Terhitung kemarin, Kamis 25 Februari 2021, Pemerintah Amerika Serikat dilaporkan akan mendeklasifikasi dan merilis laporan intelijen terkait kasus pembunuhan Jamal Khashogi dalam beberapa hari ke depan.Â
Kongres Amerika Serikat sebenarnya sudah lama meminta Pemerintah Amerika Serikat untuk merilis laporan intelijen tersebut, sejak masa Presiden Donald Trump, tetapi Trump menolak merilis laporan tersebut.
Keputusan untuk merilis laporan intelijen terkait dugaan pembunuhan Jamal Khashogi merupakan satu dari beberapa keputusan Joe Biden yang akan merubah wajah politik Amerika Serikat di Timur Tengah.
Kasus Jamal Khashoggi
Jamal Khashoggi adalah seorang kolumnis Washington Post yang menghilang setelah memasuki Konsulat Saudi Arabia di Turki pada 2 Oktober 2018. Pada awalnya, Pemerintah Saudi Arabia menyatakan bahwa Khashoggi telah meninggalkan kantor Konsulat dalam keadaan hidup. Pernyataan tersebut berubah 18 hari kemudian.
Pada 20 Oktober 2018 Pemerintah Saudi menyatakan bahwa Khashoggi tewas setelah terlibat kejadian adu pukul di konsulat. Pernyataan tersebut kembali berubah setelah pada 25 Oktober 2018 Jaksa Agung Saudi Arabia menyatakan bahwa pembunuhan Khashoggi adalah kasus terencana.
Laporan intelijen yang akan dirilis oleh Joe Biden terkait pembunuhan Jamal Khashoggi diduga akan mencatut nama Mohammed bin Salman, putera mahkota Saudi Arabia. Jamal Khasoggi memang dikenal sebagai pengkritik Mohammed bin Salman.
Sebenarnya, Kongres Amerika Serikat dari bipartisan, Demokrat dan Republik, sudah menuntut pemerintah Amerika Serikat untuk merilis laporan intelijen terkait kasus Khahoggi, akan tetapi Donald Trump menolak. Hubungan Donald Trump dengan Saudi Arabia, khususnya Mohammed bin Salman memang cukup signifikan.
Pada masa Trump, Amerika Serikat menjual persenjataan seharga 110 milyar dollar secara langsung dan 350 milyar dollar selanjutnya dalam 10 tahun ke depan. Joe Biden sebagai presiden baru juga akan menghentikan penjualan senjata ke Saudi Arabia setelah laporan tersebut dirilis ke publik.
Perang saudara di Yaman
Pada 4 Februari 2021 lalu, dalam pidatonya di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Joe Biden menyatakan akan menarik dukungannya kepada Saudi Arabia terkait perang saudara di Yaman. Perang yang sebenarnya merupakan proxy war antara Saudi Arabia dan Iran tersebut sudah memakan banyak korban dari rakyat sipil.
Saat ini, perang saudara di Yaman begitu rumit karena banyaknya aktor yang bermain di dalamnya. Wilayah di Yaman pun saat ini secara de facto terbagi-bagi. Ada wilayah yang dikuasai oleh Abdrabbuh Mansur Hadi, yang didukung oleh Saudi Arabia dan Amerika Serikat beserta sekutu, wilayah yang dikuasai oleh Houthi pimpinan Saleh Ali al-Sammad yang didukung oleh Iran, wilayah Aden yang dikuasai Southern Transitional Council pimpinan Aidarus al-Zoubaidi yang didukung Uni Emirate Arab, wilayah yang dikuasai Islamic State of Iraq and the Levant - Yemen Province (ISIL-YP) serta wilayah yang dikuasai Anshar Al Sharia dan Al-Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP).
Sejak dimulainya perang pada tahun 2014, sudah lebih dari 7.700 rakyat sipil yang tewas dan 17.500 terluka. Mayoritas karena bom-bom yang diluncurkan oleh koalisi Saudi Arabia. Selain itu lebih dari 20 juta rakyat mengalami kerawanan pangan dan 10 juta mengalami kelaparan.
Perjanjian Nuklir Baru dengan Iran
Perjanjian nuklir tahun 2015 adalah perjanjian antara Iran dengan Amerika Serikat, China, Russia, Prancis, Inggris dan Jerman yang didasari atas ketidakpercayaan internasional kepada Iran, bahwa Iran akan membangun senjata nuklir. Akan tetapi Iran menegaskan bahwa program nuklirnya bukan untuk persenjataan.
Maka dari itu, munculah Perjanjian Nuklir 2015 yang membolehkan International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk menginspeksi pengembangan nuklir Iran, serta memeriksa lokasi-lokasi manapun di Iran yang dianggap mencurigakan sebagai pengembangan senjata nuklir. Selain itu dengan perjanjian itu, Iran juga diharuskan untuk mengurangi simpanan uranium sampai 98 persen.
Joe Biden berencana untuk kembali pada Perjanjian Nuklir dengan Iran tahun 2015 dan menghapus sanksi ekonomi terhadap Iran. Pada 2018 lalu, Presiden Trump membatalkan perjanjian nuklir dengan Iran secara sepihak dan menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran. Akan tetapi, Biden menyatakan bahwa Iran harus menghentikan usaha enriching uranium terdahulu baru sanksi ekonomi akan dihapuskan.
Bila usaha Biden ini berhasil, hubungan diplomatic dengan Iran akan membaik, akan tetapi dapat memperburuk hubungan diplomatic dengan Saudi Arabia.Â
Selain Iran dan Saudi Arabia terlibat proxy war di beberapa negara, pada 14 September 2019 terjadi penyerangan dengan menggunakan drone di lokasi pemerosesan minyak bumi milik Saudi Arabia di daerah Abqaiq dan Khurais.Â
Pihak Houthi mengklaim penyerangan tersebut, sebagai aksi balas interverrsi Saudi Arabia di Yaman. Akan tetapi Amerika Serikat dan Saudi Arabia mengklaim bahwa penyerangan tersebut dilakukan oleh Iran.
***
"New sheriff in town" adalah kalimat yang tepat melihat kebijakan politik Amerika Serikat saat ini, terutama di Timur Tengah. Joe Biden terlihat hampir membalik 180 derajat kebijakan-kebijakan Trump di Timur Tengah. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada begitu banyak kepentingan Amerika Serikat di daerah kaya sumber daya energi ini.
Trump dan Biden sangat bertolak belakang, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah, sama seperti Trump, Biden adalah Presiden Amerika Serikat. Jadi wajar apapun yang dilakukan adalah untuk Amerika Serikat atau paling tidak untuk memuaskan pemilihnya di Amerika Serikat.
Saya tidak akan bertaruh bahwa Biden akan menyelesaikan konflik di Suriah, perang saudara di Yaman atau konflik yang sudah menua di Palestina - Israel.Â
Kebijakan politik Amerika Serikat di bawah Biden akan jauh berbeda dibanding kebijakan di bawah Trump. Akan tetapi, berbeda tidak mesti berarti lebih baik atau lebih buruk. Berbeda hanya berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H