Mohon tunggu...
Atthasilani Gunanandini
Atthasilani Gunanandini Mohon Tunggu... Dosen - Viharawati Buddhis, Pendiri Atthasilani Theravada Indonesia, Dosen STAB Kertarajasa

Seorang Viharawati Buddha yang tertarik dengan bidang pendidikan, psikologi, sosiologi dan Ilmu Agama.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Seberapa Beranikah Kita untuk Jujur?

29 Juli 2023   19:30 Diperbarui: 29 Juli 2023   19:53 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seusai pelajaran di sekolah, seorang anak perempuan melihat ibunya dengan wajah yang murung. 

Ia meletakkan tasnya di atas tempat duduk sederhana yang terbuat dari bambu, di sebuah kantin sekolah tempat ibunya bekerja. Si anak merasa bingung karena mengamati kondisi ibunya yang tidak seperti biasanya. Beberapa saat kemudian, ibunya mengawali suatu pembicaraan yang menarik dengan anak tersebut. ”Nduk , sebentar lagi usiamu akan bertambah, ya? Apa keinginanmu?” ”Saya ingin ulang tahun dirayakan tahun ini, Mak!” ”Dirayakan? Perayaan ulang tahun kan butuh biaya besar, Nduk? Mak’e nggak punya banyak uang, apalagi tahun ini Mak’e harus bikin acara ’selametan’ buat Mbah.” ”Tetapi, Mak?” ”Kenapa toh, Nduk?” 

”Mak, saya bener-bener ingin ulang tahun kali ini dapat dirayakan!” ”Nduk, tadi siang Mbak Vita, anak kelas VI bertanya, apakah Mita akan merayakan ulang tahun di Hotel Minak Jinggo? Memang kamu bilang apa toh, Nduk?” Anak perempuan itu hanya terdiam dengan pertanyaan ibunya tersebut. ”Apakah Mak pernah mengajari kamu untuk berbohong toh,Nduk?” Sang anak tetap terdiam .... 

"Mak sudah bilang sama Mbak Vita, kalau semua itu nggak bener, lagian dapat uang dari mana untuk merayakan ulang tahunmu di hotel itu toh, Nduk?” Sang Anak terdiam dan menunduk.

”Mak tahu, meskipun selama ini ulang tahunmu tidak pernah dirayakan semeriah teman-temanmu, dan tiap tahun hanya dapat dirayakan di rumah dengan buceng (Nasi tumpeng yang dibuat membentuk kerucut)  dan kulup krawu (Urap sayur, sayuran rebus yang dicampur dengan bumbu kelapa parut.), tetapi sejak kecil Mak nggak pernah lupa sama ulang tahunmu, kan nduk?” 

Sambil terisak dan meneteskan air mata sang anak menjawab,”Iya, Mak ...”

 ”Ooo ... alahhh ... Nduk ... Nduk ... Mak nggak ingin kalau kamu dadi anak sing seneng ngapusi, ngomong gak bener karo konco-koncomu. Mak isin. Mak seneng awakmu dadi anak pinter, nanging ora pinter ngapusi. Lebih baik Mak nduwe anak wedok mbeneh tur jujur ketimbang pinter nanging keblinger.” 

”Sesuk ngomong karo Mbak Vita nek critomu kuwi ora bener, terus ojo dibaleni maneh omongan sing kaya mengkono kuwi.”

 ”Iyo, Mak...” Dengan perasaan malu sang anak perempuan meminta maaf dan mengakui kebohongannya kepada salah satu kakak kelas di SD-nya itu.

****

Esok harinya

”Mit ... Mbak Vita tahu kalau Mita berbohong, karena Mak udah cerita kok ....”

 ”Iya, Mbak ... sebenarnya Mita hanya ingin kalau ulang tahun Mita nanti dapat dirayakan bersama teman-teman sekelas Mita, seperti ulang tahun yang pernah Mbak Vita dan Mas Diktus rayakan. Tetapi mungkin Mak nggak ngerti dengan keinginan Mita, ya, Mbak?”

 ”Bukan begitu, Mit. Kamu bersabar saja suatu hari kamu pasti dapat merayakan hari ulang tahunmu bersama teman sekelasmu. Kamu harus banyak berbuat baik, ya .... Suatu hari keinginanmu pasti akan terwujud.” 

”Mana mungkin Mbak, Mak sudah nggak percaya lagi sama Mita.” 

”Kamu percaya saja.” 

**** 

Satu tahun kemudian ... Minggu, 5 Desember 1999. 

”Selamat ulang tahun, Mbak Mita.” 

”Selamat ulang tahun, Mbak Mita.” 

”Iya, terima kasih ....” 

Ibu telah berhasil mewujudkan harapan saya. Beliau membuatkan pesta dan merayakan ulang tahun saya yang ke-11 dengan mengundang teman-teman sekelas saya, tetangga, dan sanak saudara. Ibu membelikan kue tart dan juga mengundang guru serta Romo Darsono untuk memberikan pemberkahan di hari ulang tahun saya. Sungguh kebahagiaan yang tidak pernah terpikirkan oleh saya, ternyata Ibu sesungguhnya mengerti harapan saya. Harapan yang saya pikir sebelumnya tidak pernah tercapai, yang sesungguhnya selama ini telah diwujudkan oleh Ibu melalui kasih sayangnya. Selama ini saya tidak pernah menghargai perhatian ibu. 

Namun, sejak saat itu saya yakin bahwa Ibu adalah Ibu terbaik dan satu-satunya orang yang paling saya sayangi. 

Kini, saya mengerti semua kebahagiaan yang saya alami tersebut adalah hasil perjuangan dan kerja keras dari ibu. 

Ibu telah berusaha mengajarkan saya untuk berlatih kesabaran dalam mewujudkan sebuah cita-cita. Setiap hari beliau menyisihkan uang dari penghasilannya di kantin, demi pesta ulang tahun yang selama ini menjadi harapan saya. Jumlah yang tidak sedikit dan tidak pernah saya bayangkan. Beliau rela menahan dan menunda keinginannya demi mewujudkan keinginan saya.

 Tulisan ini saya dedikasikan untuk Ibu, wanita yang mengajarkan banyak hal dalam kehidupan saya.

 Saat saya menulis tulisan ini, waktu telah menunjukkan pukul 01.39 WIB, dini hari .... 

Saya berada di Jakarta, dan jauh dari ibu, tetapi saya yakin kasih sayang Ibu akan selalu dekat.

 Ibu, ibu adalah ibu terbaik ... Terima kasih .... 

Pengorbanan ibu telah menjadi penggerak semangat saya. 

Dan saya sadar, di balik semua itu engkau telah mengajarkan saya arti dari sebuah KESABARAN dan KEJUJURAN! 

"SAYA MENCINTAIMU, BU ..."

Nama kecil saya Amita Wardhani, Saat ini saya adalah seorang viharawati Buddhis yang dikenal dengan sebutan Atthasilani Gunanandini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun