Aku bergegas menuju halte bus sambil kurapatkan syal yang melilit leher.Udara sangat dingin hari ini dan butiran salju halus mulai turun. Kulirik running text dari TV besar di toko elektronik yang aku lalui, sebentar lagi badai salju datang dan mungkin yang terburuk.Begitu tiba di halte bus, aku lihat time table dan 10 menit lagi bus akan datang. Ehhmm, aku harus menahan dingin lebih lama lagi ternyata. Aroma kopi dari kafe starbuck di samping halte merayu supaya aku masuk saja dari pada menunggu diluar. Tapi tidak, aku harus segera pulang, badai salju segera datang. Apalagi pemerintahan Tokyo metro memperingatkan warganya agar segera kembali kerumah jika tidak ada keperluan mendesak.
Tiba-tiba aku mendengar suara halus memanggilku,‘Agus san ….’. Aku menoleh pelan dan kubalas sapaannya dengan sedikit terkejut. ‘hai .. Surie san’. Mungkin sudah setahun aku tidak ketemu dia. Dia yang biasanya ceria, hanya sekarang sedikit beda. Aku melihat matanya sembab. Surei berkata dengan ragu, ‘Agus san, maukah kamu menemani aku sejam saja. Aku tahu badai salju segera datang, tapi tolong kali ini saja. Akan aku belikan brew coffee kesukaanmu’. Dia berkata sambil menarik ujung lengan jaketku. Aku tahu ini diluar kebiasaan wanita jepang yang biasanya bersikap formal. Ada yang tidak biasa disini dan aku biarkan saja dia menarik ujung lengan jaketku menuju kafe starbuck di belakang halte bus.
Hanya ada tiga orang saja di kafe itu dan penjaga menyambut kami dengan senyum manis sambil mengingatkan kalau badai salju segera datang. Kami mengangguk bersama dan Surei menarikku ke tempat paling pojok. Tidak ada ada jendela disitu dan ruangannya hangat. Dinginnya udara luarpun segera terlupakan. Surei berbicara dalam bahasa jepang dengan penjaga kafe, tapi aku tahu biarpunaku tidak bisa bahasa jepang, dia memesan dua cangkir tanggung brew coffee dan dua buah kue yang aku tidak tahu namanya. Tidak sampai lima menit petugas kafe datang membawa pesanan kami. Surei menyorongkan satu cangkir brew coffee dan nampan kue kecil sambil berkata, ‘douzo Agus san’, sambil tersenyum dan menurutku sedikit dipaksakan.
Lima menit berselang dan kami saling diam. Aku hanya memutar-mutar cangkir kopiku sambil sesekali kulirik dia. Dia hanya diam sambil melihat lukisan dua anak malaikat yang tampak menggemaskan. Sesekali kulihat dia menyeka air matanya yang mulai menetas dengan sapu tangan yang dia bawa. Aku tidak berani memulai omongan dan kubiarkan saja dia dengan dunianya saat itu. Dia mulai sesunggukan dan sambil menunduk ia berkata, ‘Agus san maaf aku menggangu waktumu. Aku tahu badai salju segera datang dan Agus san butuh waktu satu jam menuju rumah. Tapi tiga hari ini aku tidak bisa tidur. Setiap aku ingat kejadian itu, aku menangis’.Dia diam lagi setelah itu. Aku menunggu.
Cukup lama aku menunggu hingga tiba-tiba dia berkata dengan tangisan yang tertahan. ‘Agus san, manusia apa aku ini’. ‘Ada apa, Surei san’, aku coba menenangkannya. Kemudian Surei mulai bercerita, ‘Tiga hari yang lalu aku ke Ochanomizu tapi tiket pasmoku kreditnya tinggal sedikit. Aku segera menuju vending machine di stasiun kereta Shinjuku untuk re-charge tiket pasmo. Setiba di vending machine, ada laki-laki tua menghampiriku dan meminta ijin untuk membantu mengoperasikan vending machine’. Dia diam sebentar dan menghela nafas, ‘Agus san, kamu tahu khan kalau aku lahir di sini. Untuk apa aku menerima bantuan orang untuk mengoperasikan vending machine. Aku sudah bisa mengoperasikan alat itu sejak aku masih kecil. Aku acukan orang tua tersebut’. ‘Tidak ada yang aneh dengan apa kamu lakukan, Surei san’, kataku dengan cepat. Dia menghela nafas dalam-dalam.
‘Bukan begitu, Agus san’, kata Surei sambil meneruskan,‘orang tua itu kemudian bilang bahwa dirinya sedang kelaparan dan dia berharap dengan sedikit kerja membantu mengoperasikan vending machine, akan ada sedikit imbalan’. Aku sedikit tertegun dengan apa yang Surei katakan dan aku mulai enggan memotong pembicaraan dia. Lagipula Surei tampaknya kurang suka saat aku mengatakan tidak ada yang aneh dengan perbuatannya. Aku mencobauntuk lebih bersabar.
Surei melanjutkan, ‘Agus san, pantaskah aku mengacukan orang tua yang berkata bahwa dirinya sedang kelaparan dan hanya mengharapkan sedikit koin sebagai imbalan kerjanya ?’.
Aku tidak menjawab dan tampaknya Surei tidak membutuhkan jawaban karena dia segera meneruskan ceritanya dan disaat yang sama aku mulai membayangkan orang yang meminta belas kasihan di negaraku. ‘Agus san, seharusnya sudah cukup bagiku untuk memberi uang pada orang tua tersebut saat dia mengatakan bahwa dirinya sedang lapar. Apa yang menahanku untuk mengacukan permintaannya adalah bahwa aku curiga dia berbohong. Lalu untuk apa aku harus menilai hati orang tua tersebut. Dan kalaupun orang tua tersebut berbohong, apa kerugianku ? hanya 500yen ! kecil bukan ?’.
Aku melihat mata Surei mulai berkaca-kaca lagi. Tiba-tiba Surei meneruskan dengan cepat. ‘bagaimana kalau ternyata orang tua tersebut memang kelaparan ? tidakkah aku menganiaya dia apalagi dengan udara yang begitu dingin akhir-akhir. Lalu bagaimana kalau tubuhnya tidak kuat dan kemudian dia meningggal ?’.
Aku tercenung. Kami membisu dan aku mulai gelisah. Surei mengulangi perkataannya, ‘manusia macam apa aku ini, Agus san. Dimana empatiku terhadap sesama ?. Aku memilih mengacukan permintaan orang tua tersebut saat itu. Dan tahukah Agus san, apa kata hati kecilku saat itu ? aku mendengar seakan-akan ada bisikan, bantulah orang tua itu, bukankah di dompetmu lagi banyak uang. Tapi aku memilih mengabaikan bisikan itu dan menutupinya dengan kecurigaan’. Surei menghela nafas panjang dan padangannya kembali menatap lukisan dua anak malaikat yang tampak menggemaskan itu.
Aku gelisah. Pikiranku mulai mengingat banyak kejadian-kejadian di tanah airku. Dan tidak sedikit yang sama dengan apa yang Surei alami. Hanya aku tidak pernah menyesali dan menganggap kejadian-kejadian dulu hanya rangkaian peristiwa biasa tampak arti. Aku kemudian mulai bertanya-tanya tentang diriku sendiri,’manusia macam apa aku ini’. Dan kegelisahanku bertambah saat Surei meneruskan ceritanya.
‘Agus san, bisikan itu sangat kuat aku rasakan. Meskipun kakiku terus melangkah menjauhinya dan terus menuju gate kereta yang mengantarkanku ke Ochanomizu. Di kaca lantai dua, tempat gate kereta aku menunggu, tanpa sadar aku menoleh ke bawah dan aku melihat orang tua tadi berjalan lemah seperti orang yang tidak punya tenaga. Bersamaan dengan itu kereta datang. Aku mulai ragu, kereta tidak mau menunggu dan aku tetap menuju kereta itu. Penyesalan mulai hinggap di diriku dan esoknya aku coba untuk kembali ke stasiun kereta Shinjuku berharap bertemu lagi dengan orang tua itu. Tapi semuanya tampak terlambat’. Surei tampak meremas-remas kuat sapu tangannya. Air matanya jatuh lebih cepat dari dia menyekahnya.
Tidak terasa matakupun mulai berair. Bukan sedih atas cerita Surei tapi karena betapa banyak kejadian yang pantas aku sesali kulalui tanpa peyesalan. Betapa banyak rasa empati yang harusnya aku miliki terhadap sesama tapi tidak berbekas dihati. Betapa congkaknya aku ini. Dan akupun mulai bertanya tentang diriku sendiri, ‘manusia macam apa aku ini’.
Kami tenggelam dalam lamunan. Diam. Aku mulai menghela napas panjang. Tidak kusangka betapa banyak hikmah yang aku peroleh hari ini, yang mungkin dibisikan malaikat lewat pengalaman Surei. Aku selama ini terlalu menggunakan nalar dalam berinteraksi dengan sesama dengan mengesampingkan hati, tempat empati berada. Aku menyadari betapa banyak bisikanNYA yang tidak mampu aku rasakan, tidak mampu aku manfaatkan, tidak mampu aku jalankan. Sehingga akhirnya aku tidak mampu berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan. Aku meneteskan air mata, Alhamdulillah ya Alloh Engkau beri hamba sahabat yang bijak yang meninggalkan jejak baik di hati.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi alarm berdering dari Iphone Surei. ‘Agus san, sudah satu jam. Maaf mengganggumu dan terima kasih mau menemaniku. Mudah-mudahan badai salju belum turun’.
Dan aku baru menyadari bahwa aku belum meminum brew-coffee kesukaanku. ‘Agus san, brew-coffee kesukaanmu, khan. Kok tidak diminum ?’.
‘Aku bawa saja ya, Surei san, buat teman diperjalanan. Masih sejam lagi’, jawabanku sekenanya. Surei tertawa kecil. Aku mulai melihat keceriaan diwajahnya, seperti Surei yang aku kenal selama ini. Aku tidak mau Surei tahu kalau kerongkonganku terasa keluh dengan cerita dia.
‘Yokatta, badai salju belum turun’, kata Surei sesampai kami di pintu luar starbuck. ‘Agus san, kamu pakai bus 23, khan ?’.
‘Ya’, aku jawab. Kembali Surei berkata, ‘tampaknya busku datang lebih dulu, aku pakai bus 24. Tidak apa-apa aku duluan ?’. Surei minta ijin dan aku jawab, ‘Douzo’. Kemudian Surei segera naik bus. Dia duduk dekat kaca, melambaikan tangan sambil mengucapkan kata-kata yang aku tidak jelas mendengarnya, tapi tampaknya Surei hendak mengatakan cepat pulang dan hati-hati badai salju segera datang. Aku artikan dari tangannya yang menunjuk-nunjuk langit. Aku mengganguk dan tersenyum.
Aku lihat reklame dekat halte bus, temperature sudah mencapai minus 5 degree celcius. Tapi kini tidak terasa dingin lagi. Kepalaku pening dan badanku mulai meriang mengingat pertemuan sesaat dengan Surei. Kenapa aku tidak bisa menangkap bisikan-bisikan di hati yang bisa jadi itu dari malaikat yang mengajarkan empati terhadap sesama. Mungkin kemudian Tuhan mengirim Surei untuk menjelaskan langsung dengan suara yang lebih keras karena aku tidak mampu mendengarkan bisikan.
Dan akupun lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Surei karena sudah bercerita tentang pengalamannya. Aku tahu Surei punya banyak teman, tapi dia memilih bercerita ke aku, orang asing. Aku menghela nafas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H