Mohon tunggu...
Atikah Barkia
Atikah Barkia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Hubungan Internasional

a day-dreamer and night-thinker

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bedah Diplomasi Koersif: Bagaimana Faktor Penentu Keberhasilan dan Kegagalannya?

3 Desember 2021   14:35 Diperbarui: 3 Desember 2021   16:51 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: thefinancialexpress.com.bd | recreated by atikabr

Diplomasi merupakan istilah yang tidak asing dalam kajian hubungan internasional. Secara definisi, diplomasi merupakan tindakan mempengaruhi pikiran orang lain untuk tujuan tertentu. Dalam ilmu HI, diplomasi difungsikan oleh suatu negara sebagai alat untuk mempengaruhi keputusan dan perilaku pemerintah negara-asing melalui negosiasi guna mencapai national interest (kepentingan masing-masing negara). Selain itu, diplomasi dianggap sebagai jalan yang efektif untuk menjaga perdamaian dunia. Diplomasi banyak jenisnya, beberapa yang tidak asing kita dengar adalah gastrodiplomasi, diplomasi public, diplomasi budaya, diplomasi komersial, dan diplomasi kapal perang (gunboat diplomacy).

Sejatinya diplomasi dilakukan melalui proses negosiasi yang baik antar negara yang berunding. Namun, pernahkah kita berpikir bahwa terdapat diplomasi yang dilakukan dengan strategi mengancam pihak lawan?

Ya, diplomasi koersif jawabannya. Karakter dari diplomasi ini bersifat memaksa. Diplomasi jenis ini dilakukan dengan memberikan ancaman kepada pihak lawan untuk menunda bahkan membatalkan aksinya. Namun, diplomasi ini berbeda dengan teori deterrence yang sejak awal telah menghalangi pihak lawan untuk melakukan aksi yang dapat merugikan, sedangkan diplomasi koersif memberi respon atas apa yang sudah terjadi, diplomasi ini diarahkan untuk menghentikan tindakan yang sudah dilakukan (Schettino, 2009). Diplomasi koersif dicirikan dengan elemen permintaan (tujuannya adalah untuk membalas atau menghentikan tindakan yang sudah dilakukan oleh lawan, berhasil atau tidaknya diplomasi ini bergantung pada apakah permintaan tersebut akan dieksekusi), ancaman (ancaman sebagai aspek pendukung dari permintaan, ketakutan dari negara lawan akan membantu meningkatkan tuntutan) dan ditekan dengan diberikan tenggang waktu (tenggang waktu diberikan agar pihak lawan menganggap ancaman tersebut nyata dan sesegera mungkin mengambil keputusan). Tiga elemen penting yang sangat berpengaruh bagi seluruh negara dalam menjalankan diplomasi ini adalah pemberitahuan, negosiasi, dan proses saat tawar-menawar.

Diplomasi koersif dibagi menjadi dua pendekatan, yakni pendekatan full-ultimatum dan pendekatan try-and-see (Alunaza, 2020). Pendekatan full-ultimatum menyajikan tiga hal penting untuk negara lawan/ sasaran, yakni yang pertama adalah tuntunan utama yang spesifik kepada negara lawan; yang kedua penetapan tenggat waktu negosiasi dengan pihak lawan; dan yang terakhir adalah memberikan kejelasan ancaman yang akan diberikan oleh negara kepada pihak lawan apabila tidak memenuhi tuntutan dua poin sebelumnya. Kemudian, pendekatan try-and-see merupakan lanjutan pertimbangan dari pendekatan sebelumnya. Sesuai dengan namanya, pendekatan ini digunakan untuk melihat reaksi pihak lawan setelah dilakukannya diplomasi koersif. Setelah melihat bagaimana respon dari pihak lawan atau negara sasaran, negara pelaku dapat memikirkan langkah yang akan dilakukan selanjutnya (Febriandi, 2018).

Sama seperti diplomasi lainnya, diplomasi koersif juga memiliki potensi akan keberhasilan maupun kegagalannya. Terdapat beberapa faktor yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu diplomasi koersif dijalankan.

Faktor Keberhasilan Praktik Diplomasi Koersif
Terdapat lima faktor penting yang harus diperhatikan agar diplomasi koersif dapat sukses dijalankan oleh suatu negara (Crystal, 2015). Pertama, apakah tujuan dari negara pengancam sudah dianggap jelas dan sah. Dalam hal ini, opini publik menjadi tolar ukur terhadap sah atau tidaknya tuntutan dari negara pengancam. Baik opini dari masyarakat pengancam maupun masyarakat negara yang diancam. Jika masyarakat di negara pengancam menganggap bahwa tujuan akhir dari diplomasi tidak sah, maka akan sulit bagi negaranya untuk mempertahankan kebijakan untuk diplomasi koersif dalam jangka waktu yang panjang, untuk itu negara harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa tuntuntan dan akhir dari diplomasi ini adalah sah sehingga dapat diterima. Sepeti yang dikatakan tadi, opini masyarakat negara yang diancam juga penting. Jika masyarakat disana tidak tujuan yang mendasar dari negara pengancam, mereka akan bertindak membantu pemerintah melawan tekanan-tekanan dari negara pengancam. Oleh karena itu, opini publik harus sangat diperhatikan pada bagian ini. Pastikan bahwa tujuan dan tuntunan yang diberikan berlandaskan alasan yang jelas dan sah.

Kedua, memastikan tidak adanya tuntunan yang lebih banyak kedepan. Negara pengancam harus bisa membuat negara yang diancam percaya bahwa setelah didapatnya tujuan akhir dari diplomasi ini tidak akan menimbulkan permintaan-permintaan baru yang akan muncul di masa depan. Oleh karena itu, negara pengancam harus membuat tujuan, tuntutan dan tawaran solusi yang jelas secara keseluruhan agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan kedepannya.

Ketiga, memperhatikan kredibilitas ancaman. Kredibel atau tidaknya ancaman yang diberikan sangat menentukan keberhasilan dari diplomasi koersif. Kredibilatas ancaman bergantung pada empat faktor. Pertama, sebanding atau tidaknya ancaman dengan permintaan yang diajukan. Jika ancaman yang diberikan tidak sebanding dengan permintaan, maka kredibilatsnya dipertanyakan. Kedua, opini publik terhadap ancaman dan konsekuensi. Apakah masyarakat mendukung dan menganggap sah diplomasi ini seperti yang telah dijelaskan pada faktor keberhasilan pertama. Ketiga, memastikan bahwa negara terancam takut jika terjadinya puncak konflik (eskalasi). Jika iya, maka diplomasi koersif akan sangat mudah untuk dilakukan. Yang terakhir, bagaimana reputasi dari negara yang mengancam. Jika negara yang mengancam memiliki reputasi yang mampu membuat ancaman bersifat kredibel, hal ini akan memudahkan Langkah dalam membujuk negara terancam agar patuh pada permintaan.

Keempat, memperhatikan kredibilitas tenggat waktu yang diberikan. Negara yang mengancam harus mampu mengatur tenggat waktu yang diberikan kepada negara terancam untuk mempertimbangkan keputusan yang akan mereka ambil. Percuma jika permintaan dan tuntutan sah namun tidak sebanding dengan tenggat waktu yang diberikan (terlalu cepat atau malah sebaliknya). Hal ini dapat menggagalkan diplomasi koersif.

Kelima atau yang terakhir, aktor mana yang paling termotivasi untuk menang dalam berunding/ negosiasi. Besarnya motivasi biasanya tergantung pada besarnya ukuran kepentingan nasional yang ingin diperjuangkan. Jika ada hal yang sangat penting untuk diperjuangkan, maka hal tersebut dapat menjadi motivasi yang besar bagi sebah negara untuk menang. Jika terdapat lebih dari satu negara pengancam, pastinya akan ada salah satu negara yang lebih condong dari yang lain. Hal ini tergantung pada negara mana yang memiliki motivasi paling besar.

Salah satu contoh diplomasi koersif yang berhasil dijalankan oleh suatu negara adalah diplomasi antara Amerika Serikat dan Meksiko dalam kasus jumlah imigran yang membengkak di Amerika Serikat. Saat itu Amerika mengancam akan menaikkan tarif impor barang dari Meksiko apabila mereka masih membiarkan imigran gelap masuk ke wilayah AS. Karena takut akan ancaman tersebut, Pemerintah Meksiko langsung mengutus militernya ke perbatasan untuk membatalkan imigran yang ingin masuk ke AS.

Faktor Kegagalan Praktik Diplomasi Koersif
Berbicara tentang faktor kegagalan, pastinya merupakan kebalikan dari faktor keberhasilan. Kegagalan pada diplomasi koersif akan terjadi apabila negara pengancam tidak dapat memaksimalkan dan melaksanakan faktor-faktor keberhasilannya secara efektif. Jika diringkas, faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan diplomasi ini apabila tujuan dari negara pengancam dianggap tidak jelas dan sah oleh masyarakat/ publik negara maupun di mata internasional; negara tidak konsisten akan perjanjian yang telah disampaikan sebelumnya; tidak kredibelnya ancaman yang diberikan; tenggat waktu yang diberikan tidak sesuai dan kredibel; dan yang terakhir kurangnya motivasi dari negara dalam memperjuangkan keinginannya.

Salah satu contoh diplomasi koersif yang gagal dijalankan oleh suatu negara adalah diplomasi antara Amerika Serikat dan Iran mengenai kesepakatan nuklir. Dalam kasus ini, AS tidak cukup matang dalam mempertimbangkan lima faktor penentu keberhasilan diplomasi koersif seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya sehingga strategi yang dijalankan kurang masih efektif untuk menekan dan merubah kebijakan Iran sesuai dengan yang AS inginkan. Faktor-faktor tersebut tidak dilakukan AS secara efektif. Pertama, sanksi yang diberikan AS kepada Iran dianggap absah dan tidak masuk akal. Kedua, permintaan yang dituntut AS cenderung tidak konsisten. Ketiga, ancaman yang ditujukan AS kepada Iran dianggap kurang kredibel karena tidak seimbang, tidak didukung pihak internasional, dan AS tampak tidak mengkhawatirkan eskalasi ancaman yang ia buat, serta reputasi AS dalam mengancam Iran tidak dianggap. Keempat, terletak pada masalah tenggat waktu yang diberikan. Karena tiga faktor sebelumnya tidak secara efektif dijalankan oleh pihak AS, membuat Iran tidak mewujudkannya sesuai dengan tenggat waktu yang diberikan AS. Faktor kelima atau yang terakhir mungkin dapat dikatakan sebagai satu-satunya faktor yang dijalankan AS secara efektif, yaitu menunjukkan motivasi yang besar dengan melakukan penekanan secara masif. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya berbagai kebijakan koersif AS kepada Iran. Namun sayangnya, faktor ini ternyata juga tidak berjalan secara efektif dan berujung pada jalan buntu karena Iran juga memiliki motivasi yang besar dalam memperjuangkan dan mempertahankan penolakannya terhadap segala tuntutan dan kebijakan koersif AS (Rahim, 2019). Dapat disimpulkan bahwa kegagalan diplomasi koersif ini akibat AS yang terlalu berfokus untuk melakukan maxium pressure (tekanan maksimal) kepada Iran dengan mengesampingkan faktor-faktor lain yang harusnya juga menjadi fokus negara AS agar diplomasi ini dapat berjalan secara efektif.

Diplomasi koersif merupakan jenis diplomasi yang memberikan ancaman kepada pihak lawan untuk menunda bahkan membatalkan aksinya. Diplomasi ini juga mengandung unsur paksaan agar negara lawan segera memenuhi tuntutan dan permintaan yang diajukan oleh negara pengancam. Jika tidak segera diwujudkan, negara pengancam akan terus meluncurkan ancaman yang dapat merugikan negara terancam. Namun, yang harus diingat adalah ancaman yang diberikan pada diplomasi ini harus kredibel dan cukup kuat untuk meyakinkan negara lawan dalam memenuhi tuntutan yang diberikan. Suatu negara dapat memaksa negara lain jika kondisi tersebut sudah mengancam konsekuensi politik dan kedaulatan negaranya. Ancaman tersebut pada umumnya seperti pengusiran dari organisasi internasional, sanksi ekonomi seperti embargo dan penundaan/ pembekuan kebijakan ekonomi, atau bahkan penggunaan kekuatan.

Sebagai penutup, menurut penulis diplomasi koersif dapat difungsikan sebagai alternatif dalam penyelesaian masalah antar negara apabila masalah tersebut sudah melewati diplomasi-diplomasi dan negosiasi lainnya yang bersifat tidak mengancam seperti ini. Diplomasi koersif ditakutkan malah menimbulkan masalah baru lainnya karena adanya unsur paksaan disini, kemudian dikhawatirkan dapat berimplikasi tinggi sehingga menyebabkan eskalasi (puncak konflik) yang cukup serius dan meluas. Pun jika pada akhirnya harus dilakukan diplomasi ini, diharapkan negara yang terlibat mampu mengiplementasikan faktor-faktor keberhasilan secara efektif, jangan hanya terpaku pada tujuan akhir sehingga hanya terfokus pada tekanan dan ancaman yang diberikan tanpa memperhatikan faktor lainnya.

Referensi

Alunaza, H. (2020, Desember 27). 3 Faktor Penentu Keberhasilan Diplomasi Koersif. Retrieved from blog.untan.ac.id: hardialunaza.blog.untan.ac.id

Crystal, S.-H. (2015). Coercive Diplomacy: A Theoretical and Practical. Glendon Journal of International Relations.

Febriandi. (2018). Kegagalan Diplomasi Koersif Arab Saudi terhadap Qatar. Indonesian Journal of International Relations, 5.

Rahim, M. H. (2019). Post-JCPOA: Diplomasi Koersif Amerika Serikat Vis-A-Vis Iran. Jurnal ICMES Vol. 3 No.1, 45.

Schettino, I. (2009, June 29). Is Coercive Diplomacy a Viable Means to Achieve Political Objectives? Retrieved from www.e-ir.info: www.e-ir.info

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun