Mohon tunggu...
Atunk F. Karyadi
Atunk F. Karyadi Mohon Tunggu... Editor - Menulis yang manis dan mengedit yang pahit. Haaa

Suka yang klasik dalam kata, dan futuristik dalam kerja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nggak Nyangka Jadi Santri!

24 Oktober 2015   15:02 Diperbarui: 24 Oktober 2015   15:37 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Bermula dari di suatu sore menjelang terbenamnya matahari. Saya bersama kawan-kawan unyu sedang lari-larian. Bercelana pendek, ingus meler, dan sebuah jajan di tangan. Kami hendak berkumpul di masjid menunggu adzan tiba. Sebuah sarung kami kalungkan sekenanya. Dan akan kami pakai kalau sudah berada di masjid nanti.

“Kamu ini kok santri banget, toh!” tutur seorang nenek ketika saya melintas di depan rumahnya.

Nenek itu baru saja tinggal di Jakarta. Menjenguk cucunya. Hanya berjarak sekitar lima rumah dari rumah saya. Ketika itu saya tidak begitu menggubris apa yang dikatakannya. Apalagi ada kosakata ‘santri’ bagi saya baru. Namun, cukup terekam.

Selesai dari masjid, saya pulang ke rumah. Setelah mengecup tangan ibu—aduh jadi teringat masa kecil—saya beranikan diri bertanya.

“Bu, santri itu apa sih?”

Ibu saya menghentikan bacaan al-Qur’annya. Menyempatkan diri menanggapi anak yang nakal ini.

Santri itu ya...” tampaknya ibu juga kebingungan mau jawab apa.

Belum dilanjutkan, bapak saya menyeloroh “Santri ya muridnya kiai, tinggal di pesantren.”

Kebingungan saya bertambah, ada kosakata baru lagi, ‘kiai’ dan ‘pesantren’. Melihat gelagat saya yang cukup aneh, ibu menambahkan definisi yang lebih mudah dicerna. “Santri itu anak yang suka mengaji”. Titik.

Saya sedikit ada gambaran. Sejak itu pula, bapak sering bercerita kepada saya tentang santri-kiai-pesantren. Bahkan beberapa tahun kemudian, kakak saya dipesantrenkan! Dan saya dikader akan menyusul.

Saya salut kepada orangtua saya, keduanya tidak pernah memaksa anak-anaknya memilih jalur pendidikan. Apa yang ia suka orangtua merestui. Hanya berbekal cerita dan kisah pengalaman bapak, dengan sendirinya saya tertarik akan menempuh pendidikan di dunia pesantren.

Tekad saya semakin kuat ketika kakak perempuan saya beli kaset-kaset qasidah, shalawatan. Dan ternyata kaset itu keluaran Pesantren Langitan, Tuban. Sempat kaget dan takjub, bahwa pesantren bisa memproduksi kaset (saat itu memang sedang booming-nya kaset Cinta Rasul ala Haddad Alwi dan Sulis). Saya tertarik untuk nyantri—menjadi santri—di Langitan. Orangtua setuju. Bahkan teman karib saya hendak ikut bersama.

Menjelang hari H, selepas lulus SD saya bersiap-siap untuk berangkat ke pesantren. Tapi justru mendekati hari itu, hati ini berguncang kencang. Antara benar mondok atau tetap melanjutkan sekolah di Jakarta saja.

Banyak pertimbangan, di antaranya saya cukup sedih pasti setiap hari minggu tidak bisa nonton kartun lagi, mulai Doraemon jam 8, lalu Dragonball, Crayon Sinchan dll. Karena bapak bilang, di pesantren tidak ada televisi. Huhuhu.

Saya juga sedih akan meninggalkan teman-teman sepermainan di ibu kota. Padahal setiap hari kami bermain bersama, mulai main bola, mancing belut, memburu cicak malam hari, main peletokan, sampai kejar-kejaran berebut layangan tewal.

Ada satu hal yang bahkan membuat saya menangis sejadi-jadinya, saya tidak tega meninggalkan hewan peliharaan saya. Yang saya rawat mulai pagi hingga pagi lagi. Saya kasih makan, mandikan, dihiasi aksesoris, ajak jalan-jalan, sampai bela-belain waktu saya habis karena merwawat dia. Tak lain adalah..... eng ing eng... burung dara!

Saya punya beberapa pasang burung dara. Kalau saya berangkat pesantren, mau tidak mau pasti saya tinggalkan. Untung saya punya saudara jauh yang sehobi dengan saya. Akhirnya melalui mbak saya, saya titipakan burung dara itu kepada dia. Dan ternyata, di kemudian hari mereka berjodoh... wah!

Untuk menghibur saya dari kegundahan, bapak rela mem-preteli (bahasa Indonesianya apa ya? Mungkin membongkar) sepeda kesayangan saya. Lalu dimasukkan ke dalam karung dan di-packing untuk dibawa ke pondok. Agar saya punya hiburan.

Saya sempat pesimis lagi karena teman yang hendak ikut ternyata batal. Dia memilih mondok di Jakarta saja. Akhirnya bapak pun membatalkan saya untuk dipondokkan ke Langitan, melainkan ke kampung halaman di Rembang Jawa Tengah.

Hari H. Saya nangis bercucuran air mata. Deras seperti hujan di bulan Desember. (Kalau diingat lagi, agak bingung juga apa sebabnya saya menangis itu). Saya, bapak dan sepeda berangkat ke Jawa. Sedangkan ibu dan kakak-kakak tidak ikut mengantar.

Tiba di Jawa, saya tidak tahu apa-apa. Jangankan wilayahnya, berbicara bahasa Jawa saja kesulitan. Namun, di sinilah saya merasa pendidikan mandiri yang luar biasa. Bagaimana tidak, bapak hanya sekitar satu minggu menemani saya. Selanjutnya saya hidup seorang diri. Jauh dari saudara. Sepi dari permainan. Namun untung, teman-teman senior membantu saya dalam segala hal. Belajar, memasak, mencuci, dll.

Bahkan, saking nikmatnya menajdi ‘santri’, tak terasa saya betah di pesantren sampai 12 tahun! Ya, sejak SMP sampai S1... Alhamdulillah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun