Covid-19 sebagai sebuah wabah menular masih hidup di tengah-tengah kita hingga saat ini. Keberadaan Covid-19 mengguncang stabilitas seluruh dunia, tidak terkecuali tanah air kita. Banyaknya jumlah kematian dan kasus positif Covid-19 membuat fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) terus bekerja tanpa henti. Hal ini berpotensi timbulnya sengketa kesehatan di kemudian hari. Untuk mengatasi hal tersebut, fasyankes sebaiknya memiliki manajemen konflik yang baik.
Komunikasi interpersonal dalam pelayanan kesehatan menjadi salah satu pengetahuan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap sumber daya kesehatan yang ada di Rumah Sakit, Puskesmas maupun penyelenggara pelayanan kesehatan lainnya. Hubungan interpersonal merupakan kemampuan untuk bisa menjaga hubungan secara langsung dengan pasien maupun keluarga pasien dalam proses pelayanan kesehatan.
Pada umumnya, sengketa kesehatan berawal dari ketidakpuasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan atau melaksanakan tindakan medik karena adanya harapan pasien untuk proses pelayanan kesehatan yang tidak terwujud.
Dalam sengketa kesehatan ini terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya sengketa, diantaranya adalah pertama, adanya perbedaan cara pandang terkait risiko medis.
Kedua, adanya perselisihan layanan kebutuhan medis pasien saat sebelum atau saat proses tindakan medis dilakukan atau saat pasien telah mendapat layanan tindakan medis (faktor pasien tidak puas).
Ketiga, kurangnya pengetahuan, kecakapan, keterampilan ilmu praktik kedokteran dan kondisi internal tenaga kesehatan (dokter/dokter gigi/perawat/bidan) mengingat kasus-kasus malpraktik medis semakin variatif perkembangannya dan sangat membebani beban kerja tenaga kesehatan.
Keempat, tidak memperhatikan standar pelayanan kesehatan, SOP atau Standar Profesi dalam hubungan pasien-dokter dan Rumah Sakit terkait pelayanan kesehatan atau pelayanan tindakan medis dokter kepada pasiennya.
Kelima, manajemen atau tata kelola klinis dokter/dokter gigi dan sarana pelayanan kesehatan (Rumah Sakit) tidak supporting terhadap penanganan kasus-kasus kesehatan yang ada.
Oleh karena itu, pengetahuan yang dimiliki oleh sumber daya kesehatan yang ada di Rumah Sakit, Puskesmas maupun penyelenggara pelayanan kesehatan lainnya mengenai prinsip-prinsip komunikasi interpersonal, teori presentasi diri dan pengelolaan diri dalam pelayanan kesehatan, serta teknik komunikasi verbal dan non-verbal penting untuk menunjang terlaksananya manajemen konflik yang baik.
Terlebih lagi, dalam proses pelayanan kesehatan seringkali ditemui kondisi-kondisi darurat, yang menyebabkan baik itu kondisi pasien maupun keluarganya tidak dalam keadaan kondisi stabil untuk berhubungan dengan pihak lainnya, khususnya rumah sakit dan sumber daya kesehatan yang ada didalamnya sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keselamatan pasien.
Penyelesaian sengketa yang dianggap ideal bagi para pihak adalah penyelesaian yang melibatkan para pihak secara langsung sehingga memungkinkan dialog terbuka, dengan demikian keputusan bersama kemungkinan besar dapat tercapai. Menempuh jalan non-litigasi dinilai menjadi sarana penyelesaian konflik yang aman untuk semua pihak terutama sengketa kesehatan, diantaranya melalui mediasi, konsiliasi, negosiasi dan arbitrase.
Mempertemukan pihak yang berkonflik dalam pertemuan tertutup akan memberikan rasa nyaman untuk dapat mengutarakan pendapat masing-masing pihak. Dimulai dari skala pertemuan negosiasi para pihak akan memudahkan untuk mencapai kesepakatan.
Pengetahuan dan keterampilan dalam komunikasi interpersonal dapat menjadi langkah preventif dalam terjadinya konflik kesehatan, maupun langkah rehabilitatif dalam penyelesaian konflik kesehatan.
Menganalisa konflik di bidang kesehatan memiliki kekhususan tersendiri mengingat adanya kompleksitas dalam pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien di Rumah Sakit, Puskesmas, maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Banyaknya pihak yang terlibat serta faktor yang mendukung terjadinya konflik menjadikan kemampuan menganalisa konflik, baik secara teoritis maupun praktik harus dimiliki oleh sumber daya kesehatan.
Dalam rangka memudahkan Rumah Sakit, Puskesmas, dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dalam menganalisa konflik, diperlukan adanya sebuah borang analisa konflik. Borang tersebut disusun berdasarkan indikator dalam menganalisa konflik yang dapat menjadi bahan acuan terhadap Tindakan selanjutnya dalam penyelesaian konflik, seperti negosiasi, mediasi, bahkan sampai dengan proses litigasi.
Borang Analisa konflik yang dihasilkan setidaknya berisi (1) Para Pihak beserta posisinya, (2) Kepentingan para pihak, (3) Hubungan yang timbul, dan (4) Data pendukung.
Luaran borang tersebut dapat menjadi landasan dalam proses manajemen konflik yang terjadi bagi pihak manajemen Rumah Sakit, Puskesmas, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya.
Langkah selanjutnya, sekaligus action solution dalam penyelesaian sengketa kesehatan adalah proses negosiasi dengan pasien dan/atau keluarganya. Negosiasi merupakan solusi yang paling sering diterapkan oleh negosiator dari fasilitas pelayanan kesehatan dalam penyelesaian sengketa kesehatan.
Proses negosiasi harus dilaksanakan melalui tahapan-tahapan yang terstruktur dengan mengimplementasikan komunikasi interpersonal yang baik serta analisa konflik yang menyeluruh dan tepat untuk bisa mewujudkan kesepakatan bagi kedua belah pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H