Mohon tunggu...
Atho Smith
Atho Smith Mohon Tunggu... -

aaaaaaaa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Hukuman Mati" Contradictio in Terminis

28 Januari 2011   11:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:06 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

(SISI LAIN PERIHAL HUKUMAN MATI, SUATU KAJIAN FILOSOFIS-RELIGIUS)

Atho B. Smith

Masalah hukuman mati sejauh ini telah menjadi topik yang tidak habis-habisnya dibicarakan oleh berbagai kalangan. Sifat kontroversialnya yang mengundang pro dan kontra rupanya masih akan terus berlangsung, entah sampai kapan. Mereka yang kontra umumnya melihat dari sisi terpidana/pelaku, sedangkan yang pro umumnya melihat dari sisi sang korban. Namun begitu, lepas dari yang pro dan yang kontra, kami akan coba mengkajinya dari sisi yang lain.

Suatu hal yang tidak dapat dibantah oleh siapapun bahwa setiap kehidupan yang dijalani semua makhluk hidup di atas dunia ini akan mengalami suatu proses. Proses itu senantiasa mengikuti kaedah hukum alam dimana segala yang hidup asalnya dari tidak ada, kemudian menjadi ada, yang adanya itu selalu dimulai dari kecil, kemudian menjadi besar, menjadi tua, dan kembali ke tidak ada. Ke-4 langkah dari proses kehidupan tersebut tadi, tidak mutlak harus ada secara lengkap. Yang pasti, sesuatu yang ada (hidup), eksistensinya selalu dimulai dari kecil dan akan kembali ke tidak ada, walaupun tanpa melewati proses pembesaran dan ketuaan.

Melihat fenomena di atas, maka faktor perubahan fisik pada setiap makhluk hidup menjadi sesuatu yang mutlak dan bersifat permanen. Mustahil jika ada makhluk yang hidup di atas dunia ini tanpa mengalami perubahan. Berkaitan dengan masalah ini, maka faktor waktu memegang peranan yang teramat penting. Perubahan akan senantiasa terjadi seiring dengan perjalanan waktu. Gejala ini juga secara situasional dialami oleh benda-benda lain di luar makhluk hidup, walaupun secara fisik tidak begitu kelihatan. Tapi, benda-benda itu tidak menjadi bahasan kami. Selanjutnya marilah kita mulai pembahasan ini dengan melihat salah satu obyek saja dari sekian banyak makhluk hidup, yakni MANUSIA, dan yang menjadi sorotan utama disini adalah proses perubahan yang dialami oleh manusia itu.

Seperti diketahui bahwa setiap aktivitas manusia di dunia ini sangatlah bergantuk pada kondisi fisiknya. Jika ia sehat/normal, maka semua kegiatan akan lancar danterasa ‘nyaman’. Sebaliknya jika ia terganggu,maka seluruh kegiatan yang dapat dilakukan manusia itu akan terganggu pula. Jadi, sekali lagi kondisi fisik seseorang sangat berperan dan menentukan dalam soal kelangsungan perjalanan hidupnya, sekalipun sikap batin atau mentalnya juga dapat berperan sebagai ‘pengendali’. Ibaratnya, fisik sebagai kendaraan, sedangkan sikap mentalnya berfungsi sebagai pengemudi. Hampir semua aktivitas manusia itu tertuju pada pemenuhan kebutuhan yang dituntut oleh fisiknya. Ia butuh makan, minum, tidur, rumah, pakaian, ketrampilan, kesehatan, kecantikan, dan sebagainya yang kesemuanya itu berhubungan dengan kebutuhan fisik.

Yang sangat disayangkan yaitu bahwa seiring dengan perjalanan waktu, maka kondisi fisik sebagai sarana vital bagi kehidupan manusia itu akan mengalami perubahan secara permanen. Perubahan dimaksud merupakan sebagian kecil saja dari apa yang secara keseluruhan ikut mengalami perubahan. Statement populerfilsuf Yunani Heracleitos lebih dari 2500 tahun silam, “Phanta Rhei” bahwa semuanya berubah, kecuali perubahan itu sendiri, telah ikut pula memperkuat asumsi sederhana ini. Pertanyaan yang mungkin dikemukakan disini adalah, mengapa sampai terjadi demikian, apa akibatnya, dan kemana perubahan itu mengarah ?

Diakui bahwa setiap makhluk hidup pasti memiliki kebutuhan. Entah faktor inikah yang sesungguhnya menjadi cikal bakal dari adanya perubahan, ataupun sebaliknya, bagi kami hal ini tidaklah penting, karena dalam soal yang akan dibahas kedua-duanya memiliki dimensi yang kurang lebih sama dalam hal mewujudkan suatu kesimpulan yang rasional.

Adanya kebutuhan dan hasrat untuk mempertahankan suatu kehidupan sesungguhnya tidaklah bersumber dari makluk itu sendiri melainkan dari suatu proses naluri alamiah, yang disebut sebagai Sense of Living (SOL), dimana komponen ini sengaja ‘dilekatkan’ oleh Sang Pencipta sebagai ‘asesoris’ kepada semua makhluk hidup. Artinya, secara alami setiap makhluk hidup memiliki naluri untuk senantiasa mempertahankan kehidupannya sehingga ia cenderung selalu melindungi dirinya dari segala kemungkinan ihwal yang dapat mengancam jiwanya. Ini akan terus dijalaninya sekalipun dalam keadaan-keadaan tertentu ia mampu mengadakan ‘perlawanan’ terhadap sifat dasarnya itu, seperti dalam kasus bunuh diri. Naluri yang dimaksud bukan hanya kelihatan dari perilakumanusia itu secara lahiriyah, melainkan juga terlihat pada mekanisme anatomis yang terjadi di luar kesadarannya. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya sifat-sifat reaksioner terbatas dari sejumlah organ tubuh manusia di kala ia berhadapan dengan sesuatu zat yang dapat membahayakan eksistensinya, seperti racun yang terdapat pada makanan, minuman, dan sebagainya. Adanya komponen SOL ini bagi orang berakal dinilai sebagai sesuatu yang bukan percuma dan pasti mempunyai makna.

Kesemua mekanisme sebagaimana dijelaskan diatas bertumpu pada satu prinsip bahwa “Hidup Harus Dipertahankan”. Dari ‘keharusan’ ini muncul fenomena bahwa kelangsungan hidup manusia sangat bergantung pada besarnya volume yang telah ia penuhi sebagaimana yang dituntut oleh kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Jika kebutuhan hidup tidak dipenuhi dalam jangka waktu tertentu, maka secara alamiah mustahil suatu kehidupan dapat dipertahankan. Berdasarkan analisa ini serta adanya naluri yang melekat pada setiap diri manusia itu, sadar atau tidak jika dilihat dari aspek natural law ia telah diberi ‘beban’. Mengapa demikian ?

Realita sebagaimana diuraikan di atas jelas membuktikan bahwa pada hakekatnya menjalani kehidupan di dunia bukanlah sesuatu yang sifatnya“berfoya-foya” atau “bersenang-senang”, melainkan harus beraktivitas, bekerja, berjuang, berusaha dan berbagai aktivitas lainnya agar kelangsungan hidup bisa terwujud. “Life is a struggle”, begitu kata orang-orang bijak. Dalam keadaan ia tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhannya itu seperti halnya ketika masih bayi, maka Sang Pencipta memberikan semacam perasaan ‘kasih dan sayang’ pada orang dewasa di sekitarnya untuk memelihara dan merawatnya. Kalaupun tidak ada yang merawatnya, maka alam akan membantunya dalam kapasitas yang terbatas. Alhasil, memenuhi kebutuhan hidup bagi setiap makhluk yang hidup merupakan hal yang tidak dapat ditawar dan bersifat mutlak.

Walaupun demikian, apapun aktivitas yang dilakukan manusia bahkan mendekati sempurna sekalipun, secara fisik ia juga “harus” mengalami proses perubahan. Keterikatan manusia pada naluri untuk mempertahankan hidupnya dengan segala beban kehidupan sedangkan di saat bersamaan ia juga akan mengalami proses perubahan, itulah yang kami pandang sebagai sesuatu yang berbentuk ‘penyiksaan’. Masalahnya, karena perubahan itu akan menuju ke suatu titik terjauh yang semakin hari kondisi fisik manusia akan menjadi semakin lemah.

Bagaimana proses munculnya manusia ke alam dunia ini tidak dipersoalkan disini. Yang menjadi pertanyaan yakni, apa makna dari setiap perubahan yang dialami oleh makhluk-makhluk hidup ini khususnya manusia ? Atas pertanyaan ini, mungkin orang akan memberi jawaban simpel bahwa sifat makhluk hidup itu tidak kekal sehingga ia harus mati. Jawaban itu tidaklah salah jika dilihat dari causa final kehidupan ini. Akan tetapi bagaimana jika dilihat dari causa efisiensinya ?Mungkinkah kehidupan ini terjadi hanya kebetulan saja denganfenomena seperti tersebut diatas?

Kami memang mengakui bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu orang bisa mengkajinya dari berbagai aspek. Tapi dalam masalah ini kami hanya ingin menyoroti bagian kecil saja dari fenomena dimaksud, yakni akibat atau efek yang mengikuti setiap perubahan yang dirasakan makhluk-makhluk hidup itu, khususnya oleh manusia. Jika kita mengambil ilustrasi, seorang anak kecil yang sedang mengalami pertumbuhan fisik dan mental, maka proses perubahan akan mengarah pada akumulasi “power” sang anak yang semakin hari semakin meningkat. Tapi dalam perkembangan selanjutnya setelah mencapai klimaksnya, secara alami “power” itu akan berangsur turun hingga ke titik terendah yang kita semua kenal sebagai kematian. Proses perubahan dari fase klimaks ke fase anti-klimaks jelas akan dirasakan sebagai sesuatu yang “tidak mengenakkan”, bahkan secara umum tidak diinginkan oleh makhluk hidup yang namanya manusia. Dengan kata lain, fase-fase ini dapat dikategorikan sebagai bentuk ‘nestapa’ yang ditimpakan kepada semua makhluk hidup. Dalam arti semakin lama ia hidup, maka semakin panjang pula derita yang bakal ditemuinya. Jika sekiranya manusia mampu mencegah ketuaan, niscaya upaya itu akan ditempuhnya betapapun sulitnya. Ketuaan dan uzur menjadi momok dan paling tidak disukai oleh manusia normal. Ia ingin panjang umur, hidup lebih lama, tapi tidak suka pada ketuaan dan uzur. Sungguh ironis! Adanya berbagai macam penyakit yang lazim “bersahabat” dengan para orang tua, merupakan faktor pelengkap bagi “hukuman” ini. Seseorang yang mencapai usia lanjut, katakanlah dalam keadaan yang sehat dan prima sekalipun, harus pula menerima kenyataan bahwa kondisi fisiknya semakin menurun dan melemah seiring dengan bertambahnya usia. Memasuki masa tua ibarat orang berkendaraan yang menelusuri suatu lorong atau gang yang semakin jauh kedalam kondisi jalannya semakin rusak. Dalam perjalanannya itu, jangan sekali-kali ia mengharap ada bagian jalan yang “mulus” didepannya sebagaimana jalan yang sudah dilewatinya. Keadaan inilah yang umumnya ditakuti dan tidak disukai oleh makhluk yang namanya manusia, sehingga dengan segala daya upaya yang dimilikinya, ia akan berusaha menghindarinya, minimal dengan memperlambat proses ketuaannya itu. Jika sekiranya ada resep bagaimana manusia bisa hidup lebih lama betapapunjauhnya, maka resep itu akan senantiasa dipraktekkannya. Tapi sayang sekali, upaya manusia itu ada batasnya dan hukum alam dalam soal ini tidak mengenal kompromi sehingga manusia dalam kapasitasnya yang bagaimanapun juga mau tidak mau harus tunduk pada kaidah abadi ini.

Hal penting lainnya yang harus diingat pula yaitu bahwa sekalipun manusia bisa bertahan hidup; katakanlah selama ribuan tahun dengan kondisi fisiknya yang prima, namun ini tidak akan menghapus “derita” yang akan dipikulnya sebagai makhluk hidup. Dalam pengertian bahwa di setiap fase perubahan yang dialaminya akan selalu membawa konsekuensi menurunnya “power” yang dimilikinya hingga mencapai titik terendah. Panjangnya usia seseorang jelas akan menentukan jumlah proses perubahan yang bakal ia temui. Semakin banyak proses perubahan yang terjadi, semakin panjang pula “nestapa” yang bakal dialaminya. Perasaan yang dinilai “menyiksa” ini tentu saja tidak harus ditafsirkan sebagai bentuk penyiksaan mencolok seperti lazimnya di penjara-penjara atau ketika seseorang mengalami penyiksaan fisik di masa perang. Penderitaan yang dialami manusia ketika melewati perubahan fisik dalam kehidupannya fase demi fase itu tidak begitu mencolok. Buktinya, dalam jangka waktu tertentu ketika kita berhadapan dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu, maka akan terlihat suatu perubahan fisik yang mencolok terutama jika pertemuan itu terjadi di masa tua. Penilaian pertama yang akan muncul adalah “perbandingan” antara keadaannya yang dahulu dengan yang sekarang. Perbandingan itu tertutama ditandai dengan perubahan-perubahan fisik yang secara alami dan normal terlihat semakin “menurun”. Rambut berubah warna dan semakin tipis, kulit yang tidak lagi kencang, kemampuan melihat dan mendengar berkurang, daya ingat menurun, gigi tidak lengkap lagi, tulang-tulang menjadi keropos, gerakan tidak gesit lagi, dan seribu satu perubahan fisik lainnya. Alhasil, kondisi fisik semakin melemah sehingga penampilan juga menjadi tidak menarik. Ini masih tergolong “lumayan” dan lazim, karena belum berbicara soal berbagai macam penyakit yang biasa diderita oleh mereka yang memasuki usia lanjut. Artinya, gejala-gejala di atas merupakan gejala yang secara umum dialami oleh mereka yang panjang umur dan dalam kondisi sehat. Jika mereka tidak sehat, maka penderitaan menjadi lengkap sekalipun mungkin karenanya mereka tidak berumur panjang.

Seiring dengan berlangsungnya proses kehidupan, manusia juga merasakan apa yang disebut sebagai “kesenangan-kesenangan duniawi”, bahkan faktor inilah yang sering membawa manusia menjadi lupa diri. Namun diakui atau tidak, bentuk dan sifat kesenangan duniawi itu cenderung bersifat “menipu”, dan berlaku temporer. Ia dapat diibaratkan sebagai bayang. Orang melihat bayang itu ada, tapi ia tidak bisa dipegang, diraba, ataupun disentuh. Ketika orang mendekatinya, maka ia akan berpindah tempat. Mereka yang terkurung di penjara sebagai misal, akan menilai bahwa kesenangan berada para mereka yang berada di luar penjara. Orang yang berada di luar penjara dan berjalan kaki akan menilai mereka yang ada di atas kendaraan itulah yang senang. Demikian juga orang yang terbaring sakit akan menilai bahwa mereka yang sehat itulah yang senang. Benarkah demikian ? Benarkah mereka yang sehat itulah yang senang? Jawabannya “ya” jika yang menilainya adalah orang sakit.Sebaliknya di kalangan orang-orang sehat, mereka akan merasakan sehat itu sebagai hal yang “biasa-biasa saja”, bukan hal yang istimewa. Dalam arti bahwa mereka yang sehat tidak akan merasakan nikmatnya sehat itu kecuali ketika mereka telah merasakan sakit. Jadi, apa yang dikatakan “kesenangan” itu sesungguhnya tidaklah terletak dimana seseorang itu berada, melainkan dari mana penilaian itu berasal. Dengan alasan itulah barangkali para filsuf berkesimpulan bahwa kesenangan yang hakiki itu sesungguhnya tidak ada di dunia ini. Statement ini kami sangat setuju.

Walaupun demikian, kehidupan dunia bukanlah sesuatu yang tidak punya nilai. Ia justeru memiliki nilai yang luar biasa besarnya. Dilihat dari sisi waktu saja, jika dibandingkan lamanya kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat, maka kehidupan dunia amatlah singkat. Kehidupan dunia terbatas sedangkan kehidupan akhirat tidak terbatas. Menurut perhitungan matematis, sesuatu yang terbatas jika dibandingkan dengan yang tidak terbatas, maka yang terbatas itu sama dengan NOL. Walaupun begitu, dengan kapasitas waktu yang terbatas dan singkat itu, secara moral keagamaan ia mampu memberi warna bagi kehidupan di akhirat nanti. Disinilah letak keistimewaan kehidupan dunia itu, sehingga dengan demikian secara moral ia harus pula dihargai dan wajib dipertahankan semaksimal mungkin.

Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan : jika demikian, apa yang menjadi latar belakang dari bentuk “penyiksaan” terhadap manusia ini dan apa pula tujuannya ?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu asosiasi kita akan tertuju pada sebab musabab (causa) mengapa hingga dikenainya “hukuman” dimaksud yang sudah barang tentu jawabannya ialah karena manusia punya “kesalahan”.Jika pembaca berpikir demikian, maka kita sependapat. Artinya, ada hukuman karena ada kesalahan. Tapi kesalahan apa yang telah diperbuat manusia, dan bagaimana bentuk hukuman dimaksud, itulah yang barangkali pendapat kita berseberangan. Terus terang kami mengakui bahwa untuk membuktikan dan menjelaskan secara ilmiah causa efisiensi dari adanya “hukuman” ini sungguh amat sulit. Dengan ilmu filsafat yang berciri metafisika sekalipun, paling-paling hanya menghasilkan suatu hypotesa yang bernuansa spekulatif. Karena itu, barangkali tidak ada salahnya jika kita coba menelusuri doktrin-doktrin keagamaan khususnya agama samawi dengan ciri monotheistis yang notabene bersumber dari wahyu. Melalui jalan ini mungkin analisa kita bisa bertemu. Ini tidak berarti bahwa analisa berdasarkan teropong religius merupakan sesuatu yang unreasonable. Justeru dengan melewati jalan ini (dapat) memperkuat suatu kajian ilmiah yang logis atas mata rantai yang menghubung-hubungkan suatu realita hingga pada causa prima-nya. Cuma, dengan menelusuri jalan ini, konsekuensinya selain kita harus mengacu pada natural law sebagai landasan pijak, kita juga harus menyentil Divine law (Hukum-hukum Tuhan yang mengikat manusia secara moral).

Menurut konsep ajaran agama-agama samawi (revealed religions), adanya manusia berawal dari diciptakannya Adam dan pasangannya Hawa oleh Tuhan sebagai Sang Pencipta dan keduanya ditempatkan di dalam surga. Namun sayang sekali, akibat dari “pelanggaran” yang telah dilakukan kedua makhluk ini atas larangan Sang Pencipta, maka keduanya lalu “dibuang” ke atas dunia. Kehidupan mereka yang semula kekal dan menyenangkan di surga, kini berubah menjadi kehidupan yang fana (tidak kekal), dan tidak lagi mengenakkan. Demikianlah sejak saat itu kedua insan ini memulai kehidupan mereka di tempat yang baru dengan suasana yang jauh berbeda dengan kehidupan sebelumnya. Namun kemudian mereka dapat melanjutkan keturunan dari generasi ke generasi, yang hingga hari ini proses itu masih berlangsung. Nah, proses exiled inilah yang secara historis keagamaan DAPAT dipandang sebagai causa efisiensi dari adanya hukuman dimaksud, yang disebabkan karena MEREKA TELAH MEMAKAN BUAH YANG DILARANG OLEH SANG MAHA PENCIPTA. Secara konseptual, agama-agama samawi mengakui bahwa semua makhluk yang namanya manusia tidak akan “kembali” ke Surga tanpa melewati kehidupan di dunia yang tentu saja diakhiri dengan kematian. Dunia merupakan jembatan yang harus dilalui sebelum mencapai Surga. (Sekalipun tidak secara otomatis ia akan sampai ke sana segera setelah kematiannya). Kedatangan manusia ke dunia ini telah diberi “beban” yang bobot-hukumannya sama beratnya. Dalam arti bahwa ia harus menjalani kehidupan ini sesuai dengan “aturan main” sebagaimana yang tertuang dalam konsep-konsep natural law seperti yang diuraikan di atas. Perbedaannya mungkin terletak pada “bentuk” hukuman tersebut. Ada agama yang menetapkan bahwa hukuman itu terletak pada kematian yang bakal dialami oleh manusia. Artinya, jika Adam & Hawa tidak berbuat kesalahan, maka manusia sejak awal kejadiannya akan hidup kekal di Surga. Namun ada juga agama yang memandang kematian (berpindah ke alam akhirat) merupakan perjalanan menuju ke wilayah yang “lebih baik dan lebih kekal” ketimbang wilayah kehidupan dunia. Selain itu agama samawi mengakui bahwa hukuman tersebut juga diberikan dalam bentuk hukuman moral. Dalam pengertian bahwa di satu sisi manusia harus taat pada aturan agama-agamanya. Tapi di sisi yang lain ia juga dituntut harus mampu mengalahkan musuh utama manusia yaitu setan yang terus menerus menggodanya (Masalah ini berada di luar sorotan kami).

Perbedaan dan persamaan ajaran agama-agama di atas tidaklah menghapus asumsi bahwa manusia dalam kehidupannya di dunia ini memiliki semacam “keharusan” untuk menjalani “hukumannya”, baik secara fisik maupun moral. Jadi, secara dogmatis, esensinya hukuman itu ADA. Akan tetapi dalam masalah ini kami berpendapat bahwa hukuman tersebut sesungguhnya BUKAN TERLETAK PADA KEMATIAN yang bakal dialami manusia, melainkan pada KEHIDUPAN DUNIA itu sendiri. Kematian justru merupakan PEMBEBASAN DARI HUKUMAN dimaksud. Bayangkan jika tidak ada kematian, dapat dipastikan bahwa penderitaan dalam kehidupandi dunia akan berlangsung secara terus menerus dan semakin lama ia hidup semakin tersiksa, karena secara alami proses penuaannya tidak akan berhenti. Hal ini sangat sulit dibayangkan. Jadi kematian menurut hemat kami dapat dipandang sebagai “muara” dari semua “derita”yang telah dijalani manusia selama hidup. Derita itu baru akan berakhir bilamana ia telah berhenti berproses. Itulah kematian, dan kematian yang sesungguhnya selalu ditandai dengan berhentinya proses mekanisme jasmaniah. Ada beragam definisi tentang kematian, namun pada intinya hampir semua merujuk pada gejala-gejala fisik yang organ-organnya telah berhenti berproses. Tentu saja lain lagi persoalannya jika manusia dalam kehidupannya di dunia ini tidak menjalankan perintah atau sebaliknya melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Sang Pencipta. Ini menjadi masalah tersendiri sebagaimana yang telah kami singgung di atas, karena berbicara hal-hal yang menyangkut kewajiban atau beban moral manusia untuk taat pada aturan-aturan agamanya, semuanya masuk dalam wilayah Divine Law. Sedangkan konteks ini sesungguhnya berada di luar pembahasan kami.

Kesimpulannya, manusia dalam seluruh aktivitasnya di atas dunia ini secara faktual terbebani oleh suatu fenomena yang bersifat “menyiksa”. Ini terbukti antara lain dari adanya SOL yang sengaja diberikan Sang Pencipta bagi semua makhluk hidup. Bagi manusia “derita” ini merupakan manifestasi dari salah satu bentuk hukuman. Dikenainya hukuman itu MUNGKIN disebabkan oleh adanya pelanggaran.Tapi bagaimana bentuk pelanggaran itu, sulit dibuktikan secara ilmiah, kecuali hanya melalui konsep-konsep keagamaan. Walaupun demikian, secara logis adanya peristiwa kematian dapat dipandang sebagai akhir dari semua penderitaan duniawi. Kematian adalah benar sebagai hukuman, jika dilihat dari KEHIDUPAN SURGAWI. Tapi, jika dilihat dari KEHIDUPAN DUNIAWI, ia justru sebagai pembebasan.

Dengan demikian menurut konsep ini, kami berpendapat bahwa istilah “Hukuman Mati” pada hakekatnya adalah sesuatu yang contradictio in-terminis (istilah yang bermakna kontradiktif). Pada kebanyakan orang peristiwa ini akan dilihat sebagai pelaksanaan hukuman yang telah mengantar terpidana menuju kematiannya. Artinya ia telah menjalani ”hukumannya”. Namun, hanya sebagian kecil saja orang yang mungkin menyadari bahwa dari sisi yang lain ia justru menuju kepada “kebebasannya”. Demikianlah, Wallahu a’lamu bissawaab/God knows the truth.

Manado, Medio Juni 2006.

Staf pengajar beberapa mata kuliah pada Fakultas Hukum Unsrat Manado.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun