KORUPSI: LUKA LAMA YANG HARUS SEGERA DITUTUP Oleh Atifa Salsabilla, NPM: 2310070530027,
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
Email: salsabillaatifa@gmial.com
Korupsi di Indonesia bisa diibaratkan luka lama yang terus terbuka, tidak pernah benar-benar sembuh. Setiap kali ada harapan bahwa keadaan akan membaik, muncul kasus baru yang mengingatkan kita bahwa penyakit ini masih bersarang di banyak tempat. Dari gedung pemerintahan hingga lorong-lorong kecil birokrasi, praktik korupsi merajalela seperti wabah yang sulit dihentikan.
Masalahnya, korupsi tidak hanya mencuri uang negara, tetapi juga mencuri masa depan kita. Bagaimana anak-anak Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang layak jika anggaran pendidikan "dimainkan"? Bagaimana kita bisa percaya pada keadilan jika hukum pun kadang tunduk pada kekuasaan?
Korupsi Itu Bukan Budaya, Tapi Pilihan
Salah satu alasan yang sering muncul untuk "memaafkan" korupsi adalah anggapan bahwa itu sudah menjadi budaya. Benarkah? Atau kita hanya terlalu malas untuk melawan?
Korupsi terjadi bukan karena orang Indonesia secara alamiah suka korup, tapi karena ada celah dan kesempatan yang dibiarkan terbuka. Budaya permisif, di mana kita membiarkan "uang pelicin" sebagai hal yang biasa, adalah salah satu penyebab utamanya. Padahal, setiap tindakan korupsi, sekecil apa pun, adalah pilihan sadar yang dibuat oleh individu.
Yang lebih menyedihkan, banyak pelaku korupsi adalah orang-orang yang secara ekonomi tidak benar-benar kekurangan. Mereka punya gaji tinggi, fasilitas mewah, dan segala yang dibutuhkan untuk hidup nyaman. Tapi, kerakusan dan
Â
mental "tidak pernah cukup" membuat mereka rela mengorbankan kepentingan masyarakat demi kepentingan pribadi.
Perlawanan Dimulai dari Hal Sederhana
Jika korupsi adalah pilihan, maka melawan korupsi juga dimulai dari kesadaran individu untuk membuat pilihan yang benar. Sikap seperti menolak memberikan atau menerima suap, berani mengatakan "tidak" pada tindakan yang tidak jujur, dan melaporkan penyimpangan yang terjadi di sekitar kita adalah langkah kecil namun signifikan. Korupsi sering kali dimulai dari hal-hal sederhana—seperti membiarkan praktik pungli berjalan atau memilih diam ketika melihat penyalahgunaan wewenang. Namun, langkah untuk melawan korupsi juga bisa dimulai dari hal-hal sederhana: memilih untuk berintegritas dalam setiap tindakan.
Selain itu, peran pendidikan dalam membentuk generasi yang anti korupsi tidak bisa dianggap remeh. Pendidikan, terutama di sekolah dan kampus, menjadi fondasi penting untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab sejak dini. Misalnya, melalui mata pelajaran khusus tentang integritas atau kegiatan ekstrakurikuler yang menanamkan etika dan moralitas, siswa diajarkan untuk memahami dampak destruktif dari korupsi. Generasi muda harus menyadari bahwa kejujuran bukan sekadar nilai abstrak, tetapi sebuah komitmen yang akan memengaruhi kehidupan pribadi maupun masyarakat luas.
Namun, pendidikan formal saja tidak cukup. Lingkungan keluarga juga berperan penting dalam membangun karakter anak. Orang tua harus menjadi contoh nyata dalam menjalankan kehidupan sehari-hari yang bersih dan jujur. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi integritas cenderung membawa nilai-nilai tersebut ke masa depan. Dengan kombinasi peran keluarga, sekolah, dan komunitas, kita bisa berharap lahirnya generasi muda yang bukan hanya cerdas, tetapi juga memiliki kompas moral yang kuat untuk melawan korupsi.
Teknologi Sebagai Senjata Melawan Korupsi
Di era digital ini, teknologi sebenarnya bisa menjadi alat ampuh untuk memerangi korupsi. Aplikasi pelaporan publik, transparansi anggaran berbasis digital, hingga blockchain untuk melacak aliran dana bisa menjadi solusi nyata.
Misalnya, pemerintah dapat mengembangkan platform yang memungkinkan masyarakat memantau pengeluaran anggaran negara secara langsung. Dengan cara ini, masyarakat bisa lebih kritis dan aktif dalam mengawasi setiap kebijakan. Selain itu, teknologi juga bisa membantu meminimalkan interaksi langsung yang sering kali menjadi celah bagi praktik korupsi, seperti dalam proses perizinan atau pembayaran pajak.
Namun, teknologi hanya alat. Tanpa komitmen kuat dari semua pihak untuk menggunakannya secara benar, teknologi saja tidak akan cukup untuk memberantas korupsi.
Peran Media: Pencahayaan dalam Gelap
Media memiliki peran penting sebagai pengawas sekaligus penyampai informasi kepada publik. Investigasi mendalam yang dilakukan oleh media sering kali menjadi awal terbongkarnya skandal korupsi besar.
Namun, media juga harus tetap objektif dan tidak terjebak dalam kepentingan tertentu. Media yang bebas dan bertanggung jawab dapat menjadi mitra masyarakat dalam melawan korupsi, memberikan informasi yang akurat, serta mendorong akuntabilitas pejabat publik.
Tidak hanya itu, media sosial kini menjadi platform yang sangat berpengaruh. Warga biasa bisa berperan sebagai "jurnalis warga" yang melaporkan dugaan korupsi atau ketidakadilan. Tetapi, perlu diingat bahwa laporan tersebut harus didukung bukti dan fakta agar tidak menjadi fitnah atau berita palsu.
Optimisme Itu Perlu, Tapi Harus Realistis
Memang, sulit untuk optimis ketika kita melihat korupsi seperti lingkaran setan yang tidak pernah putus. Tapi, jika tidak ada yang mulai melawan, sampai kapan pun kondisi ini tidak akan berubah.
Bukan berarti kita tidak bisa bermimpi tentang Indonesia yang bersih dari korupsi. Namun, mimpi ini hanya bisa terwujud jika semua pihak bekerja sama: masyarakat yang kritis, aparat penegak hukum yang tegas, dan sistem yang transparan.
Ingat, korupsi bukan hanya soal mencuri uang. Korupsi adalah Pengkhianatan terhadap kepercayaan. Dan pengkhianatan ini harus dihentikan, apa pun caranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H