Beberapa tahun lalu saya punya sahabat baru. Inisialnya KI. Pertemuan awalnya karena dikenalkan sahabat saya yang lainnya. Kesan pertama kenal KI biasa saja. Tapi ternyata kemudian berlanjut asyik.
Sejak KI bujang sampai menikah saya akrab. Bahkan kata dia, dari sekian temannya yang diundang resepsi pernikahannya, yang datang dari wilayah paling jauh adalah saya. Bagi gue sih slow bae, atau jangan-jangan ini bumbu dia saja, buahahaaa.
Tapi sungguh, saya kagum dengan KI ini. Bagi saya ada nilai plus dibanding kenalan saya lainnya. Kami saling kunjung. Menginap di akhir pekan menjadi agenda kami. Dia tanpa beban mengenalkan saya kepada keluarganya; ibunya, bapaknya, kakaknya, suami dan istri kakaknya, tetangganya, dan lainnya.
Ini gila sekali. Zaman semodern gini masih ada orang supel tanpa tedeng aling-aling. Apa KI tidak khawatir ya seandainya saya tiba-tiba berbuat kriminal gitu di rumahnya? Haaa.
Minat dia agak berbeda dengan saya. Ideologi kami juga berbeda. Termasuk jurusan kuliahnya. Tapi ya nyambung. Kami saling mengamati lanskap kota. Meratapi nasib. Sampai memprediksi hal-hal ganjil yang padahal hanya menghabiskan jajan saja.Â
Oh ya, saking seringnya berkomunikasi kami pernah berkongsi membuka usaha. Berjalan beberapa waktu. Tapi akhirnya bubar karena kesibukan. Saya lanjut sekolah pascasarjana, dia membantu perusahaan kolega kakaknya. Tetap saja, komunikasi ngopi masih awet.
Diam-diam, saat saya sering menginap di rumahnya, saya amati. Amal apa yang membuat dia sebaik ini? Saya benar-benar heran.
Selidik punya selidik--beruntung saya berbekal pengalaman investigasi dan jurnalistik meski dasar sekali, ada satu hal yang selama ini belum pernah saya lakukan. Sedangkan bagi dia, ini kegiatan rutinitasnya.
Sepele sih, namun jika tidak dibiasakan akan berat. Bahkan enggan. Apakah itu? Jawabannya menjadi judul tulisan ini.
Ya, setiap hendak pergi baik jauh maupun dekat, KI selalu mengecup kening ibunya. Sang ibu meresapi betul kasih sayang anaknya ini. Terkadang saya lihat matanya terpejam.Â