"Mei tunggu. Aku ke Jakarta hanya untuk melunasi janjiku," kataku sembari mencoba mengejar langkah Mei.
"Pergilah. Lunas janjimu. Aku sudah tak peduli. Kau memang egois."
"Mei Aku hanya sebentar. Aku hanya melunasi janjiku. Aku khawatir nanti jika ibu kita pindah maka uangku tak cukup untuk ke sana. Jadi mumpung ibu kota masih di Jakarta. Aku masih bisa ke sana."
Mei melotot. Dia sekan tak percaya akan kecerdikan. Â
"Dasar anak IPS," teriaknya sambil tersenyum dan mengusap air mata yang tadi membanjiri pipinya.
Mei terus berjalan. Kali ini ke arahku.
"Kalau begitu pergilah secepatnya. Jangan lupa berfotolah di depan Monas. Aku khawatir nanti Monas juga dibawa ke Kalimantan," ujar Mei ketika jarak kami hanya mentisakan sejengkal.
"Dasar anak IPA, monas itu punya Jakarta, bukan punya ibu kota," kataku.
Kami tertawa. Tertawa ngakak. Ngakak yang so hard.
Dan aku punya ide. Kurasa dia juga punya ide.
"Kita menikah di bawah tugu monas saja," ujar kami serentak.(**)