Daun itu mengalun kian anggun. Menggerakkan setangkai bunga mawar merah yang masih enggan kembang. Aku masih diam termenung. Duduk disebuah bangku besi yang dingin dengan roman yang membawaku hanyut dalam perasaan. Melihat sang mentari yang ingin segera beristirahat. Merebahkan dirinya dan kembali untuk esok hari. Langit jingga mengantarnya memasuki ruang peristirahatan. Senja.Â
Suasana senja ini seperti pernah kurasakan sebelumnya. Kurasakan diantara relung -- relung jiwa yang kesepian. Entah mengapa. Saat -- saat yang ada di hari itu.Â
Sebuah hari yang mengingatkanku pada sebuah nama. Sebuah suara. Juga sebuah jejak. Jejak -- jejak itu ada  terselimuti daun -- daun kering, kuning kecoklatan. Yang jatuh diterpa angin sepoi -- sepoi. Menjatuhkan diri diatas tanah coklat berpaduh hijau diantara rerumputan.Â
Teduh, rindang, juga menyeramkan. Sebuah medan menuju pegunungan. Jalanan terjal juga lika -- liku tanjakan. Juga langit yang menatapku hari itu. Awan yang bergerak mendahului langkahku. Yang mungkin mengalunkan sebuah perasaan yang sama dengan rasaku.
Hati. Hatiku masih tertinggal dijalan itu. masih bisa merasakan saat -- saat itu. Saat dimana aku mencoba bertahan. Diantara hati juga diantara jiwa. Rasanya aku mati terbelenggu. Mati tanpa jiwa. Juga mati tanpa rasa. Namun hati ini tetap menggugah sebuah rasa yang berbeda. Membawa dan menggiring sebuah nama. Yang meninggalkan sebuah jejak juga rasa.
Lihat. Daun itu berkerumun diantara tanah yang basah kerana hujan. Saling tumpang tindih tutup -- menutupi. Menyembunyikan rasa yang jauh tertinggal. Tetapi kini rasa itu masih ada. Sangat ada. Bahkan tak terusik oleh rasa apapun. Rasa itu masih utuh. Meski sudah sangat jauh waktu berlari. Sepertinya rasa itu takkan mudah terganti. Entah aku pun juga tak mengerti mengapa. Yang jelas hatiku masih tertinggal di senja itu hari itu.
***
Pepohonan tinggi menjulang dengan rumput yang bertumbuh tinggi menyodorkan nuansa penuh makna. Suara deretan kayu yang membunyikan "kreeekk.. kreekk.." menyajikan suasana mistis. Kuraih tangan Mahen dan menggandengnya erat -- erat. Serasa tak ingin daku ini melepas.
Angin dingin melewati dan menyapaku. Menggerai jilbab biru yang kini kukenakan. Semilir.
Kami menyusuri jalan diantara guguran daun yang menguning. Merasakan hangatnya udara yang mulai memanas. Menerobos angin yang bertiup sepoi -- sepoi. Dan menyeruak rumput -- rumput yang meninggi.Â
Kami berjalan berbaris memanjang layaknya bermain kereta api. Dengan suara khas dari gesekan sepatu dengan tanah yang berselimut daun menambah rasa keharmonisan alam. Burung -- burung beterbangan dan berpasangan menyanyikan lagu ceria. Membuat pepohonan yang rindang mengayun mengikuti kemerduan nyanyian burung. Suasana alam yang hijau dan segar sangat menggugah mata. Bagaimana tega tangan -- tangan ini mengusik keindahan seluar biasa ini?
Kakiku masih terus melangkah. Melewati dinding -- dinding jurang yang curam. Tanah tebing perlahan menyapa dengan secuil runtuhan tanah -- tanah coklatnya. Membuat mataku harus selalu waspada. Hembusan napas mengeluarkan seduhan asap pertanda suhu disini sangat dingin. Membawa angin melewati dan menyejukkan bola mataku. Tangan -- tangan manis masih terus bercengkerama dengan tongkatnya. Memijak tanah dengan pakuan rasa semangat.
***
Ada sebuah hari yang tak sempat tergambarkan karena terlalu indah. Ia melukis cerita yang sangat sulit dilukiskan. Merangkai cerita yang tak pernah cukup untuk diceritakan. Hari itu hanyalah dapat kau rasakan jika kau ingin mengetahuinya. Ada serbuk halus yang membawamu terbawa dalam sebuah suasana. Suasana hati juga suasana dengan alamnya. Ia menuntunku menyusuri dinding beratap rindu. Melepaskan sebuah asa juga belajar menangkap sebuah mimpi.
Kala itu angin menyambar hatiku. Menjatuhkan puing rasa diantara semak -- semak. Ia torehkan kenangan manis juga pahit dalam semak itu. menyuguhkan sebuah rasa yang entah dari mana. Meninggalkan jejak -- jejak luka. Bukan, bukan luka. Itu sebuah goresan catatan sebuah jiwa. Memendam dan dipendam itu terpendam.Â
Rasanya agak sedikit sakit banyak resahnya. Entah iya atau tidak kala itu. Sebuah jejak datang dengan membawa wajahnya yang tersenyum dengan teduh.Â
Sebuah suara diantara jejak -- jejaknya yang khas dan syahdu. Ya, jejak sosok pemuda nan hasut hatiku. Kala itu kami jalan berdampingan. Menginjak dedaunan kering yang mulai tertimbun tanah. Memandu hati yang memacu rasa. Namun kandas dengan seketika. Tetapi jejak itu.. ah sudahlah jejak -- jejak itu kini yang kurindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H