Mohon tunggu...
Atikah Azzahro Kumaily
Atikah Azzahro Kumaily Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Airlangga

Beautiful Feeling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Keragaman Budaya Dalam Buku Masyarakat Adat, Kearifan Ekologis dan Pendidikan

19 Desember 2020   13:20 Diperbarui: 21 Desember 2020   12:09 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditulis oleh Dr. Sarkawi B. Husain, Adi Septijowati dan Lina Puryanti. Buku ini memaparkan mengenai kehidupan masyarakat di Sulawesi Selatan khususnya daerah Tanah Towa, Kajang. Masyarakat daerah tersebut hingga saat ini masih menjalankan adat serta tradisi dari leluhur mereka. Buku tersebut dibedah dalam launching dan bedah buku pada webinar yang diselenggarakan oleh prodi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga.

Webinar ini dilaksanakan pada hari Selasa 10 November 2020 via zoom. Bersamaan dengan launching buku lainnya yang ditulis oleh beberapa dosen Fakultas Ilmu Budaya seperti Banjir di Kota Surabaya: Paruh Kedua Abad ke-20 yang ditulis oleh Dr. Sarkawi B. Husain; Buku Antara Harapan dan Kenyataan: Kematian Ibu dan Anak di Karesidenan Kedu 1830-1870 yang ditulis oleh Moordiati; Serta buku Dari Privat ke Publik: Kehidupan Seksual di Jawa Awal Abad ke-20 yang ditulis oleh Gayung Kasuma.

Dalam buku Masyarakat Adat, Kearifan Ekologis dan Pendidikan, masyarakat adat Tanah Towa memiliki suatu peraturan yang mengikat masyarakat pada aktivitas mereka seperti perkawinan, pertanian, kematian, cara berpakaian dan sebagainya. Letak geografis di kawasan adat Tanah Towa dibatasi oleh empat sungai yaitu sungai Turi di utara, Sungai Leba di bagian timur, Sungai Sangkala di bagian Selatan dan Sungai Doro di bagian Barat. Kawasan adat tersebut biasa disebut Ilalang Embaya atau dalam Bahasa Indonesia disebut pagan sedangkan kawasan luarnya disebut sebagai Ipantaran Embaya atau luar pagan.

Penulis memaparkan bahwa di wilayah 'Kajang dalam' dan 'Kajang luar' memiliki batasan wilayah serta batasan identitas pada masing-masing wilayah baik komunitas dalam dan luar. Salah satu perbedaan identitas itu yang ada tercermin pada dalam ungkapan yang menyebutkan bahwa wilayah orang dalam sebagai tempat orang-orang yang bersahaja. Dan impantaran embayan diluar masyarakat adat yang memiliki arti sebagai tempat orang-orang yang memiliki kuasa. Masyarakat yang tinggal di wilayah Kajang dalam masih berpegang teguh pada adat, mereka memiliki prinsip hidup yaitu Kamase-masea. Mereka menolak segala sesuatu yang berbau luar seperti teknologi. Prinsip ini juga terlihat pada rumah-rumah mereka yang terbuat dari kayu maupun bambu ataupun kombinasi keduanya. Masih sangat sederhana jika dibandingkan dengan rumah modern yang dibangun menggunakan batu maupun beton. Ammatoa atau pemimpin adat tertinggi mereka juga masih mempertahankan ciri khas rumah mereka, sehingga hampir tak terlihat perbedaan antara masyarakat biasa dengan pemimpin mereka. Agar tatanan kehidupan masyarakat selalu dalam ikatan tradisi dan adat, terdapat 26 perangkat yang masing-masing memiliki tugas dan kewajiban. Dalam struktur ini Ammatoa menjadi acuan dalam nilai kehidupan serta pimpinan tertinggi mereka. Adapula perangkat lain yang disebut Adalimaya yang dibantu dengan Karaeng Kalua.

Pemukiman rumah masyarakat meliputi pola perkampungan. Ada tanah kausaya atau luar tanah adat dan kamase masea yang merupakan tanah adat. Daerah kausaya menggunakan pola perkampungan yang panjang dan berderet di sebelah jalan. Rumah yang dibangun menunjukkan lapisan sosial seperti halnya pada masyarakat Bugis Makassar pada umumnya. Pola ini terbentuk pada tahun 1961 sebagai akibat dari gangguan keamanan dari DI TII.

Berbeda dengan pola perkampungan di daerah luar adat yang rumahnya saling berhadapan yang dipisah oleh jalan, maka pola masyarakat kamase masea adalah berkelompok. Yang menghadap ke barat yang merupakan tanah klaster. Hal ini berorientasi pada kepercayaan mereka yang disebut dengan 'patuntung'. Dalam satu kelompok klaster biasanya hanya terdiri 4-5 rumah saja. Sementara jarak rumah satu dengan yang lainnya cukup jauh biasanya dipisahkan oleh kebun-kebun (kelapa, jagung, maupun tanaman lainnya). Bentuk rumah di kawasan ini memiliki bentuk yang sama. tak hanya rakyat tapi Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi yang memiliki bentuk rumah yang sama dengan masyarakat biasa. Bentuk yang sama ini mengindikasikan sebagai sikap egaliter dan stratifikasi sosial diantara mereka tidak terlihat begitu jelas.

Dalam buku ini penulis juga mengungkapkan bahwa masyarakat Tanah Towa taat dan patuh pada pasang sebagai pedoman yang mereka warisi dari leluhur yang sangat mereka junjung tinggi. Seluruh perilaku masyarakat di dasarkan pada pasang. Pasang memiliki arti pesan lisan yang wajib dituruti, dipatuhi, dilaksanakan dan akan muncul akibat jika tidak dilaksanakan.  Pasang mengandung pesan, amanat, petuah, nasehat dan peringatan. Pasang tidak hanya berisi sesuatu yang baik jika dilaksanakan, tapi juga berisi hal buruk yang harus dijauhi atau yang tidak boleh dilakukan. Pasang juga mengatur bagaimana masyarakat berhubungan dengan sang pencipta namun juga bagaimana berhubungan dengan alam (hutan). Dalam pasang diatur cara mengelola hutan mereka. Pasang memiliki 120 pasal, dan hampir semua berhubungan dengan masalah pengelolaan lingkungan khususnya kelestarian hutan adat. Dari 120 pasal, 83 berisi aturan umum, 18 pasal berisi pantun dan seni 19 pasal berisi sistem pengelolaan lingkungan.

Hutan keramat atau gorong karamah dijaga oleh sulapa tanah agar kelestarian hutan tetap terjaga. Selain itu Ammatoa memiliki tugas khusus dengan 5 orang atau taulemaya yang ditunjuk berdasarkan daerah masing-masing penjaga. Masyarakat hidup secara dinamis, ada kala nya masyarakat tidak menaati peraturan yang sudah ditetapkan lewat pasang. Pemangku adat sadar betul mengenai hal ini, oleh karena itu ada sejumlah sanksi jika ada yang terbukti melanggar. Sanksi tersebut memiliki digolongkan menjadi 3 bentuk sanksi yakni ringan, sedang dan berat. Pelanggaran berat akan diberi sanksi hukum cambuk yang setara dengan denda Rp. 1.200.000 ditambah dengan kain kafan bagi yang beragama islam sebanyak 24 siku atau 12 meter. Bagi pelanggaran sedang adalah tengah cambuk atau setara dengan denda sejumlah Rp. 800.000. Dan pelanggaran ringan yaitu ujung cambuk yang setara dengan denda Rp. 400.000.

Penulis juga memaparkan mengenai besar kecilnya hukuman ditentukan melalui sebuah pengadilan adat yang dihadiri oleh tersangka dan seluruh masyarakat adat untuk menyaksikan. Jika seorang telah melakukan pelanggaran, maka sidang akan melakukan 2 hal, yaitu pertama pembakaran linggis dan tersangka disuruh memegang linggis yang membara. Jika tersangka ini bersalah maka tangannya akan terbakar atau melepuh. Jika tak bersalah maka tangannya akan terasa dingin. Yang Kedua adalah membakar kemenyan, dimana asap kemenyan akan mencari kesalahan, sehingga jika bersalah tersangka akan mengalami kerusakan pada kulitnya, sakit kronis hingga meninggal.  

Buku ini sangat menarik untuk dibaca, sebab banyak sekali adat istiadat di Indonesia yang perlu untuk dilestarikan dan dikenalkan kepada khalayak luas. Tak hanya itu, penulis juga memaparkan bahwa peraturan yang terdapat pada masyarakat adat tak hanya semata-mata untuk menghargai leluhur dan selalu bersikap sopan. Melainkan juga untuk menjaga lingkungan agar dapat dimanfaatkan serta dinikmati oleh generasi selanjutnya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun