Dominasi besar mengenai jalur laut wilayah kepulauan dapat dimaknai dari Klenteng yang bersanad kepada seorang laksamana. Sibuk menggali kepercayaan sang laksamana dan transformasi terkait fungsi, membuat hal tersirat tentang kejayaan masa lalu seolah terlupa begitu saja. Nyatanya, makna dari petilasan tersebut bisa menjadi penguat bahwa hegemoni jalur maritim Nusantara benar adanya.
Sebuah Klenteng berdiri dengan kultur yang bersahaja dengan rimbunan pohon yang mengelilinginya. Suasana sejuk pepohonan di tengah cuaca kota yang begitu menyengat, tampaknya membangun keteduhan tersendiri bagi pengunjung yang ingin beribadah maupun sekadar berwisata. Terletak di Jalan Simongan, Bongasari, sebelah barat daya Semarang, bangunan berciri khas Tionghoa ini dikenal dengan nama Klenteng Sam Poo Kong.
Riwayat yang beredar di kalangan masyarakat bahwa Klenteng ini merupakan petilasan dari seorang laksamana Muslim bernama Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho adalah seorang pelaut terkemuka dari Yunnan, Tiongkok.Â
Silsilah leluhurnya bertaut pada seorang hatche dari marga Ma. Istilah hatche sendiri merujuk kepada gelar ‘haji’ yang menunjukan bahwa keluarga Cheng Ho adalah seorang muslim. Cheng Ho sendiri mendapat gelar San Pao atau Sam Poo yang merujuk pada seseorang dengan kedekatan tertentu dengan keluarga kaisar.
Menjadi seorang laksamana Dinasti Ming awal, membuat Cheng Ho mengembang tugas besar. Selain berdagang dan berperan dalam perdagangan laut, Cheng Ho bertugas mengadakan persahabatan dengan negara-negara pada saat itu dan memperkenalkan Dinasti Ming kepada para penguasa di berbagai tempat. Tercatat, Cheng Ho melintasi Palembang, Majapahit, Tuban, Gresik, dan Semarang ketika berlayar di Indonesia.
Hingga pada tahun awal abad ke-15, sang Laksamana tiba di wilayah Simongan yang ketika itu merupakan salah satu pelabuhan yang ramai di Semarang. Pendaratan itu disebabkan karena sakitnya juru mudi kapal Cheng Ho, yakni Wang Jing Hong.Â
Atas dasar penghormatan terhadap Cheng Ho yang pernah singgah di daerah tersebut, maka dibangun suatu petilasan yang kini dipergunakan sebagai Klenteng tersebut.
Kedatangan Laksamana Cheng Ho ke wilayah laut kepulauan Nusantara dahulu, dapat menjadi suatu kisah yang menarik. Cheng Ho yang merupakan salah satu bahariwan dan berperan sebagai duta dari negeri nun jauh di utara Jawa, memilih menyusuri jalur pelayaran pesisir utara pulau Jawa untuk menjalin persahabatan dan perdagangan. Jika mendasarkan pada peristiwa pelayaran yang dilakukan Cheng Ho, tertangkap suatu potret kecil tentang hegemoni jalur maritim Nusantara masa itu.
Hal paling dasar, yakni terpilihnya jalur pesisir utara Jawa dalam pelayaran Cheng Ho tersebut. Bukan tanpa alasan Cheng Ho memiliki menyusuri pesisir pantai utara Jawa hingga tiba di Simongan.Â
Secara tidak langsung, dipilihnya jalur tersebut menjadi dasar yang kuat tentang adanya hegemoni yang begitu besar tentang jalur maritim di kepulauan Nusantara masa itu. Pelabuhan yang ramai dapat mengantarkan pelaut besar dari negeri Tiongkok, meski dengan jarak yang jauh sekalipun untuk berlayar melalui jalur maritim Nusantara.
Selain itu, gelar San Pao atau kemudian dikenal dengan San Poo yang melekat padanya, perlu ditinjau lebih lanjut. Suatu kehormatan besar bagi wilayah yang disinggahi langsung oleh seorang ‘abdi dalem’ Dinasti Ming dengan tujuan menjalin persahabatan.Â
Hal yang cukup mustahil, jika seorang utusan dari negeri yang sangat besar di bumi Tiongkok memilih jalur pelayaran tanpa adanya pengaruh apapun bagi negerinya. Ini berarti wilayah yang berada dalam jalur maritim Nusantara tersebut memiliki posisi yang penting dari segala aspek.
Jika kita melihat faktor bersandarnya kapal Laksamana Cheng Ho disebabkan oleh sakit kerasnya sang juru mudi, ini bisa dikaitkan dengan strategisnya posisi Klenteng Sam Poo Kong berada.Â
Ketika telah memiliki kondisi kesehatan yang mulai membaik, juru mudi tersebut tak lantas ikut kembali berlayar bersama Cheng Ho. Akan tetapi, ia bersama beberapa utusan lain memutuskan tinggal dan membangun peradaban baru di wilayah tersebut.Â
Bisa dilihat bagaimana juru mudi menganggap bahwa wilayah pesisir utara Jawa tersebut adalah wilayah yang tepat, bahkan jika hanya sekadar untuk melanjutkan kehidupan dengan damai.Â
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya sinkretisme Islam, kepercayaan Tionghoa dan budaya lokal pada tempat peribadatan sekitar pesisir utara Jawa, khususnya Klenteng Sam Poo Kong.Â
Artinya, kehidupan sang juru mudi maupun utusan-utusan lain yang membersamai Cheng Ho cukup membaur dengan warga lokal dan kebudayaan yang berkembang di daerah tersebut.
Atas dasar petilasan Cheng Ho tersebut, tersirat dalam suatu potret kecil tentang besarnya hegemoni jalur maritim Nusantara. Hegemoni yang terangkum di balik Klenteng Sam Poo Kong dengan dominasi merah yang bersahaja itu, menjadi suatu pesan yang mendalam tentang kejayaan maritim Nusantara masa lalu. Pesan bahwa Nusantara pernah dan sangat mungkin untuk bisa kembali berjaya dan memiliki posisi penting dalam jalur maritimnya.Â
Tentang apa yang telah dilakukan dan bagaimana seharusnya untuk membangun kembali hegemoni yang nyata dirasakan dengan bangga oleh tiap manusianya, penting untuk menjadi refleksi bersama. Jalur maritim kita, pernah dipilih oleh seorang laksamana. Laksamana yang juga berperan sebagai duta, orang kepercayaan istana, dan pelaut yang bersahaja, Cheng Ho.
Penulis:
Muhammad Rafi’atthufayl
Baca Lebih Lengkap:
Marcella, BS. (2014). Bentuk dan Makna Atap Kelenteng Sam Poo Kong Semarang. Komposisi, 10(5), 349-359.
Pusat Data dan Analisa Tempo. (2020). Menyusuri Jejak Kaisar Cheng Ho dan Klenteng Sam Poo Kong Sampai Semarang
Soerya, T. (1981). Gedung Batu Semarang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Yuanzhi, K. (2015). Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H