Mohon tunggu...
Atika Zahra Nasution
Atika Zahra Nasution Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi/Universitas Sumatera Utara

halo semuanya saya Atika Zahra Nst biasa dipanggil Tika, sekarang saya sedang melanjutkan studi s1 di FISIP USU

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Post Truth dalam Melawan Hoax dengan Fact Checking di Media Sosial

8 Januari 2023   22:40 Diperbarui: 8 Januari 2023   22:44 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Era pasca-kebenaran atau disebut dengan post-truth dapat digambarkan sebagai transformasi sosial yang melibatkan media arus utama dan pembuat opini. Pergeseran ini tidak terlepas dari semakin intensifnya pengaruh manusia dalam dunia digital yang saling terhubung dalam sebuah jaringan yang disebut internet. Situasi ini membuat produksi informasi tidak lagi menjadi monopoli media arus utama, melainkan media sosial yang dikelola oleh masyarakat. Media arus utama, yang pernah dianggap sebagai sumber kebenaran, harus menerima kenyataan bahwa garis antara kebenaran dan kebohongan, fiksi dan nonfiksi semakin tipis. Fakta diadu dengan hoax dan kebohongan demi meyakinkan publik.

Menurut Kamus Oxford istilah post-truth digunakan pertama kali pada tahun 1992. Steve Tesich adalah seorang penulis yang menggunakan istilah post truth pada majalah The Nation. Tesich menceritakan kasus Perang Teluk dan kasus Iran dengan menekankan bahwa "sebagai manusia kita bebas dan mempunyai kebebasan dalam menentukan bahwa kita ingin hidup di dunia post truth".

Fenomena post-truth pada awalnya digunakan untuk kepentingan politik. Namun semakin hari, post-truth digunakan untuk semua isu dan agenda. Ada kesejajaran antara jurnalisme post-truth dan hoax. Post-truth dan hoax seringkali dikemas dalam headline yang dilebih-lebihkan, mengabaikan data dan fakta, bahkan mungkin menggunakan data palsu yang belum diketahui kebenarannya. Belum lagi jika ada akun-akun berbayar, yang biasa disebut buzzer, sengaja mengangkat topik (headline) terus-menerus, atau mengomentari berita, untuk membingungkan pengguna media sosial dan bahkan mempercayai pesan "kebenaran" hoax.

Dengan berkembangnya teknologi, penipuan tidak dapat dihindari, yaitu media sosial digunakan oleh mereka yang benar-benar menemukan kebebasan untuk menyebarkan informasi. Oleh karena itu, penalaran kritis masyarakat dalam mencermati kebenaran justru mengalami kelemahan. Hoax pada intinya bekerja dengan melihat keinginan masyarakat atau daya tarik masyarakat terhadap fenomena sosial, budaya, politik, demi meyakini apa keinginan masyarakat. 

Menurut J A Liorente, fenomena seperti ini menandakan bahwa suasana sosial politik mengabaikan objektivitas dan rasionalitas dengan membiarkan emosi atau hasrat memihak pada keyakinan meski fakta memperlihatkan hal yang berbeda, yang terjadi pada era ini adalah keyakinan pribadi lebih dikedepankan daripada logika dan fakta dalam ruang publik.

Pemeriksaan fakta (Fact checking) seperti disampaikan Kelly Born dalam tulisan berjudul "Truth in Politics: Misinformastion and Fact Checking Movement" mengatakan setidaknya dilakukan dengan tiga tujuan, yang mungkin dalam pikiran masing-masing dengan khalayak berbeda, terkait:

  • Untuk khalayak yang lebih luas, adalah guna meningkatkan pemahaman terhadap masalah dengan membalas misinformasi
  • Untuk jurnalis lain, adalah guna membantu mengalikan budaya dari "katanya" menjadi pemeriksaan fakta yang lebih besar
  • Untuk politisi, pakar politik atau (lebih baru lagi) jaringan berita, adalah guna meminta pertanggung jawaban mereka dan mencegah pernyataan yang salah.

Media sosial sangat membutuhkan adanya fact checking, mengapa? Kalau dilihat masyarakat Indonesia yang minim kesadaran terhadap media/berita, tidak hanya dikalangan orang tua saja yang langsung mempercayai ataupun langsung meng-share berita tersebut ke group Whatsapp lainnya tetapi di semua kalangan terkadang hanyut akan sebuah berita yang viral di media tanpa mengetahui kebenaran. Hal itulah mengapa Indonesia seharusnya mempunyai fast checking, untuk meredam berita bohong atau hoax yang marak beredar. Kalau dilihat memang kesadaran masyarakat sendiri yang harus peka terhadap bagaimana himbauan terhadap berita hoax sendiri, tetapi pemerintah pun juga harus selalu memberikan edukasi lebih, seperti mungkin dilakukan sosialisasi di kota maupun desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun