“Iya, Mak. Pasti Midah bantuin.” Midah sigap mengeluarkan ponselnya. Berkali-kali dia menelepon –entah siapa- untuk meminjam mobil. Aku hanya bisa terduduk lemas sambil menangis. Setelah menelepon untuk kesekian kalinya, Midah berkata padaku.
“Bang Rahmad tetangga Midah mau, Mak minjamin mobilnya. Dia juga mau sekalian antar kita ke sana. Soal uang minyak biar Midah yang bayarin. Sekarang Mamak siap-siap dulu. Ganti baju, bawa tas. Mau Midah bantuin?”
Aku menggeleng. “Aku bisa sendiri, Dah. Kau tunggu sebentar yah.”
Aku beranjak dengan lemah menuju ke dalam rumah. Sebelum sampai di kamarku, aku melewati kamar Firman. Kubuka pintu kamarnya, memandangi kamar itu dengan perasaan campur aduk. Ya Allah, kumohon jangan biarkan anakku mati. Selamatkanlah dia, ya Allah.
Bergegas aku berganti baju, menjejalkan beberapa bajuku dan baju untuk Firman ke dalam sebuah ransel. Ketika aku keluar rumah, kulihat sebuah mobil telah diparkir di luar pagar rumah. Midah meraih ransel yang kupegang, menyampirkan ke bahunya dan meraih tanganku.
“Ayok, Mak. Itu mobilnya bang Rahmad udah datang. Nanti kita mampir sebentar ke rumah Midah ya. Midah mau ganti baju juga.”
Aku mengangguk.
*************
Sore itu juga sekitar pukul enam sore aku bersama Midah dan Rahmad berangkat menuju Bireuen. Jarak antara Langsa – Bireuen sekitar lima jam. Tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi dalam kondisi seperti itu setiap detik yang berlalu terasa sangat menyiksa.
Midah yang duduk di sampingku mencoba menghibur. Berkali-kali dia menawarkan buah, minuman, atau sekedar pijatan di bahu agar aku merasa lebih santai. Aku sangat berterimakasih atas perhatiannya padaku, tapi sungguh aku tak bisa merasa santai. Seluruh sarafku terasa tegang memikirkan nasib anakku.
“Oh ya, Mak, kakak-kakaknya Firman udah dikasih tahu?” Midah tiba-tiba menceletuk.