Tidak terpikirkan bahwa cuci darah merupakan sesuatu yang menakutkan sebelum keluarga terdekat yang tersayang kita mengalami nya.Â
Pada tindakan pertama sampai ketiga tergolong lancar, namun tindakan ke-4 setelah dianjurkan  untuk tindakan penggantian selang, yang dikarenakan selang yang dipakai agak tersendat, terjadi sedikit permasalahan. Dimana terjadi "rembes" disekitar akses selang hemodialisa. Sudah ke beberapa rumah sakit sekitar rumah tidak dapat menanganinya. Dan besok menunggu tindakan di rumah sakit awal penggantian selang. Pasti rasa tidak karuan bekecambuk dalam pikiran kita, jika kita mengalami hal tersebut di atas.Â
Perlu kita ketahui penyakit gagal ginjal kronik merupakan kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin, 2011).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, kejadian dan prevalensi gagal ginjal meningkat 50% di tahun 2014. Data menunjukkan bahwa setiap tahun 200.000o rang Amerika menjalani hemodialisis karena gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam satu juta orang Amerika adalah pasien dialisis (Nastiti, 2015).
Di Indonesia, hasil Riskesdas 2018, prevalensi penyakit ginjal kronis sebanyak 3,8% dengan prevalensi terendah sebesar 1,8% dan tertinggi 6,4%, sedangkan hasil
Riskesdas 2013, sebesar 0,2% dengan prevalensi terendah sebesar 1% dan
tertinggi 4% (Kemenkes RI, 2018). Hasil dari Riskesdas tahun 2013 juga
membuktikan bahwa jumlah meningkat sesuai dengan bertambahnya umur.
Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi daripada perempuan (0,2%), dan
jumlah lebih tinggi di masyarakat pedesaan (0,3%), non-sekolah (0,4%),
wiraswasta, petani / nelayan / pekerja (0,3%). Indeks kepemilikan menengah
terendah serta terendah adalah 0,3%. Sedangkan provinsi dengan angka kejadian tertinggi adalah Sulawesi Tengah (Sulteng) sebesar 0,5%, disusul Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Utara sebesar 0,4% (Kemenkes RI, 2017). Jadi dapat disimpulkan bahwa prevalensi gagal ginjal kronis pada tahun 2013 sampai 2018 mengalami kenaikan yaitu dari 0,2% menjadi 3,8%.
Meningkatkan taraf hidup penderita gagal ginjal Kronik adalah dengan melakukan penatalaksanaan dengan baik. Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu: tindakan konservatif dan dialisis atau transplantasi ginjal (Suharyanto, 2009):
1. Tindakan konservatif
Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif
(Suharyanto, 2006). Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan.
a. Pembatasan protein
Pembatasan asupan protein telah terbukti
memperlambat terjadinya gagal ginjal. Pasien mendapatkan terapi dialisis teratur, jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan 60-80 gr/hari (Smeltzer & Bare, 2002).
b. Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia (Black & Hawks, 2005).
c. Diet rendah natrium
Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 gr Na). Asupan natrium yang terlalu banyak dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif (Lewis et al.,2007).
1) Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Intake cairan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi
berlebihan dan edema. Asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal (Hudak & Gallo, 1996).