Mohon tunggu...
Agus Trilaksono
Agus Trilaksono Mohon Tunggu... -

untuk langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Burung, untuk apa ia diciptakan.

7 Maret 2014   03:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:09 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sabtu jam delapan pagi, aku melihat Mbah Jogo baru keluar dari masjid. Aku segera mengambil jalan memutar dan berharap tidak berpapasan dengan Mbah Jogo. ‘Sungkan’, kataku. Tapi Mbah Jogo tampaknya tahu dan dengan suaranya yang seperti mengandung magnet memanggilku. ‘Nak Mas .. sebentar Nak Mas’, Kata Mbah Jogo. ‘Saya meneruskan pesan Nak Mas Kaldi, hari ini sehabis dhuha, Kita berdua di undang ke rumah Nak Mas Kaldi. Ada acara syukur bin ni’mat, Khitanan anak pertamanya’. Aku tidak bisa menolak, suaranya seperti mengandung magnet. ’inggih .. Mbah’, kataku singkat.

Kami berjalan bersama menyusuri pematang sawah. Tenang rasanya hati melihat hamparan padi di pagi hari. Seperti sudah sampai di taman-taman surga. Sesekali kami mendengar ucapan salam dari penggarap sawah. ‘Assalamu’alaikum .. Mbah’, kata mereka. ‘Wa’alaikumussalam,’ balas kami serempak.

Dari kejauhan kami mulai mendengar lagu qosidah dari arah depan kami sebagai tanda bahwa kami sudah hampir sampai ke rumah Mas Kaldi. Sudah menjadi kebiasaan di desa kami untuk mengalunkan lagu-lagu qosidah saat kami menyelenggarakan hajatan. Tamu masih terlihat sedikit saat kami tiba di rumah Mas Kaldi. Mas Kaldi terlihat tergopoh-gopoh menyambut kami, tentu karena ada Mbah Jogo, batinku sambil tersenyum. Kami di ajak berkeliling ke rumah Mas Kaldi yang sangat asri dan luas. ‘Mumpung masih sepi,’ kata Mas Kaldi. Dan yang membuat saya takjub adalah 12 sangkar burung yang sangat indah tergantung berjajar di serambi samping rumah Mas Kaldi. Baik sangkar maupun burung di dalamnya tidak ada yang sama. Sangkarnya di cat sesuai dengan warna burung di dalamnya. Burung-burung itu kelihatan sangat terawat, bersih dan kicauannya merdu sekali. Begitu yang aku rasakan. Dan tampaknya Mas Kaldi tahu apa yang aku pikirkan. Dia berkata, ‘burung-burung itu saya kasih makan dengan makanan terbaik tiga kali sehari dan saya mandikan setiap pagi dan sehabis ashar’. Saya manggut-manggut tapi Mbah Jogo tampak tidak memberi reaksi yang seperti aku rasanya. Beliau hanya mengelus-elus janggutnya yang sudah memutih.

Tiba-tiba Mbah Jogo bersuara pelan, dan seperti biasanya seperti mengandung magnet, ‘Nak Mas, pernakah Nak Mas perhatikan bagaimana burung diciptakan ?. Bagaimana paruhnya yang didisain lancip dan kokoh. Bentuk kepalanya yang sangat sesuai dengan bentuk paruhnya bahkan hingga ke badannya’. Mbah Jogo tiba-tiba menoleh ke arahku sambil berkata, ‘apa istilahnya .. Nak Mas dalam ilmu yang Nak Mas pelajari. Nak Mas khan pernah bercerita ke Mbah bahwa pesawat pada dasarnya didisain meniru tubuh burung, bukan begitu nak Mas,’. Dengan cepat aku menyaut, ‘inggih .. Mbah. Istilahnya streamline’. Sejujurnya aku tidak tahu arah pertanyaan Mbah Jogo.

Kemudian Mbah Jogo meneruskan, ‘Nak Mas, lihat sayapnya yang kokoh dan bahkan mempunyai sifat yang selalu kering biarpung hujan’. ‘Tentunya agar supaya burung bisa tetap terbang saat hujan khan Nak Mas, tapi Nak Mas lebih tahu masalah ini khan’, kata Beliau sambil tersenyum. Dan kami tersipu malu oleh pujiannya.

‘Nak Mas’. Aku menangkap nada suara yang berbeda dari Mbah Jogo. Aku lirik dan ada sedikit keseriusan di wajah Beliau. ‘Tentunya Nak Mas sangat tahu tentang filosofi bagaimana pesawat di buat yang menurut Nak Mas meniru kemampuan burung untuk terbang, bukan’. Aku mengangguk.

‘Pernahkah Nak Mas membayangakan sebuah pesawat hanya tinggal di hangar tanpa pernah terbang,’. Aku terkejut dan aku mulai mengerti kemana arah pembicaraan kami. Mas Kaldipun mulai sedikit salah tingkah. Biarpun Mas Kaldi adalah seorang pengusaha tapi dia lulusan institut terkenal. Mas Kaldipun mengerti kemana arah pembicaraan ini. Aku melihat Mas Kaldi mulai membetulkan posisi kopiah yang padadasarnya sudah pas di kepalanya.

‘Nak Mas, tentu Alloh SWT menciptakan burung dengan bentuk tubuh seperti itu, streamline seperti yang Nak Mas bilang, sayap yang kokoh dan tidak mudah basah biarpun terkena hujan, itu menunjukkan bahwa burung diciptakan untuk terbang, bukan untuk di dalam sangkar’. Aku dan Mas Kaldi hanya tertunduk malu, dan Mbah Jogo terus memberikan uraian kata-kata yang menyentuh kalbu kami.

‘Mbah tahu kalau Nak Mas merawat burung-burung tersebut dengan sangat baik, yang menurut Nak Mas, burung-burung tersebut memberi suara merdu setiap pagi dan petang hari. Tapi darimana Nak Mas tahu kalau burung-burung itu bersandung gembira, bukan senandung rindu teringat saat-saat terbang bebas di angkasa dan menikmati keindahan ciptaan Alloh SWT yang lainnya. Pepohonan, sungai dan makluk-makluk lain yang kita tidak tahu.Dan jangan menguatirkan bagaimana burung-burung tersebut darimana dapat makan, karena Alloh SWT yang menciptakan tentu sudah menjamin rejekinya. Bukankah Alloh SWT adalah sebaik-baik penjamin … bukan begitu Nak Mas, bukan begitu’.

Kami, berdua, tertunduk malu. Hanya mampu berbicara, ‘inggih Mbah … inggih Mbah’. Dan sudah tak terhitung berapa kali Mas Kaldi membetulkan kopiah yang sebenarnya sudah pas di kelapanya.

Dari jauh tampak Mbak Karti, istri Mas Kaldi, melambai-lambaikan tangan. Kami mengerti, ini waktu Mbah Jogo memberi nasehat-nasehat tentang makna khitan, acara utama hari ini.

Aku lihat Mbah Jogo wajahnya berbinar-binar saat menceritakan makna kithan. Suasananya sangat ceria dan segar. Para hadirin terkadang serius menyimak, terkadang tersenyum renyah dan terkadang tertawa. Aku lihat Mas Kaldi hanya tertunduk saja, sesekali tampak tersenyum hanya terkesan dipaksakan. Tampaknya Mbah Jogo juga merasakan suasana hati Mas Kaldi dan berusaha untuk mencairkan suasana, ‘Nak Mas, kue nagasarinya enak sekali apalagi sambil minum wedhang jahe Nak Mas,’ kata Mbah Jogo sambil meminum wedhan jahe hangatnya. Mas Kaldi tersenyum kecut. Kami kemudian terlibat pembicaraan ringan seputar makanan dan pengalaman kami saat menjadi santri dan memasak sendiri. Aku melihat wajah Mas Kaldi mulai putih bersih seperti biasanya. Tampaknya Mas Kaldi sudah bisa mengusai hatinya.

Kami berpamitan ke tuan rumah. Mereka membekali kami satu kresek besar ‘berkat’. Mas Kaldi mencium tangan Mbah Jogo, kebiasaan kami saat di pesantren dulu saat bersalaman dengan guru. Dan Mas Kaldi bilang,’terima kasih telah datang, Mbah, Insya’ Alloh ba’da ashar sehabis saya mandikan burung-burung tersebut, akan saya lepas mereka semua agar mereka memenuhi takdirnya, terbang ke angkasa’.Mbah Jogo tampak berusaha mengalihkan pembicaraan, ‘Nak Mas, nanti saya diberi resep nagasarinya ya, saya akan minta Mbah Nyai untuk membuatnya. Nagasari buatan Nak Mas lebih enak,’ kata Mbah Jogo sambil tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun