Mohon tunggu...
Agus Trilaksono
Agus Trilaksono Mohon Tunggu... -

untuk langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku gagal, mendengar bisikan itu ..

27 Februari 2014   16:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:25 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

‘Agus san, bisikan itu sangat kuat aku rasakan. Meskipun kakiku terus melangkah menjauhinya dan terus menuju gate kereta yang mengantarkanku ke Ochanomizu. Di kaca lantai dua, tempat gate kereta aku menunggu, tanpa sadar aku menoleh ke bawah dan aku melihat orang tua tadi berjalan lemah seperti orang yang tidak punya tenaga. Bersamaan dengan itu kereta datang. Aku mulai ragu, kereta tidak mau menunggu dan aku tetap menuju kereta itu. Penyesalan mulai hinggap di diriku dan esoknya aku coba untuk kembali ke stasiun kereta Shinjuku berharap bertemu lagi dengan orang tua itu. Tapi semuanya tampak terlambat’. Surei tampak meremas-remas kuat sapu tangannya. Air matanya jatuh lebih cepat dari dia menyekahnya.

Tidak terasa matakupun mulai berair. Bukan sedih atas cerita Surei tapi karena betapa banyak kejadian yang pantas aku sesali kulalui tanpa peyesalan. Betapa banyak rasa empati yang harusnya aku miliki terhadap sesama tapi tidak berbekas dihati. Betapa congkaknya aku ini. Dan akupun mulai bertanya tentang diriku sendiri, ‘manusia macam apa aku ini’.

Kami tenggelam dalam lamunan. Diam. Aku mulai menghela napas panjang. Tidak kusangka betapa banyak hikmah yang aku peroleh hari ini, yang mungkin dibisikan malaikat lewat pengalaman Surei. Aku selama ini terlalu menggunakan nalar dalam berinteraksi dengan sesama dengan mengesampingkan hati, tempat empati berada. Aku menyadari betapa banyak bisikanNYA yang tidak mampu aku rasakan, tidak mampu aku manfaatkan, tidak mampu aku jalankan. Sehingga akhirnya aku tidak mampu berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan. Aku meneteskan air mata, Alhamdulillah ya Alloh Engkau beri hamba sahabat yang bijak yang meninggalkan jejak baik di hati.

Tiba-tiba aku mendengar bunyi alarm berdering dari Iphone Surei. ‘Agus san, sudah satu jam. Maaf mengganggumu dan terima kasih mau menemaniku. Mudah-mudahan badai salju belum turun’.

Dan aku baru menyadari bahwa aku belum meminum brew-coffee kesukaanku. ‘Agus san, brew-coffee kesukaanmu, khan. Kok tidak diminum ?’.

‘Aku bawa saja ya, Surei san, buat teman diperjalanan. Masih sejam lagi’, jawabanku sekenanya. Surei tertawa kecil. Aku mulai melihat keceriaan diwajahnya, seperti Surei yang aku kenal selama ini. Aku tidak mau Surei tahu kalau kerongkonganku terasa keluh dengan cerita dia.

‘Yokatta, badai salju belum turun’, kata Surei sesampai kami di pintu luar starbuck. ‘Agus san, kamu pakai bus 23, khan ?’.

‘Ya’, aku jawab. Kembali Surei berkata, ‘tampaknya busku datang lebih dulu, aku pakai bus 24. Tidak apa-apa aku duluan ?’. Surei minta ijin dan aku jawab, ‘Douzo’. Kemudian Surei segera naik bus. Dia duduk dekat kaca, melambaikan tangan sambil mengucapkan kata-kata yang aku tidak jelas mendengarnya, tapi tampaknya Surei hendak mengatakan cepat pulang dan hati-hati badai salju segera datang. Aku artikan dari tangannya yang menunjuk-nunjuk langit. Aku mengganguk dan tersenyum.

Aku lihat reklame dekat halte bus, temperature sudah mencapai minus 5 degree celcius. Tapi kini tidak terasa dingin lagi. Kepalaku pening dan badanku mulai meriang mengingat pertemuan sesaat dengan Surei. Kenapa aku tidak bisa menangkap bisikan-bisikan di hati yang bisa jadi itu dari malaikat yang mengajarkan empati terhadap sesama. Mungkin kemudian Tuhan mengirim Surei untuk menjelaskan langsung dengan suara yang lebih keras karena aku tidak mampu mendengarkan bisikan.

Dan akupun lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada Surei karena sudah bercerita tentang pengalamannya. Aku tahu Surei punya banyak teman, tapi dia memilih bercerita ke aku, orang asing. Aku menghela nafas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun