Mohon tunggu...
Jie Laksono
Jie Laksono Mohon Tunggu... Wiraswasta - What is grief if not love perseverance?

Ketika kata lebih nyaman diungkapkan lewat tulisan ketimbang lisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kerja di Malam Minggu

19 Mei 2021   20:34 Diperbarui: 19 Mei 2021   20:39 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bisa melihat bagaimana kalian memandang saya. Saya bisa melihat mata-mata kalian mengamati setiap pergerakan saya. Saya sangat mengenal pandangan-pandangan itu.

Pandangan itu seperti pandangan kecewa ayah saya bertahun-tahun lalu ketika saya gagal masuk perguruan tinggi negeri. Seperti pandangan sedih ibu saya 4 bulan lalu ketika saya berkunjung untuk meminjam uang untuk kebutuhan keluarga saya. Seperti pandangan kasihan adik-adik saya beberapa hari lalu ketika mereka tahu kakak ipar mereka selingkuh.

Pandangan-pandangan itu, mata kalian layaknya pisau yang menusuk ke tubuh kemudian memelintir ke kanan dan kiri, berulang-ulang kali. Percayalah, saya benci pandangan-pandangan itu. Pergi dari sini! biarkan saya sendiri.

Pergi!!

Kalian masih di sini? Kalian ingin mengetahui kenapa ada sampah tergeletak tertancap pisau dengan cairan merah kental mengalir di sekitarnya? Kalian benar-benar ingin tahu?

Ok, kalau kalian memaksa, saya akan perkenalkan. Ini adalah Robert, boss saya. Well, mantan boss saya. Maaf, saat ini dia tidak bisa berbicara atau bersalaman. Tapi kalaupun dia bisa, dia tidak akan menyapa atau bersalaman dengan kalian. Kenapa? Karena dia, mohon maaf perkataan kasar saya, berengsek.

Saya tahu kalian akan menghakimi saya, saya bisa liat dari mata-mata kalian yang memandang saya. Tapi percayalah, dunia akan lebih baik tanpa sampah yang satu ini. Bukan dunia saya, dunia saya sudah terlalu rusak untuk diperbaiki.

Percayalah... saya bukan orang jahat

Saya ingat sebuah diskusi yang membahas apakah dasar dari manusia? Baik atau jahat? Orang-orang menunjukkan bagaimana Bill Gates atau Mark Zuckeberg atau milyuner-milyuner lainnya yang memberi donasi sampai jutaan dollar. Orang tidak sadar kalau dengan berdonasi, mereka akan mendapatkan keringanan pajak. Menurut saya, mereka adalah oportunis, bukan orang baik.

Menurut saya, manusia hanya menjadi baik karena manusia takut terhadap aturan, entah dalam bentuk hukum atau agama atau norma sosial, karena manusia takut dicap "jahat" oleh manusia lainnya.

Katakanlah tidak ada aturan, tidak ada norma sosial, manusia akan kembali ke dasar mereka.

Saat ini, saya tidak peduli dengan hukum atau norma sosial. Jadi, saya bukan penjahat, saya hanya kembali kepada dasar dari manusia.

***

Sebuah metromini berhenti mendadak di depan sebuah gedung di selatan Jakarta, seorang penumpang laki-laki terkejut karenanya. Sepertinya ia menghabiskan waktunya dengan melamun. Dengan gesit ia bangkit dari tempat duduknya, menuju pintu keluar bus. Kemudian setengah berlari menuju gedung perkantoran tersebut.

"Pak Andi, malam minggu gini kok ke kantor?" sapa seorang laki-laki berseragam security, ramah, di pintu depan loby gedung. 

"Iya, tiba-tiba ditelpon Pak Robert disuruh ke kantor," kata Andi agak tersengal nafasnya.

Masih dengan tergesa, Andi menuju metal detector gate yang alarmnya berbunyi ketika Andi melewatinya. Seketika Andi menunjukkan jam tangannya kepada pria berseragam security.

"Iya pak Andi langsung aja, nanti dimarahin Pak Robert lagi," jawab pria berseragam security itu sambil tersenyum yang dibalas senyuman juga oleh Andi.

Di dalam lobi gedung, Andi sudah tidak lagi berlari, sambil mengatur nafasnya ia berjalan dengan santai menuju lift. Ia sudah tidak berlari, tetapi jantungnya berdetak begitu kencang. Wajahnya begitu berkeringat, walaupun udara lift begitu dingin karena AC yang kencang.

Di dalam lift, ia merogoh tas selempangnya, memeriksa apa ada yang tertinggal. Jari Andi merasakan sebuah benda logam yang terasa dingin dan tajam di dalam tas selempangnya.

Andi tersenyum sambil berkata lirih "tidak ada yang tertinggal" sambil keluar dari lift menuju ruangan kerjanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun