Siang hari yang panas dan cukup terik, aku duduk sendiri di bawah pohon rindang, sedang menunggu seseorang. Nampak sesekali aku melirik ke sekililing melihat anak-anak sebayaku berlalu lalang di antar orang tuanya masing-masing. Tak lama kemudian terdengar suara yang lembut di belakangku “Miah sudah lama yah menunggu?” “Iya kakak kemana saja? aku nunggu kakak dari tadi” jawabku sambil merengutkan sedikit wajahku, “hehe, maafkan kakak dek, kakak baru keluar kelas ini , paman mana?”tanyanya sambil melihat sekeliling tempat, “paman sudah pulang kak, dia cuma nganter Miah doang”.
Setelah itu aku dan kakak perempuanku berjalan menuju loket pendaftaran yang bertuliskan “Penerimaan Siswa Baru Tsanawiah pesantren Ar-Risalah Ponorogo.” Aku hanya duduk di tempat antrian pendaftaran bersama dengan anak-anak lain yang juga mendaftar di sekolah ini, sedangkan kakaku berbaris di depan loket dengan orangtua murid lainnya untuk mendapatkan formulir pendaftaran. Setelah semuanya sudah di urus dan sudah beres, aku langsung mendapatkan kamar santri wanita yang paling depan, kakak ku langsung bergegas meninggalkan ku dan berkata “Miah kakak pergi dulu yah, kamar kakak ada di samping kalau ada apa-apa panggil kakak aja yah” “iya kak” jawabku.
Mi’atul Maaniyah itulah namaku orang-orang sering memanggil ku Miah, seorang siswi sekaligus santri baru di pondok pesantren ini. Aku sekolah sambil pesantren disini karena kakaku juga sekolah disini, kakakku sekarang dia duduk di bangku kelas 11 Aliyah atau SMA dan aku sekarang baru masuk kelas 7 Tsanawiyah atau SMP bisa di bilang murid baru. Di sekolah ini semua jenjang pendidikan ada mulai dari TK sampai Aliyah, hanya saja aku di sekolahkan disini mulai dari Tsanawiyah. Aku di masukkan kepesantren karena orangtuaku mereka berdua merantau ke Arab, mungkin agar ada yang mengurusku disini, dan disini ada kakakku juga.
Sesampainya dikamar baruku, aku langsung di sambut ceria oleh teman baru sambil mengulurkan tangannya tanda perkenalan “Haiiiii, anak baru yah? Siapa namanya ?” “aku Mi’atul Maaniyah, panggil aja aku Miah” jawabku dengan senyuman, “Aku Vio Yuni Solihah, panggil aja aku Vio” katanya dengan penuh senyuman di wajahnya. Sejak saat itu aku kemana-kemana selalu berdua dengannya bagaikan lem kayu yang melekat kuat pada kayunya yang susah untuk dipisahkan, kekantin, kesekolah, kewartel, tidur pun aku selalu berdampingan dengannya.
Vio itu sudah aku anggap sebagai teman, sahabat, bahkan lebih dari saudaraku sendiri, karena di pondok ini kita diajarkan untuk mandiri, bagaimana kita bekerja sama dengan teman, bersahabat dengan siapa saja. Tapi diantara teman-teman yang lain entah mengapa Vio itu berbeda, dia begitu ceria, riang, hangat, intinya aku nyaman bersahabat dengannya. Sangking dekatnya aku dengan Vio, ketika ibunya menjenguk ke pondok aku selalu di ajak Vio untuk bergabung dengan dia dan ibunya, ibunya pun sangat baik kepadaku, bahkan ibunya menganggapku sebagai anaknya sendiri, aku pun demikian menganggap ibu Vio seperti ibuku sendiri, walaupun ibuku tidak menjengukku di pondok setidaknya ada ibunya Vio yang memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Walaupun demikian sedikit tidaknya aku sempat merasa iri, betapa beruntungnya Vio mempunyai ibu sebaik dia.
