Mohon tunggu...
Atika Aprianti
Atika Aprianti Mohon Tunggu... Bankir - APRIANTI

atika adalah salah satu mahasiswa jurusan PGMI di UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mari Kita Bicara Tentang Kita Berdua (Ade Hilda Agustina 17410191)

8 Desember 2019   09:55 Diperbarui: 8 Desember 2019   10:11 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Belakangan ini telinga kita sudah tidak asing lagi dengan Berita dan fenomena tentang "pernikahan muda" atau yang sering kita sebut dengan pernikahan dini .  pernikahan dini merupakan sebuah pernikahan yang dilakukan oleh anak dibawah umur.

Menurut Undang-undang pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang menikah dibawah umur 19 tahun (Definisi menurut para ahli, 2010). 

Di Negara kita sendiri pernikahan dini mash sering terjadi  dan bahkan terjadi Peningkatan jumlah pernikahan dini semakin hari semakin bertambah, hal tersebut dapat dilihat dari data yang dipaparkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu berawal dari presentase 14,18% di tahun sebelumnya menjadi 15, 66% tepat pada tahun 2018 kemarin. Melihat dari fenomena tersebut, dapat menggambarkan bahwa masyarakat semakin menurun dalam indeks pembangunan manusianya .

Dalam presentase di atas, terdapat tiga provinsi yang tertinggi tingkat pernikahan anak di usia dininya yaitu pertama di Kalimantan Selatan sejumlah 22,77%, Jawa Barat sejumlah 20,93%, dan Jawa Timur sejumlah 20,73%. Dalam fenomena ini, perningkatan yang begitu pesat terdapat pada daerah Jawa Barat dengan presentase awal 17,18 %. Hal ini jauh lebih tinggi dari pada dua daerah yang menjadi tempat tertinggi pernikahan dini dengan presentase Jawa Timur sejumlah 18,44% dan Kalimantan Selatan sejumlah 21,53% (news, 2019).

Ada banyak sebab kenapa setiap orang memutuskan untuk menikah dini ,entah karena dijodohkan, keinginan sendiri karena merasa sudah pantas untuk menikah , atau faktor lingkungan seperti sudah menjadi kebiasaan jika anak dinikahkan sejak dini, dan beranggapan jika anaknya tidak segera dinikahkan akan dicap sebagai perawan tua oleh sekitar lingkungannya.

Hal-hal tersebut bisa saja menjadi sebuah penguatan dalam melakukan pernikahan dini.

Apakah ada yang salah ketika seseorang memutuskan untuk menikah muda  ? ,ataukah apakah memang benar dampak menikah muda itu berdampak besar untuk hidup?, mungkin pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang sering timbul dalam benak seseorang entah bagi mereka yang sudah memutuskan untuk menikah atau bahkan bagi mereka yang ingin merasakan menikah muda dan tentu yang lainnya.

Menikah muda bukan menjadi sesuatu kesalahan, karena setiap orang hidup dengan pilihannya ,namun ada beberapa dampak yang bisa diperhatikan sebelum memutuskan untuk menikah muda , dampak tersebut yaitu :

a. Dampak positif

- Agar terhindar dari pergaulan bebas dan tidak melakukan perzinahan dan hal-hal yang tidak diinginkan

- Belajar bertanggung jawab terhadap keluarga , jika sudah memutuskan untuk menikah muda, berarti sudah siap untuk memikul tanggung jawab terhadap pasangannya.

b. Dampak negative

-  Dampak psikologis , orang yang menikah muda biasannya rentan terhadap sebuah penyesalan karena telah memutuskan untuk menikah muda, merasa stress dan tertekan sehingga memicu hubungan tidak harmonis dalam rumah tangga karena ketidakmengertianya dalam memutuskan hidup

- Dampak biologis, orang yang menikah muda biasannya rentan terhadap kesehatan karena ketidaksiapan fisiknya dalam perubahan yang terjadi secara mendadak dalam dirinya.

- Dampak sosiologis, dalam hal ini dapat mengurangi tingkat harmonis dalam keluarga karena tingkat emosi yang dimiliki belum stabil sehingga kurangnya kontrol diri yang dimiliki (akhirudin, 2016 ).

Selain itu dalam pandangan agama Apabila mengacu kepada kelima maqashid syariah yang pokok, yaitu perlindungan terhadap agama (hifdz al-din), perlindungan terhadap nyawa (hifdz al-nas), perlindungan terhadap akal (hifdz al-aql), perlindungan terhadap keturunan atau perlindungan terhadap kemaluan (hifdz al-nasl atau hifdz al-farj), dan perlindungan terhadap harta (hifdz al-mal).

Maka pernikahan anak di usia dini merupakan bentuk dari pada tidak menjaganya Hifdz al-Aql dan Hifdz Nasl. Oleh karena menikah dini merupakan pemaksaan atas diri, baik pemaksaan dari segi fisik maupun psikis.

Adapun penyebab dari pada pernikahan ini karena pemahaman yang dibangun oleh masyarakat adalah bahwa pengentasan perzinahan dapat dilakukan dengan menikah. Padahal terdapat dampak dampak yang lain, sebagaimana pemaparan oleh subyek yang melakukan pernikahan dini di atas.

Sehingga hal ini sesuai dengan teori kekuasaan dan diskursus dalam perubahan sosial yang disampaikan oleh Foucault tentang diskursus (discourse), kekuasaan (power), dan pengetahuan (knowledge), terutama perihal bagaimana diskursus dan pengetahuan dapat menjadi alat untuk berkuasa. 

Menurut Foucault, pengetahuan dan kekuasaan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan keduanya adalah satu kesatuan. Melalui proses pendisiplinan dan normalisasi, kemudian proses penggunaan pengetahuan. Kekuasaan telah diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kekuasaan, seksualitas, dan sebagainya.

Dengan demikian bentuk perjuangan tidak hanya melawan dominasi dan eksploitasi (ekonomi) saja, namun juga melawan subjek atau bentuk penyerahan diri sebagai individu, seperti dokter dengan pasiennya (bisri, 1977).

Bahwa pendidikan yang merupakan bentuk kristalisasi dari pemahaman berkorelasi dengan kekuasaan dapat di lihat dari pemaparan di atas.

Dengan dampak-dampak yang dipaparkan di atas berkonotasi negatif lebih besar dari pada penanggulangan perzinaan saja. Hal tersebut dapat kita lihat dengan kaedah hukum fikih ini, kaedah yang menjelaskan bahwa "menolak kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan"

Dari kaedah fikih di atas dapat diketahui bahwa kerusakan-kerusakan itu lebih dahulu dikedepankan oleh karena benar-benar darurot, yaitu keadaan sesorang yang apabila tidak segera mendapat pertolongan maka diperkirakan ia bisa mati atau hampir mati. Sehingga pernikahan dini bukanlah satu satunya jalan dari pada orang untuk tidak melakukan perzinahan. Apalagi dampak yang disebabkan begitu besar bagi anak tersebut.

Oleh karena hal-hal di atas, maka pernikahan merupakan suatu hal yang perlu diperhitungkan. Apalagi ketika ingin menikah pada usia usia yang masih dikatakan dini.

Dampak pernikahan muda tentu saja sudah dirasakan ketika pernikan itu sudah terjadi, hal ini berdasarkan wawancara kecil yang pernah dilakukan kepada salah satu pasangan muda (istri) di sebuah desa di jawa barat mengenai apa yang ia rasakan setelah menikah. "saya merasa menyesal tidak bisa melanjutkan pendidikan, emosi terus tiap hari karena saya tidak bisa keluar dari kehidupan ini, merasa stress, dan berbagai permasalahan lainnya."

Dampak tersebut ia rasakan di kesehariannya setelah menikah, berbagai perubahan yang terjadi di dalam dirinya membuat dia harus menyesuaikan diri dengan keadaan dirinya yang masih remaja. 

 Dampak dari menikah muda yang dirasakan tersbeut sangat berdampak pada kesehatan mental. Karena mental dikatakan sehat menurut Maslow dan Mittleman (1963)  dalam latipun 2019 jika memenuhi prinsip-prinsip kesehatan mental "manisfectations of psychology health" (latipun, kesehatan mental, 2019).

Sedangkan ada beberapa dampak yang dirasakan dalam menikah muda yang tidak memenuhi kriteria dalam pemenuhan prinsip kesehatan mental seperti tidak adannya rasa aman yang didapatkan ketika bersama suaminnya yang disebabkan oleh rasa penyesalan yang selalu hadir  sehingga di dalam dirinya menolak untuk menerima secara utuh bahwa dirinya sudah menikah dan sudah memiliki tanggung jawab terhadap suami.

 Selain itu belum bisa mengontrol emosi karena faktor umur yang masih sangat muda sehingga subyek tidak bisa mengendalikan apa yang ia rasakan dan berdampak pada perilaku yang tunjukan kepada suaminnya dan orang disekitarnya.

 Hal tersebut sangat mempengaruhi dalam pembentukan diri Menurut Rogers dalam latipun (2017) , bahwa perilaku manusia pada dasarnya sesuai dengan persepsi individu mengenai lingkungannya (medan fenomenal) saat menikah muda orang merasakan stress sebagai sebuah persepsi yang ia bangun ketika berada di lingkungan keluargannya selain itu jika rasa penyesalan tersebut terus menerus hadir maka akan membentuk struktur self  melalui proses asimilasi berdasar pengalaman langsung  yang dirasakan yang tidak baik untuk hidupnya (latipun, 2017).

Selain itu ketidakstabilan emosi yang dirasakan karena merasa belum dewasa juga ikut menjadi sesuatu hal yang sangat menganggu di setiap harinnya. Bagaimana tidak? Tentu sangat menggangu sekali saat merasakan tiba tiba merasa kesal dan marah tapi tidak tau kenapa, sehingga yang menjadi sasaran tentu ke orang terdekat dan akan menjadi masalah baru jika emosi tersebut tidak tertangani dengan baik.

Emosi memang masih labil namun dapat mulai dikendalikan jika timbul kemauan dalam diri untuk menyelesaikannya. Nah bukan berarti memendam emosi karena itu juga tidak baik bisa saja kita untuk mengalirkan atau menyalurkan emosi agar emosi tersebut tidak meledak pada waktu yang salah karena terlalu lama memendamnya.

Dalam beberapa hal yang diraskana kita dapat mencoba untuk mencari ssebuah stimulus dengan memberikan sebuah jalan agar kita memahami secara utuh mengenai diri kita  sendiri terutama perilakunnya. Selain itu kita bisa memebrikan sebuah penghargaan  terhadap diri kita sendiri saat berhasul seperti jalan-jalan , menonton Film dan sebagainya jika

 Ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar   dapat belajar untuk mengendalikan emosi, penyesalan  sehingga stressor yang ada disekitarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap diri sendiri. Dalam pemberian Punishment subyek harus bisa menerima konsekuensi dari perilaku yang sudah ia lakukan.

Semua bentuk Punishment dan Reward bisa diarahkan kepada diri sendiri  untuk melakukannya dan berkomitmen terhadap dirinya sendiri. Selain itu, juga memerlukan Reincforcment atau penguatan dari orang-orang  terutama suaminnya  agar kita  bisa mulai memperbaiki dirinya untuk kehidupan yang lebih baik lagi.

 

Daftar Pustaka:

akhirudin. (2016 ). Dampak pernikahan usia muda . mahkamah vol 1, 216.

bisri, m. a. (1977). terjemah al faraidhul bahiiyah risalah qowa-id fiqh. Rembang: menara kudus.

Definisi menurut para ahli. (2010, maret 15). Retrieved from definisimenurutparaahli.com: www.definsiimenurutparaahli.com 

latipun. (2017). psikologi konseling. malang : UMM press.

latipun. (2019). kesehatan mental. malang: UMM Press.

news, s. (2019). angka pernikahan dini dan jumalhnya meningkat. jakarta: sindo news.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun