[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Pantai Iboih     "][/caption] Tak lengkap rasanya kalau sudah ke Aceh tapi tidak mengunjungi Pulau Weh, pulau paling barat Indonesia dimana titik 0 kilometer bermulai. Maka setelah puas mengelilingi Kota Banda Aceh dan mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah, keesokan harinya kami bersiap-siap mengunjungi Pulau Weh. Pagi hari dengan menggunakan sepeda motor temanku kami menuju Pelabuhan Uleue leu, namanya sangat sulit kuucapkan tapi ternyata cara membacanya hanya ule le saja, kata temanku sambil berkelakar "tulisannya boros padahal bacanya pendek aja....". Selesai sarapan kami segera naik ke dalam kapal cepat, di dalamnya ternyata sudah ramai penumpang. Ruang penumpang dibagi dua kelas yaitu ekonomi dan vip, kami hanya membeli tiket kelas ekonomi. Perjalanan ternyata tidak terlalu lama.  30 menit kemudian kami sudah merapat di Pulau Weh tepatnya di Pelabuhan Balohan. Khas cuaca daerah dekat pantai, panas langsung menyergap wajah. Untunglah sopir mobil yang akan kami sewa sudah menunggu untuk mengantar kami. Mobil sewaan kami ternyata adalah sebuah sedan yang umurnya sudah cukup tua, sopirnya seorang bapak berusia 50 tahunan dengan logat aceh yang khas. Jarak dari pelabuhan ke Kota Sabang ternyata lumayan jauh, jalannya juga berbukit-bukit sehingga tidak jarang mobil kami terseok-seok menaiki jalan yang mendaki cukup tinggi. Kami memilih jalan yang langsung menuju ke Desa Iboih karena rencananya kami akan menghabiskan waktu sampai sore di Pulau Rubiyah. Dalam perjalanan tak jarang kami berpapasan dengan turis-turis asing yang menyewa sepeda motor,  menurut sopir kami banyak warga negara asing yang memiliki rumah peristirahatan atau villa di Pulau  ini. Sebelum sampai ke Desa Iboih kami singgah sebentar ke tugu titik nol yang terkenal itu, yang mengagetkan adalah kedatangan kami disambut oleh seekor babi hutan dan beberapa ekor monyet. Aku dan seorang temanku yang wanita langsung ketakutan melihat babi hutan berwarna hitam yang sepertinya jinak sekali, sopir kami berbaik hati mengawal kami agar tidak didekati babi hutan itu. Tidak hanya itu saja, monyet-monyet hitam dengan nakalnya mengganggu kami, mungkin mereka ingin minta makanan, sayang waktu itu aku tidak membawa makanan sama sekali. Dengan berlari lari kami akhirmya bisa selamat menaiki tangga menuju monumen titik nol berada. Di belakangku temanku terbahak-bahak menyaksikan beberapa orang anak muda yang wajah dan pakaiannya mirip anggota boy band korea menjeri-jerit diganggu monyet-monyet, monyet-monyet itu pun bersuara riuh rendah melihat tingkah anak-anak muda yang ketakutan itu. Puas berfoto foto di monumen titik nol, kami melanjutkan perjalanan lagi menuju Desa Iboih. Dari kejauhan sudah terlihat pantai iboih dengan pasir putih dan laut biru yang menghijau sangat tenang tak terusik ombak dan gelombang. Perahu perahu motor tertambat di pinggir pantai dengan rapi. Beberapa penduduk menyewakan peralatan menyelam dan snorkeling di depan rumah mereka. Setelah tawar menawar harga sewa perahu dan peralatan snorkeling, tidak lupa membeli nasi bungkus untuk dimakan di pulau akhirnya kami berangkat ke Pulau Rubiyah. [caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Pulau Rubiyah"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H