Mohon tunggu...
Atunk F. Karyadi
Atunk F. Karyadi Mohon Tunggu... Editor - Menulis yang manis dan mengedit yang pahit. Haaa

Suka yang klasik dalam kata, dan futuristik dalam kerja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Keaslian" Karya Slamet Gundono (Artikel Gus Dur)

26 Agustus 2015   20:23 Diperbarui: 26 Agustus 2015   20:23 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

"Keaslian" Karya Slamet Gundono

Oleh: Abdurrahman Wahid

Penulis memperoleh sebuah kaset dari KH A. Mustofa Bisri, Rembang. Kaset itu berupa nyanyian-nyanyian mistiskus ciptaan Slamet Gundono, budayawan/seniman kita yang berasal dari daerah. Nyanyian-nyanyian itu berisikan jeritan hati seseorang yang memiliki ‘mistik daerah’ tertentu, yang terkadang tidak dipahami orang latar belakangnya. Tulisan ini bermaksud sebagai salah satu cara yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran mengenai asal-usul mistik daerah itu . Walaupun ini bukan satu-satunya penjelasan yang dapat dikemukakan, jika kita ingin mengetahui perkembangan historis/kesejarahan yang terjadi. Namun dalam hal ini, keterangan tersebut dapat dianggap berguna sehingga penulis ‘tergugah’ untuk turut memberikan semacam penjelasan melalui tulisan ini.

Slamet Gundono, dengan keluguan yang sangat kental, menampilkan sejumlah lagu mistik, dengan berbagai judul ‘yang merangsang’, antara lain nyanyian “Mabuk Gusti” dan “Urip Dhewekan”. Nyanyian-nyanyiannya itu dilagukan dari mistik lokal dari Tegal. Dengan berkembangnya “mistik santri/ tasawuf” yang menjadi tanda kesantrian yang umum muncul di kalangan kaum muslimin kawasan itu, dengan sendirinya mistik lokal yang ada lalu “menjadi terancam”. Dengan demikian, munculah upaya untuk melestarikannya melalui nyanyian-nyanyian orang seperti Slamet Gundono. Tidak jelas, adakah Slamet Gundono merasa bahwa nyanyian-nyanyian itu justru membuktikan “ke-Islaman” mistik lokal itu sendiri.

Menjadi jelas bagi kita, bahwa mistik lokal yang sarat dengan nilai-nilai agama Islam, dikenal sebagai sesuatu yang berbeda dari tasawuf, yang merupakan penampilan kaum santri. Jadi, perbenturan yang terjadi antara mistik lokal di satu pihak, dan tasawuf santri di pihak lain, dianggap mewakili perbedaan antara dua wujud/entitas dari dua buah masyarakat yang saling berbeda, padahal sebenamya berasal dari sebuah masyarakat yang boleh dikata sama. Ini dapat diketahui dari nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam nyanyian-nyanyian Slamet Gundono itu. Ia selalu mengetengahkan nilai-nilai yang berasal dari dua buah kecenderungan yang tadinya berasal dari sumber yang sama : ajaran Islam dalam keluasannya. Hanya saja, dalam mistik lokal nilai-nilai itu muncul ke permukaan dengan menggunakan bahasa Jawa lokal.

Sedangkan tasawuf santri dimunculkan dengan bahasa Arab, seperti Qodrat Allah, nasib dan sebagainya. Sedangkan Slamet Gundono menggunakan bahasa lokal, seperti dengan mengajukan pertanyaan: “bersediakah engkau hidup sendiri, tanpa saudara?” Kedua macam nilai itu, dengan menggunakan bahasa yang berbeda, sebenamya mengetengahkan persamaan yang mendasar. Hanya saja, mistik lokal itu tidak berkembang menjadi anutan penduduk setempat dan hanya menjadi mistik lokal yang sangat sedikit penganutnya. Dengan demikian, seolah-olah terjadi perkembangan sejarah yang saling berbeda antara keduanya. Dan seolah-olah mistik lokal dikalahkan dan ditindas oleh tasawuf santri. Padahal, yang terjadi adalah meluasnya pengaruh tasawuf santri dalam kehidupan kaum musliminnya dengan manifestasi mistik lokal di kawasan tersebut.

Karenannya, dapat dimengerti mengapa Slamet Gundono lalu menjadi seperti orang yang kalah dalam sebuah perbenturan budaya. Padahal, yang terjadi adalah meluasnya peristilahan bahasa Arab dari tasawuf santri ,seperti terdapat dalam berbagai bentuk wirid/ kata-kata doa. Adalah sesuatu yang mengherankan, bentuk doa berbahasa lokal dapat dikalahkan oleh wirid/doa yang menggunakan “bahasa luar/Arab. Karena itu, lalu timbul anggapan diatas, yang sebenamya merupakan rekonstruksi budaya yang belum tentu benar.

Sebagai akibat, munculah anggapan dan perasaan, seolah-olah terjadi perbenturan budaya antara mistik lokal dan tasawuf santri. Padahal yang terjadi, adalah munculnya dua buah varian dari mistik tasawuf kaum muslimin, yang sama-sama berhadapan dengan perbenturan melawan arus modemisasi.

Ini juga terlihat pada pagelaran wayang oleh dalamg Ki Entus Susmono yang serba lucu, dan melawan konvensi/cerita pakem yang telah dibakukan oleh para “dalang tradisional”. Hal ini lagi-lagi menunjukkan responsi berbeda terhadap tantangan modemisasi di kalangan “budaya Jawa pinggiran”. Sesuatu yang sebenamya normal-normal saja dan menunjukkan daya tanggap yang sehat dari kawasan budaya tersebut. Yang menarik, justru untuk melihat bagaimana sebuah kawasan budaya lokal dapat menemukan/menampilkan jawaban yang kreatif dari situasinya sendiri. Ini menunjukkan besamya vitalitas/daya hidup dari kalangan budaya lokal itu, atau terdapat kreatifitas yang sangat besar dari masyarakat kawasan itu sendiri. Inilah yang perlu kita kenali, untuk dikembangkan lebih jauh sebagai bagian dari responsi umum budaya kawasan nusantara.

Untuk dapat mengenal responsi itu, kita harus mampu memahami perkembangan sebenamya dari berbagai aspek budaya yang ada dalam sebuah kawasan dengan tepat, agar supaya responsi yang diberikan juga memadai kebutuhan. Namun sebuah upaya untuk menghidupkan kembali tradisi lama yang ada, tentu saja membawa hasil yang tidak optimal, seperti berbagai upaya “menghidupkan kembali” budaya Jawa klasik yang akhimya memunculkan budaya tontonan (kitsch) saja, yang pada analisa terakhir akan melahirkan komersialisasi berbagai penampilan tradisional untuk kepentingan kaum turis asing/wisman belaka. Hal ini tampak di India, ketika lagu-lagu pemusik Zakir Hussain dan Ravi Shankar yang penuh berbagai tanggapan budaya, sangat berbeda dari sejumlah kuburan dan istana lama yang menarik hati para wisman itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun