Mohon tunggu...
Atunk F. Karyadi
Atunk F. Karyadi Mohon Tunggu... Editor - Menulis yang manis dan mengedit yang pahit. Haaa

Suka yang klasik dalam kata, dan futuristik dalam kerja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bapak Tua Penjual Koran

6 September 2016   10:48 Diperbarui: 6 September 2016   11:01 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Bapak tua penjual koran"][/caption]"Pak, ada koran mingguan?" pecahku kepada bapak tua penjual koran.

Sedari tadi kami memang saling dekat tapi tak ada obrolan. Temanku di samping sedang menelefon bibinya di luar kota. Tinggal kami berdua yang saling membisu. Ingin menyapa tapi bingung memulai dari topik mana.

Aku jadi teringat sebuah meme yang sangat menyentuh. Seorang kakek tua renta masih berjualan mainan anak. Keringatnya bercucuran wajahnya tampak letih benar. Ia naik angkot sendirian. Bangkunya lbh banyak dimakan barang dagangannya daripada porsi pantatnya yang kurus. Meme itu bilang begini kira-kira, "Carilah alasan agar Anda bisa membeli dagangan kakek tua ini". Sebab, kakek tua itu pun punya alasan untuk tidak meminta-minta dengen berjualan.

Dari meme itulah aku memodusi bapak tua penjual koran di sampingku.

"Oh, ada, Mas," responsnya dengan senyum semringah.

Lalu ia memberiku tabloid mingguan. Aku membuka halamannya satu demi satu. Ada beberapa rubrik dan tulisan yang menarik. Aku membelinya.

"Kembalinya ambil saja, Pak," ucapku meniru bos-bos bermobil saat beli rokok pinggir jalan.

"Ndak, Mas, ini."

Bapak itu bersikeras mengambalikan dan aku menolaknya. Toh, tak begitu besar nominalnya. Sampai akhirnya, ia menawariku sisa-sisa koran paginya. Aku menerimanya dengan bungah, itung-itung untuk bahan bacaan menanti senja.

"Bapak sudah berapa lama berjualan koran?"
"Lima belas tahun, Mas."
"Wah, sudah lama ya."
"Ya begini, Mas. Meski sudah lama nggak maju-maju." Bapak itu terkekeh.
"Pembeli saat sore dan pagi banyak mana, Pak?"
"Pagi, Mas. Saya keliling dari Senayan ke Harmoni."
Gila, bapak tua ini menyepeda sekian kilo jauhnya. Aku jadi malu. Naik sepeda motor saja masih sering mengeluh.
"Pembelinya banyak, Pak?"
"Ya banyak pelanggan si Mas."
"Oh, punya pelanggan juga ya, Pak."
"Iya. Kalau pembeli seperti Mas yang sambil iseng saja, sedikit jumlahnya. Apalagi kalau sedang hujan. Nggak ada yang beli."
"Wah, berarti kehujanan juga dong Pak?"
"Ya untung kadang-kadang sekuriti menyuruh masuk gedung. Banyak orang-orang yang sambil menunggu hujan reda juga membeli."
"Kalau cuaca cerah, jualan di dalam gedung nggak, Pak?"
"Ndak, Mas. Takut ama sekuriti saya." Terkekeh lagi.
"Kalau anak muda banyak juga Pak yang membeli koran?"
"Lumayan, Mas. Kemarin ada mahasiswa yang bilang ke saya, membaca koran lebih enak daripada di hp, sulit kalau mau baca cari akunya dulu, gak bisa seperti koran bisa buka-buka dengan bebas."

Temanku sudah merampungkan telefonnya. Ia mengajakku berlalu. Aku pamit kepada bapak tua itu. Ia tersenyum sambil meninggalkan doa sorenya untuk kami, "Iya, baek-baek deh."

Sore yang menyenangkan. Aku teringat sebuah nasihat meski aku lupa dari mana. Bahwa, membeli atau sedekah kepada orang lain tidak akan membuat dia kaya raya dan tidak pula membuat kita jatuh miskin. Maka setidaknya, saling berbagi hati akan lapang dan bahagia. Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun