“Firman!”
Seketika emosiku melonjak. “Kamu tahu kan kayak mana perlakuan Ayahmu sama Bunda? Bunda udah coba tahan-tahan sabar. Bunda juga nggak mau pisah. Malu, udah tua. Tapi Bunda nggak tahan juga. Makanya Bunda minta cerai dari Ayahmu. “ Aku menata emosiku. Dadaku terasa perih sebab luka lama itu terbuka lagi. Aku bangkit menuju meja makan, mengambil segelas air minum. Meneguknya perlahan hingga tandas, lalu kembali duduk di depan Firman.
“Apa Bunda nggak bisa minjam duit aja dulu?”
Astaghfirullah! Firman berkata dengan ringan, seolah pinjam duit itu urusan gampang.
“Mau dijaminkan apa? Bunda nggak punya apa-apa. Mengerti lah sikit. Kau kan bisa cari kerja yang lain. Apa saja asal halal.”
“Aaaah, ngomong sama Bunda memang nggak nyambung! Ini soal cita-cita, mana bisa seenaknya aja diganti. Kerja? Kerja apa? Mana enak kalau nggak sesuai cita-cita.”
“Firman!”
“Ah, mending minta sama Ayah aja. Pasti Ayah dan Tante Sari mau bantu.” Firman berkata sambil bangkit dari kursi. Sontak telingaku panas mendengar nama perempuan itu disebut. Darahku mendidih karena anak kesayanganku itu seperti memuji perempuan sialan yang sudah merebut suamiku.
“YA SUDAH!! PERGI SANA TEMUI AYAHMU!! TEMUI IBU TIRIMU, PEREMPUAN SIALAN ITU!! BUNDAMU INI MEMANG MISKIN, NGGAK BISA APA-APA!! PERGI SANAAA!”
Mataku memerah murka. Napasku seakan hendak lepas. Kurasakan wajahku seperti dipanasi uap. Firman yang semula hendak berlalu kini berdiri terpaku. Ia berdiri memandangku. Wajahnya menyiratkan campuran antara rasa takut dan rasa bersalah. Aku meliriknya.
“TUNGGU APA LAGI? PERGI SANA!” Sentakku garang. Dia berlalu cepat-cepat dari hadapanku. Aku berjalan menuju beranda. Kuharap angin yang berhembus bisa menenangkan pikiranku.