Di suatu pagi kekita kita semua sedang berdoa untuk memulai pembelajaran, entah mengapa Vio yang selama ini selalu bersemangat untuk membaca doa tiba-tiba doanya itu tidak terdengar atau mungkin seperti tidak membaca doa. Lantas temanku yang duduk di depan vio langsung menoleh kebelkang dan melihat Vio, dia tidak suka jika ada orang yang kalau membaca doanya itu tidak ada suranya, braaaaakkkkkkkkk terdengar suara pukulan meja yang sangat keras tepat di depan Vio, dengan nada yang tinggi dia berkata “kalau berdoa itu yang keras, ada suaranya, jangan di dalam hati doang, kamu sebenernya berdoa gak sih?”. Disitu Vio kanget dan bingung harus menjawab apa, kantung matanya pun sudah penuh dengan air mata.
Selama pembelajaran berlangsung Vio hanya bisa diam dan nampak sesekali meneteskan air matanya, aku pun tidak bisa berbuat apa-apa. Sorenya sesudah shalat asar Vio memintaku untuk menemaninya ke wartel pondok, aku kaget dan bertanya “ada apa ke wartel, kan kemaren kamu udah nelpon ibumu ?” “Miah mau nemenin aku gak? Kalau gak mau juga gak apa-apa aku kewartel sendiri” jawabnya dengan nada sedikit kesal, mau tidak mau aku harus mengantarkan Vio ke wartel. Sesampainya di wartel dia menelpon ibunya sambil menangis, entah apa yang mereka bicarakan aku hanya bisa terdiam dan bingung dengan semua keadaan ini.
Ke esokan harinya, ibu Vio datang kepondok menemui Vio dan langsung ke tempat pengasuhan santri. Selama dikelas aku tidak tenang dan fikiran ku selalu bertanya-tanya, ada apa dengan Vio, apakah Vio akan pindah sekolah?. Setelah bel istirahat berbunyi aku berlari menuju tempat pengasuhan santri tapi di sana Vio dan ibunya sudah tidak ada, aku cari-cari Vio ternyata dia ada dikamar bersama ibunya. “Vio kamu kenapa ? kamu mau kemana ?” tanyaku dengan nafas yang tersengal-sengal, “aku mau izin sekolah dulu Miah selama 1 minggu” jawabnya, “tapi nanti kamu kesini lagi kan?” tanyaku lagi, “pasti Miah kita kan sahabat” jawabnya dengan penuh keceriaan. Ibunya hanya bisa tersenyum melihat wajah ku yang penuh dengan tanda tanya, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Seminggu kemudian aku menanti Vio datang kesekolah, betapa kagetnya aku yang datang bukannya Vio melainkan ibu bapaknya yang tengah mebereskan kamarnya. “ibu Vionya kemana? Kok hanya ibu dan bapak saja yang kesini?” tanyaku dengan heran, dengan lembut ibunya mendekatiku dan memegang pundak ku lalu berkata “Miah belajar yang rajin yah, jadi anak yang soleh, jangan nakal disini, kalau kangen sama Vio telpon ibu aja yah tar di jemput sama bapak buat ketemu Vio”, aku kanget “emangnya Vio mau kemana bu?”, “Vio akan pindah ke sekolah dekat rumahnya”.
Kata-kata itu seakan-akan terngiang terus difikiranku dan tanpa sadar aku menangis, meneteskan air mata, ingat pertama kali ketika aku bertemu dengan Vio, hari-hari ku besamanya, perlakuan ibunya yang sangat baik kepadaku yang sudah aku anggap seperti ibunya sendiri, aku hanya bisa menangis sejadinya. Hingga pada akhirnya akupun tersadar persahabatan yang sejati itu tidak diukur oleh jarak yang jauh melainkan dari dirikita sendiri, mungkin sosok Vio adalah salah satu teman yang paling berharga dan suatu saat nanti pasti kita akan bertemu lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H