Faktor Kegagalan Praktik Diplomasi Koersif
Berbicara tentang faktor kegagalan, pastinya merupakan kebalikan dari faktor keberhasilan. Kegagalan pada diplomasi koersif akan terjadi apabila negara pengancam tidak dapat memaksimalkan dan melaksanakan faktor-faktor keberhasilannya secara efektif. Jika diringkas, faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan diplomasi ini apabila tujuan dari negara pengancam dianggap tidak jelas dan sah oleh masyarakat/ publik negara maupun di mata internasional; negara tidak konsisten akan perjanjian yang telah disampaikan sebelumnya; tidak kredibelnya ancaman yang diberikan; tenggat waktu yang diberikan tidak sesuai dan kredibel; dan yang terakhir kurangnya motivasi dari negara dalam memperjuangkan keinginannya.
Salah satu contoh diplomasi koersif yang gagal dijalankan oleh suatu negara adalah diplomasi antara Amerika Serikat dan Iran mengenai kesepakatan nuklir. Dalam kasus ini, AS tidak cukup matang dalam mempertimbangkan lima faktor penentu keberhasilan diplomasi koersif seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya sehingga strategi yang dijalankan kurang masih efektif untuk menekan dan merubah kebijakan Iran sesuai dengan yang AS inginkan. Faktor-faktor tersebut tidak dilakukan AS secara efektif. Pertama, sanksi yang diberikan AS kepada Iran dianggap absah dan tidak masuk akal. Kedua, permintaan yang dituntut AS cenderung tidak konsisten. Ketiga, ancaman yang ditujukan AS kepada Iran dianggap kurang kredibel karena tidak seimbang, tidak didukung pihak internasional, dan AS tampak tidak mengkhawatirkan eskalasi ancaman yang ia buat, serta reputasi AS dalam mengancam Iran tidak dianggap. Keempat, terletak pada masalah tenggat waktu yang diberikan. Karena tiga faktor sebelumnya tidak secara efektif dijalankan oleh pihak AS, membuat Iran tidak mewujudkannya sesuai dengan tenggat waktu yang diberikan AS. Faktor kelima atau yang terakhir mungkin dapat dikatakan sebagai satu-satunya faktor yang dijalankan AS secara efektif, yaitu menunjukkan motivasi yang besar dengan melakukan penekanan secara masif. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya berbagai kebijakan koersif AS kepada Iran. Namun sayangnya, faktor ini ternyata juga tidak berjalan secara efektif dan berujung pada jalan buntu karena Iran juga memiliki motivasi yang besar dalam memperjuangkan dan mempertahankan penolakannya terhadap segala tuntutan dan kebijakan koersif AS (Rahim, 2019). Dapat disimpulkan bahwa kegagalan diplomasi koersif ini akibat AS yang terlalu berfokus untuk melakukan maxium pressure (tekanan maksimal) kepada Iran dengan mengesampingkan faktor-faktor lain yang harusnya juga menjadi fokus negara AS agar diplomasi ini dapat berjalan secara efektif.
Diplomasi koersif merupakan jenis diplomasi yang memberikan ancaman kepada pihak lawan untuk menunda bahkan membatalkan aksinya. Diplomasi ini juga mengandung unsur paksaan agar negara lawan segera memenuhi tuntutan dan permintaan yang diajukan oleh negara pengancam. Jika tidak segera diwujudkan, negara pengancam akan terus meluncurkan ancaman yang dapat merugikan negara terancam. Namun, yang harus diingat adalah ancaman yang diberikan pada diplomasi ini harus kredibel dan cukup kuat untuk meyakinkan negara lawan dalam memenuhi tuntutan yang diberikan. Suatu negara dapat memaksa negara lain jika kondisi tersebut sudah mengancam konsekuensi politik dan kedaulatan negaranya. Ancaman tersebut pada umumnya seperti pengusiran dari organisasi internasional, sanksi ekonomi seperti embargo dan penundaan/ pembekuan kebijakan ekonomi, atau bahkan penggunaan kekuatan.
Sebagai penutup, menurut penulis diplomasi koersif dapat difungsikan sebagai alternatif dalam penyelesaian masalah antar negara apabila masalah tersebut sudah melewati diplomasi-diplomasi dan negosiasi lainnya yang bersifat tidak mengancam seperti ini. Diplomasi koersif ditakutkan malah menimbulkan masalah baru lainnya karena adanya unsur paksaan disini, kemudian dikhawatirkan dapat berimplikasi tinggi sehingga menyebabkan eskalasi (puncak konflik) yang cukup serius dan meluas. Pun jika pada akhirnya harus dilakukan diplomasi ini, diharapkan negara yang terlibat mampu mengiplementasikan faktor-faktor keberhasilan secara efektif, jangan hanya terpaku pada tujuan akhir sehingga hanya terfokus pada tekanan dan ancaman yang diberikan tanpa memperhatikan faktor lainnya.
Referensi
Alunaza, H. (2020, Desember 27). 3 Faktor Penentu Keberhasilan Diplomasi Koersif. Retrieved from blog.untan.ac.id: hardialunaza.blog.untan.ac.id
Crystal, S.-H. (2015). Coercive Diplomacy: A Theoretical and Practical. Glendon Journal of International Relations.
Febriandi. (2018). Kegagalan Diplomasi Koersif Arab Saudi terhadap Qatar. Indonesian Journal of International Relations, 5.
Rahim, M. H. (2019). Post-JCPOA: Diplomasi Koersif Amerika Serikat Vis-A-Vis Iran. Jurnal ICMES Vol. 3 No.1, 45.
Schettino, I. (2009, June 29). Is Coercive Diplomacy a Viable Means to Achieve Political Objectives? Retrieved from www.e-ir.info: www.e-ir.info
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H