Pagi itu, saya bangun agak telat, pukul 07.00 WIB. Padahal jadwal kuliah jam pertama pukul 07.30 WIB. Saya segera bergegas menuju kampus. Saya berdiri di depan kelas, saya mendengar sudah ada suara dosen di dalam. Saya agak ragu masuk, apalagi telat 20 menit.
Tiba-tiba seorang mahasiswi senior keluar dari kelas. Saya menyapa dia, "Bu, sudah ada dosennya ya?" Dengan tergupuh-gupuh dia menjawab "Iya, Mas. Beliau disiplin, mahasiswa yang telat gak boleh masuk. Coba aja kalau gak peraya." Jantung saya semakin berdebar, ngosngos-an belum berhenti ditambah penjelasannya yang makin bikin adrenalin dag dig dug.
Hampir saja saya pergi meninggalkan kampus begitu saja. Namun kembali saya urungkan, kalau saya pulang maka perjalanan saya dari Kampung Rambutan ke Ciputat sia-sia belaka.Â
Tiba-tiba tekad saya semakin bulat ingin masuk ketika ada seorang teman mengirim pesan di WA.Â
"Mas, saya gak berani masuk, karena dosen sudah di dalam kelas, saya sedang di taman, saya melihat mas di depan kelas, coba deh masuk, kalau diterima dosen, saya akan ikut masuk nanti," ungkapya kurang lebih.
Saya celingak-celinguk, ternyata dia ada di taman bawah, sedangkan kelas di lantai dua. Bismillah, saya bulatkan hati masuk kelas. Gagang pintu sudah saya putar. Bunyi deritan besi pasti menjadi pusat perhatian orang-orang di dalam.Â
Setelah berhasil, saya buka daun pintu perlahan. Terasa aura yang luar biasa, seperti tim pembutu hantu masuk ke areal mistik. Plongmeski penuh kekhawatiran.
Kemudian saya masukkan kepala, sedangkan leher dan semua tubuh masih di luar. Saya menyapu pandangan seisi ruangan. Ketika tepat beradu pandang dengan dosen, beliau langsung menegur "Maaf, saya tidak menerima mahasiswa yang telat. Silakan keluar!"
Jeggeeer... Saya bagaikan perahu yang disambar petir di tengah ombak samudera. Saya mencoba menenangkan hati lalu berlalu menuju tempat apa pun yang bisa menjadi persinggahan.Â
Selesai kelas, seorang kawan bercerita, "Jangankan kamu yang tadi telat 20 menit, Bro. Ada yang cuma telat 2 menit aja gak boleh masuk!". Â
***
Dosen yang saya ceritakan di atas tak lain ialah Prof Dr Azyumardi Azra MA. Namanya tak asing lagi di dunia akademik, politik, maupun intelekatual kontemporer dunia saat ini.Â
Media masa sering menjadikan beliau sebagai narasumber berbagai tajuk, maklum beliau memang memiliki pandangan yang luas dan pengamatan yang cukup berbeda dari para tokoh pada umumnya.
Hampir setiap minggu, tulisannya tampil di rubrik Resonansi harian Republika dan kolom Opini harian Kompas. Di depan para mahasiswa beliau sering bercerita tentang aktivitas maupun kegemarannya menulis.Â
Bahwa beliau menulis bisa 2-3 jam seelum subuh lalu diselingi dengan salat, dan diakhiri dengan jogging pukul 06.00. Itu dilakukannya setiap hari. Sungguh semangat yang luar biasa.
Beliau memberikan beberapa kasus. Suatu ketika di Brusel, seorang anggota parlemen mengejek Indonesia sebagai negara yang intoleran karena masih ada aksi kekerasan baik antarsuku maupun agama.
Melihat hal ini, Prof Azra tak tinggal diam. Beliau langsung membuka peta dan membentangkan batas wilayah Indonesia dengan Eropa.Â
"Luas Indonesia itu jauh lebih besar, bahkan sepadan dari Turki hingga London! Di Indoneisa, ada peringatan hari raya berbagai macam agama, sedangkan di Amerika mana ada? Kami jauh lebih toleran daripada kalian!" tutur Prof Azra dengan nada emosi.
Tak lama ini, beliau juga "berhasil" memarahi wartawan dari Prancis yang mengganggu jam sibuk beliau. Si wartawan tidak membalas email dan ia datang ingin wawacara tidak sesuai waktu yang dijadwalkan.Â
Dengan bahasa Inggris yang fasih, Prof Azra memarahi sang wartawan. "Nah, kalau kamu tidak bisa berbahasa asing, bahagimana mau memarahi orang bule?" kelakar Prof Azra.
***
Saya memang baru beberapa kali ikut kelas Prof Azra, namun meski begitu banyak sekali ilmu yang saya dapat dari beliau. Sebanyak 4-5 halaman kertas kosong habis untuk mencatat buah pikirnya.Â
Perspektif yang luas menjadikannya luwes dan lentur dalam menjawab berbagai persoalan. Bahkan, pengalaman dan sejarah hidup yang beliau alami bisa menjadi bingkai solusi dari problematika yang menghimpitnya.
Beliau kuliah di Ciputat 1976-1982. Di saat itu, jika mahasiswa lapar bisa menuju warung bubur kacang ijo dengan mudah dan harga yang murah. Sedangkan kini, lebih banyak kafe borjuis.Â
Tempat warung bubur kacang ijo itu pun kini sudah tidak ada. Ini juga yang melatarbelakangi perubahan sosial ekonomi mahasiswa.
Demikian pula ketika mahasiswa bertanya tentang subjektivitas penulis sejarah, Prof Azra menyatakan bahwa subjektivitas tidak bisa dielakkan, ia terjadi secara alamiah.Â
Beliau mencontohkan kenapa Disertasi yang ditulisnya bertema jaringan ulama Nusantara, karena memang latar belakang beliau di kampung halaman---yakni L.A. alias Lubuk Alung, Padang Pariaman---kental dengan nuansa tradisi para ulama. Yang pada akhirnya buku itu terbit luas dan menjadi rujukan utama dalam kajian sejarah ulama Nusantara.
Di samping aktivitas yang super padat---tulisan ini belum menyinggung peran aktif beliau di pemerintahan, organisasi nasional maupun internasional---pemikiran yang jernih, sosok yang disiplin tinggi, serta produktif menulis dan mengisi konferensi, yang membuat saya kagum dari sosok beliau adalah satu hal.
Di usianya 62 tahun ini (lahir 1955) beliau masih menyempatkan waktu untuk para mahasiswa dalam hal keilmuan mapun sekadar foto bersama dan beliau sendirilah memeriksa makalah mereka satu per satu dengan cermat dan teliti.Â
Sebuah pekerjaan yang dianggap 'remeh' oleh kebanyakan tokoh, namun bagi beliau sangatlah penting. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan baik rohani dan jasmani untuk beliau. Amin.
Alfaqir;Fathurrochman Karyadi, mahasiswa magister di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, konsentrasi filologi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H