidak mungkin juga sekelompok orang tiba-tiba punya pikiran membuat bom mobil di daerah Jawa dan kemudian dibawa ke Bali dan diledakkan di depan sebuah club malam yang penuh dengan wisatawan. 

Radikalisme dan terorisme itu menyusup dengan pelan dan mungkin dalam jangka waktu lama ke relung-relung para pelaku itu dan kemudian mempengaruhi pandangan mereka pada lingkungan dan sekelilingnya.

Bisa saja faham itu dibawa oleh orang lain yang lebih tua dan sering mengajar kita. Bisa juga dari sanak atau teman yang akrab dengan kita dan kemudian pandangan mereka mempengaruhi pandangan kita juga. Kita ingat keluarga pengebom tiga gereja di Surabaya. Ternyata sang ayah memang simpatisan faham tertentu sejak muda.

Setelah berkeluarga dia mendatangkan guru ngaji bagi keempat anaknya yang punya faham yang sama. Sehingga faham yang dia miliki memperkuat segala pandangannya soal agama dan bagaimana pandangannya dengan warga lain yang berbeda. Sehingga kita tidak heran jika keluara itu akhirnya memilih lankah mengebom tiga gereja sebaai langkah jihad yang diyakininya benar.

Sehingga sebenarnya, apa yang disampaikan aparat bahwa dia terafiliasi jaringan tertentu sebenarnya bukan tudingan yang ngawur atau asal bicara. Seperti saya kemukakan di atas bahwa radikalisme dan terorisme tidak muncul dari ruang hampa. Dia berkelindan dengan fakta sehingga muncul pandangan berbeda dari beberapa orang yang meyakininya.

Tudingan itu juga bukan stigmatisasi agama. Karena serinkali dilakukan oleh orang yang punya faham tertentu yang sering jauh dari nilai agama itu sendiri. Karena itu kita harus bisa memfilter faham-faham itu. Jangan sampai faham-faham itu meracuni kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun