Mohon tunggu...
Atok Syihabuddin
Atok Syihabuddin Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Ekonomi Islam

Selalu belajar, mengajar, sharing

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sistem Voucher Ala-ala....

31 Desember 2022   23:58 Diperbarui: 1 Januari 2023   00:05 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya membayangkan....

Bisakah otoritas (Bank Sentral atau pemerintah) kita menerbitkan "VOUCHER" pembayaran selain rupiah?? Mungkin ini terdengar lucu ya. Tapi sebentar... ini akan sedikit rumit menjelaskannya. Saya harus memulai dari mana ini....

Sistem keuangan saat ini secara internasional di dominasi oleh dolar (dan mata uang kuat lainnya. Namun untuk memudahkan penyebutan, saya sebut dolar saja). Segala nilai perdagangan internasional dikonfersi dengan dolar. Tentu ini mengecualikan negara yang sudah melakukan perjanjian bilateral atau multilateral dalam trading. Poinnya adalah bahwa dolar (dan mata uang negara kuat) lainnya sebagai patokan nilai dalam perdagangan internasional. Merujuk dari sistem keuangan internasional ini, otoritas kita pun membuat patokan sendiri, rupiah. Tapi rupiah ini punya turunannya lagi berupa "voucher".

Antara rupiah dan voucher punya hubungan sendiri-sendiri. Rupiah untuk umum voucher hanya untuk "menciptakan" nilai rupiah, Voucher untuk usaha menguatkan rupiah.

Ekonomi makro Indonesia sangat tergantung dengan aktifitas produktif yang terjadi di dalam negeri. Hasil berbagai produksi ini kemudian dihitung dalam kurun waktu satu tahun dan ditotal menjadi PDB (product domestic bruto). Hasil produksi ini sebagian di konsumsi oleh rakyat Indonesia dan sebagian lagi di eksport. Indonesia juga tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan dari produksi dalam negeri. Indonesia harus mengimport barang kebutuhan tersebut dari luar negeri. Suatu negara harus mengusahakan agar nilai eksportnya lebih banyak pada nilai importnya agar nilai  keuangannya tidak terganggu.

Aktifitas produksi dalam negeri membutuhkan biaya yang besar. Biaya ini, jika tidak bisa terpenuhi dengan keuangan dalam negeri, harus didapatkan dari pendanaan luar negeri. Biasanya dalam bentuk utang atau investasi. Masalah permodalan ini menjadi masalah tersendiri dalam proses produksi. Ditambah lagi jika produksi itu berhubungan dengan eksplorasi alam, seperti minyak, gas, nikel dan barang tambang lainnya. Modalnya luar biasa besar. Negara kaya bahan alam, seperti Indonesia, tidak bisa apa-apa jika tidak ada modal untuk mengeksplorasi kekayaan alamnya.

Sudah menjadi hukum bisnis bahwa pemilik modal adalah juragannya. Dalam hal, kekayaan alam Indonesia yang di eksplorasi dengan modal "utang", sebenarnya siapa juragannya? Pemilik uang, atau pemilik kekayaan alam? Ini bisa menjadi masalah tersendiri untuk menentukan bagi hasil dalam perjanjian kerjasama. Pada suatu kasus, jika kita mempelajari perjanjian kerjasamanya, bisa jadi kesimpulannya adalah kita adalah "budak"nya pemilik modal uang (asing). Padahal alam juga termasuk modal. Maka tidak adil jika kita sebagai pemilik "sawah" sebagai budak di sawahnya sendiri.

Indonesia adalah negara yang luas, kaya sumber daya alam, dan padat penduduk. 3 hal tersebut merupakan modal penting. Luas wilayah Indonesia sama dengan gabungan belasan negara eropa, sama juga dengan separuh benua Australia. Hebatnya lagi setiap jengkal wilayahnya kaya dengan sumber daya alam. Masalahnya tinggal pengolahan sumber daya alamnya. Lha penduduk yang padat itu masa tidak ada yang bisa? Berbagai perguruan tinggi yang tersebar dalam berbagai spesialisasi bidang itu masa tidak menciptakan SDM berkombeten mengolah SDA. Ahh... sepertinya kok naif banget. Pasti ada. Lha terus, apakah kompetensi yang dibangun oleh pendidikan kita ujung-ujungnya adalah menjadi "jongos" para pemodal? Yang lebih miris lagi ternyata pemodalnya adalah asing, ternyata perusahaannya adalah perusahaan asing.

Secara sederhana, sampai titik ini bisa kita sepakati bahwa masalah eksplorasi hanya terletak pada modal. Gimana kalau kita kunci seperti ini: Khusus yang alur perputaran bisnisnya  hanya melibatkan bahan-bahan dalam negeri, untuk modal, pemerintah support modal dengan uang "cetakan" kalau dibahasakan lain mungkin bisa seperti "voucher". Voucher itu bisa digunakan untuk memesan besi lokal untuk dijadikan mesin, digunakan untuk memesan kebutuhan dasar produksi lainnya. Asal wujud produktifitasnya bisa diukur dan nyata. Untuk tahap pertama tidak mengapa kita bekerjasama dengan luar negeri tapi hanya sebatas "belajar" kopi paste. Kita harus bisa alih teknologi. Kerjasama dengan asing harus dibatasi baik ruang maupun waktu untuk kemudia kita copi paste dan bangun sendiri. Modalnya? Ya... Uang "cetakan" pemerintah. Sekali lagi ini khusus untuk membangun pondasi bisnisnya saja.

Indonesia kaya, produktifitas harus digenjot. Produktifitas digenjot dengan dorongan modal. Modal g ada g perlu utang. Cetak "voucher" sendiri saja, tapi voucher ini hanya membeli produk terukur hanya sebatas menguatkan produksi dalam negeri saja. Tidak dipakai untuk perdagangan umum. Jika dipakai untuk perdaganan umum maka voucher itu harus ditukar dengan rupiah. Atau jika ruet bahkan voucher itu tidak bisa ditukar dengan rupiah juga tidak mengapa, karena voucher itu hanya berputar pada modal saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun