Mohon tunggu...
Atika Maulidayanti
Atika Maulidayanti Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Saya seorang pegawai di salah satu anak perusahaan swasta di jakarta

Hobi baru saya menulis, dan membaca, serta menonton film. Ternyata menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Sedikit Cerita tentang "Si Cuci Darah (Hemodialisa) "

16 Mei 2023   23:27 Diperbarui: 16 Mei 2023   23:32 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak terpikirkan bahwa cuci darah merupakan sesuatu yang menakutkan sebelum keluarga terdekat yang tersayang kita mengalami nya. 

Pada tindakan pertama sampai ketiga tergolong lancar, namun tindakan ke-4 setelah dianjurkan  untuk tindakan penggantian selang, yang dikarenakan selang yang dipakai agak tersendat, terjadi sedikit permasalahan. Dimana terjadi "rembes" disekitar akses selang hemodialisa. Sudah ke beberapa rumah sakit sekitar rumah tidak dapat menanganinya. Dan besok menunggu tindakan di rumah sakit awal penggantian selang. Pasti rasa tidak karuan bekecambuk dalam pikiran kita, jika kita mengalami hal tersebut di atas. 

Perlu kita ketahui penyakit gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, kejadian dan prevalensi gagal ginjal meningkat 50% di tahun 2014. Data menunjukkan bahwa setiap tahun 200.000o rang Amerika menjalani hemodialisis karena gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam satu juta orang Amerika adalah pasien dialisis (Nastiti, 2015).

Di Indonesia, hasil Riskesdas 2018, prevalensi penyakit ginjal kronis sebanyak 3,8% dengan prevalensi terendah sebesar 1,8% dan tertinggi 6,4%, sedangkan hasil
Riskesdas 2013, sebesar 0,2% dengan prevalensi terendah sebesar 1% dan
tertinggi 4% (Kemenkes RI, 2018). Hasil dari Riskesdas tahun 2013 juga
membuktikan bahwa jumlah meningkat sesuai dengan bertambahnya umur.
Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi daripada perempuan (0,2%), dan
jumlah lebih tinggi di masyarakat pedesaan (0,3%), non-sekolah (0,4%),
wiraswasta, petani / nelayan / pekerja (0,3%). Indeks kepemilikan menengah
terendah serta terendah adalah 0,3%. Sedangkan provinsi dengan angka kejadian tertinggi adalah Sulawesi Tengah (Sulteng) sebesar 0,5%, disusul Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Utara sebesar 0,4% (Kemenkes RI, 2017). Jadi dapat disimpulkan bahwa prevalensi gagal ginjal kronis pada tahun 2013 sampai 2018 mengalami kenaikan yaitu dari 0,2% menjadi 3,8%.

Meningkatkan taraf hidup penderita gagal ginjal Kronik adalah dengan melakukan penatalaksanaan dengan baik. Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu: tindakan konservatif dan dialisis atau transplantasi ginjal (Suharyanto, 2009):

1. Tindakan konservatif
Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif
(Suharyanto, 2006). Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan.


a. Pembatasan protein
Pembatasan asupan protein telah terbukti
memperlambat terjadinya gagal ginjal. Pasien mendapatkan terapi dialisis teratur, jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan 60-80 gr/hari (Smeltzer & Bare, 2002).


b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia (Black & Hawks, 2005).


c. Diet rendah natrium
Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na). Asupan natrium yang terlalu banyak dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif (Lewis et al.,2007).


1) Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Intake cairan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi
berlebihan dan edema. Asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal (Hudak & Gallo, 1996).


2) Pencegahan dan pengobatan komplikasi misalnya hipertensi, hiperkalemia, anemia, asidosis, diet
rendah fosfat, pengobatan hiperuresemia. 

a) Hipertensi
Manajemen hipertensi pada pasien PGK menurut Suharyanto (2006) dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan, dapat juga diberikan obat antihipertensi seperti metildopa (aldomet), propranolol, klonidin (catapres). Apabila penderita sedang menjalani terapi hemodialisa, pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi.


b) Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena bila K+ serum mencapai sekitar 7 mEq/L dapat mengakibatkan aritmia dan juga
henti jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena, yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian Kalsium Glukonat 10% (Sudoyo, 2006).


c) Anemia
Anemia pada PGK diakibatkan penurunan sekresieritropoeitin oleh ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoeitin, yaitu rekombinan eritropoeitin (r-EPO) selain dengan
pemberian vitamin dan asam folat, besi dan tranfusi darah (Sudoyo, 2009).


d) Asidosis
Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3, plasma turun di bawah angka 15 mEq/I.Bila asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian Na HCO3 (Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, maka harus dimonitor dengan seksama (Sudoyo, 2006).

e) Diet rendah fosfat
Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di dalam usus. Gel yangdapat mengikat fosfat harus dimakan bersama dengan makanan (Sudoyo, 2006).

Selain penatalaksanaan yang baik penderita gagal ginjal kronik pun membutuhkan dukungan emosional dari keluarga terdekatnya.  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Khasanah ,Lutfi Wahyuni, Chaterina Janes Pratiwi tahun 2021, dalam penelitian yang berjudul "Hubungan Dukungan Emosional dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RSUD Kota Madiun". Dihasilkan bahwa dari hasil analisa data spearmen rho menunjukkan
H0 ditolak dan H1 diterima yang artinya Ada Hubungan Dukungan Emosional Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Ruang Hemodialisa RSUD Kota Madiun yang ditunjukkan dari nilai value (0,000) artinya lebih kecil dari nilai (0, 05), dengan demikian dapat disimpulkan secara statistik dengan derajat kepercayaan 96%, diyakini ada hubungan dukungan emosional dengan kualitas hidup. Dengan tingkat keeratan hubungan kuat yang ditunjukan oleh nilai correlation coeficient sebesar 0, 639. Arah hubungan antara variable adalah korelasi positif artinya semakin baik dukungan emosional maka semakin tinggi kualitas hidup pada pasien gagal ginjal kronik.

Jadi, mari kita dukung keluarga kita, jika mereka ada yang sedang menderita gagal ginjal kronik dengan terapi Hemodialisa (Cuci darah). Agar mereka lebih semangat dalam menjalani hidupnya. 

Sumber:

Muttaqin, A. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Nastiti, F. (2015). Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Gizi Terhadap Asupan Kalium pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa Rawat Jalan di RSUD Sukoharjo. (Internet). Available from: >

Suharyanto, T (2009). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Trans Info Media.

Lewis. (2007). Medical Surgical Nursing, Assesment and Management of Clinical Problem. Seventh Edition. Volume 2. St. Louis. Missouri. Mosby.Elsevier INC

Smeltzer, S. C & Bare, B. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &Suddarth, edisi 8. Jakarta: EGC

Black & Hawks. (2005). Medical Surgical Nursing Clinical Management for Positive Outcomes (Ed.7). St. Louis: Missouri Elsevier Saunder.

Hudak, C.M & Gallo, B.M. (1996). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik edisi 6. Jakarta: EGC.

Sudoyo. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta Pusat: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

Uswatun Khasanah ,Lutfi Wahyuni, Chaterina Janes Pratiwi (2021). Hubungan Dukungan Emosional dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RSUD Kota Madiun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun