Banyak sekali terdeskripsikan dalam latar belakang penelitian data yang berkenaan dengan gap perolehan zakat dengan potensinya. Berdasarkan outlook zakat tahun 2021 yang di rilis oleh BAZNAS, potensi zakat pada tahun 2021 adalah 327 T. Sementara realisasinya hanya 14,1 T. Dengan kata lain, zakat yang terkumpul tidak sampai 5%. Dari gap itu akhirnya, muncul penelitian tentang optimalisasi, kepercayaan muzakki, efektifitas program, manajemen pemberdayaan, dan lain sebagainya.
Menurut penulis, adanya gap yang demikian besar itu ada beberapa alternatif kemungkinan:
- Salah perhitungan potensi zakat;
- Muzakki kurang atau bahkan tidak berzakat;
- Data perolehan zakat tidak valid;
- Rendahnya tingkat kepercayaan Muzakki kepada amil zakat;
- Muzakki enggan membayar zakat melalui amil zakat.
Kita bahas satu persatu alternatif problemnya.
Yang pertama, salah perhitungan potensi zakat. Untuk mengetahui benar tidaknya perhitungan potensi zakat, perlu menelisik cara atau metode menghitung potensi zakat. Potensi zakat dengan Angka 327T itu apakah dihasilkan dari penghitungan yang betul? Penulis mendapatkan data dari Outlook Zakat Indonesia tahun 2022 halaman 89 yang mengutip data Outlook Zakat Indonesia pada 2021, potensi zakat Indonesia mencapai Rp 327,6 triliun.Â
Penghitungan angka potensi 327T itu sudah terdistribusi dalam beberapa sektor zakat. Diantaranya zakat perusahaan (Rp144,5triliun), zakat penghasilan dan jasa (Rp139,07 triliun), zakat uang (Rp58,76 triliun), zakat pertanian (Rp 19,79 triliun), dan zakat peternakan (Rp 9,52 triliun). Ngomong-ngomong setelah penulis cek dengan menjumlahkan angka yang ada dalam tanda kurung jumlahnya adalah 371,67 T, bukan 327,6T. Heheh... sesederhana itu saja ternyata laporannya keliru. Ok... mungkin typo kali laporannya.
Kita lanjutkan lagi. Perlu di ketahui bahwa zakat adalah kondisi individual (mikro), bukan kondisi agregat (makro). Selain itu penghitungan potensi zakat seharusnya juga harus memisahkan antara zakat fitrah dan zakat maal. Hal ini karena zakat fitrah memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan zakat maal. Dalam hal kondisi individual, perinciannya sangat detail untuk masing-masing sektor zakat. Namun demikian kondisi umum yang HARUS diperhatikan adalah: Islam dan nishab. Maksudnya sudahkah penghitungan potensi itu mempertimbangkan: individu Islam dan nishab perindividu? Bukan melalui data agregat atau PDB dari BPS.
Individu di sini bisa berarti perorangan atau badan hukum. Artinya menghitung zakat adalah analisis ekonomi mikro dengan batasan-batasan fikih zakat, tidak cukup melalui analisis ekonomi makro. Kalaulah dipaksakan melalui analisis ekonomi makro, cara paling mudah adalah melalui PDB. jika boleh saya balik, kita anggap bahwa besaran zakat secara umum adalah 2,5% (meskipun ada yang 5%, 10% bahkan 20%) dari harta wajib zakat. Maka berapa harta wajib zakat?
dari data potensi zakat sebesar 327T, dan besaran persentase zakat secara umum 2,5, dapat kita hitung harta wajib zakat. Secara mematis adalah sebagai berikut:
Potensi Zakat = 2,5 % x harta wajib zakat
Harta wajib zakat = potensi zakat : (dibagi) 2,5% = 327 T : (dibagi) 2,5% = 13.080 T
Melalui perhitungan tersebut, kita dapatkan bahwa potensi zakat sebesar 327 T itu didapat dari harta wajib zakat sebesar 13.080 T. Bernarkah PDB individu muslim Indonesia dalam setahun adalah 13.080T? Kalaupun betul, maka ini masih harus dibatasi dengan nishab. Artinya, 13.080T itu adalah kumpulan dari produktifitas umat muslim yang mencapai nishab. Ingat, hanya kekayaan tertentu yang mencapai nishab yang wajib membayar zakat. Oh ya angka 13.080 T ini harusnya bukan hanya kekayaan produktif tapi juga kekayaan yang idle (nganggur) terutama berupa uang dan emas.Â
Mari kita hitung. Hingga akhir tahun 2022, jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data Kemendagri sebanyak 277,75 juta jiwa. Dari jumlah itu, 241,7 juta beragama Islam. 241,7 juta tersebut juga terdiri dari anak-anak, kakek, dan istri yang menjadi tanggungan. Mari kita hitung. Anggap semuanya adalah muzakki, baik muzakki individu maupun muzakki badan usaha. Â Jika angka harta wajib zakat di Indonesia dibagi dengan jumlah penduduk muslim yang semuanya muzakki, akan didapatkan angka 54,1 juta (hasil perhitungan 13.080 T dibagi 241,7 juta jiwa). Ini adalah angka yang sangat fantastis. Tiap individu muslim indonesia memiliki kekayaan dan produktifitas sebesar 54,1 juta. Wao sekali, karena ini adalah harta dan produktifitas per individu: bayi, anak-anak, tua, laki-laki, maupun perempuan.
Alternatif Problem yang ke dua dari gap dan potensi zakat adalah Muzakki kurang atau bahkan tidak berzakat. Untuk menelisik ini, harus dilakukan penelitian simultan tentang perilaku berzakat. Mungkin para mahasiswa Prodi Manajemen Zakat dan Wakaf bisa diarahkan untuk mengambil judul penelitian dengan tema perilaku berzakat masyarakat tertentu. Diantaranya perilaku berzakat pedagang, petani, nelayan, dokter, insinyur dan lain sebagainya. Penelitian ini akan mengungkapkan bahwa masyarakat sudah berzakat secara benar atau tidak.Â
Selanjutnya juga diharapkan sampai pada bagaimana para muzakki mengeluarkan zakat. Apakah diberikan secara langsung kepada mustahik, melalui amil, atau sebagian diberikan kepada amil dan sebagian yang lain diberikan langsung kepada mustahik. Jika pilihannya pada sebagian diberikan kepada mustahik dan sebagian kepada amil, berapa porsi masing-masing. Dengan penelitian semacam ini diharapkan dapat mempersempit gap antara potensi dan realisasi zakat, juga menambah literasi dan mengedukasi masyarakat dalam berzakat
Alternatif problem berikutnya adalah data realisasi zakat tidak atau kurang valid. Tidak validnya laporan zakat yang disetor kepada BAZNAS juga sangat bisa mempengaruhi lebarnya gap antara potensi zakat dan realisasinya. Hal ini tentu bisa diminimalisir dengan audit laporan keuangan dan penyatuan sistem informasi keuangan yang dikomandani oleh BAZNAS sebagai regulator pelaksana dalam hal zakat. Campur aduk antara rekening infak, zakat, dan shadaqah juga bisa menyebabkan data realisasi zakat tidak valid. Kita sering menjumpai ketidak jelasan itu pada kotak amal, proposal, atau amplop bantuan yang menuliskan ZIS pada satu tempat. semstinya, instrumen pengumpulan dana zakat dibedakan dengan infak dan shadaqah. Dengan demikian akan tampak berapa dana zakat yang terkumpul. Pun pula ini akan mengedukasi kepada masyarakat bahwa zakat memang harus berbeda dengan infak dan shadaqah.Â
Disamping itu, tidak validnya data realisasi zakat juga dipengaruhi variabel realisasi zakat yang oleh muzakki langsung diberikan kepada mustahik, tanpa melalui amil. Kondisi ini bisa jadi karena kepercayaan dan keengganan. Kepercayaan dan keengganan ini merupakan alternatif problem yang ke empat dan ke lima.
Kita bahas kepercayaan terbih dahulu. Kepercayaan muzakki kepada amil sangat mempengaruhi muzakki dalam pola pembayaran zakatnya. Dalam hal membayar zakat tidak ada aturan yang memaksa muzakki untuk membayarkan kepada amil, baik aturan negara maupun aturan fikih. Muzakki dapat memilih apakah memberikan sendiri zakatnya kepada mustahik atau melalui amil. Jika muzakki nyaman dan percaya terhadap suatu amil, niscaya ia membayarkan zakatnya melalui amil kepercayaannya. Banyak faktor yang mempengaruhi kepercayaan muzakki kepada amil. Sangat penting bagi Amil agar medapatkan kepercayaan/ trust.Â
Oleh karenanya program-program untuk menumbuhkan kepercayaan harus segera dimulai. Program tersebut sangat penting dirawat dan di kembangkan. Kepercayaan sangat erat kaitannya dengan persepsi masyarakat terhadap kemampuan, kebajikan dan integritas amil. Tiga hal tersebut harus dilaksanakan dan ditunjukkan kepada masyarakat luas agar mereka semakin mempercayai amil.
Problem gap potensi dengan realisasi zakat berikutnya adalah muzakki enggan membayar zakat melalui amil. Apalagi jika berkenaan dengan zakat fitrah. Banyak ummat muslim yang membayar zakat fitrah melalui masjid, musholaa, sekolah, pesantren dan lain sebagainya yang itu bukan amil (LAZ maupun BAZ). Problem ini berbeda dengan problem kepercayaan sebagaimana yang sudah diuraikan di atas. Pada dasarnya, muzakki pada titik ini mungkin percaya kepada amil, hanya saja muzakki enggan membayar zakat melalui amil dan memilih membagikannya sendiri.
Diantara pertimbangan yang mungkin terjadi adalah: muzakki ragu, efek zakat yang dibayarkan melalui amil tidak dirasakan oleh warga di lingkungan muzakki. Keengganan ini menjadikan zakat yang dibayarkan oleh muzakki tidak terdata. Akibatnya, data perolehan realisasi zakat tidak sesuai dengan kenyataannya meskipun hakikatnya, muzakki telah membayar seluruh kewajiban zakatnya. Hanya saja, pembayaran itu sebagian atau bahkan seluruhnya diberikan sendiri oleh muzakki kepada masyarakat sekitar yang menurutnya sebagai mustahik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H