Mohon tunggu...
Athira Azzahra
Athira Azzahra Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswa

hobi saya berenang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Riview Skripsi Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Perspektif Hukum Keluarga Islam

2 Juni 2024   19:38 Diperbarui: 2 Juni 2024   19:43 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Athira Azzahra

NIM : 222121097

Kelas : HKI 4D

Untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Hukum Perdata Islam di Indonesia yang di ampu oleh 

Bapak Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.

Pendahuluan 

     Skripsi ini berjudul “Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Perspektif Hukum Keluarga Islam” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hak asuh anak setelah terjadinya perceraian dan tinjauan hukum keluarga Islam terhadap hak asuh anak pasca terjadinya perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali. Hak asuh adalah istilah untuk menggambarkan orang tua mana yang akan tinggal bersama si anak dan merawat tumbuh kembang anak. Berdasarkan hasil wawancara pendahuluan tersebut dapat dinyatakan perceraian bukan hanya berakibat pada putusnya hubungan suami istri namun juga berakibat pada tanggungjawab pemeliharaan anak yang terabaikan. Hal ini akan mempengaruhi proses pendidikan dan tidak terpenuhinya hak anak.
   
     Hak asuh anak setelah perceraian menjadi perkara yang dianggap sepele oleh suami-istri yang bercerai. Seharusnya perlu mempertimbangkan kondisi perkembangan anak. Apabila merujuk pada Pasal 41 huruf a UU 1/1974 mengatakan bahwa: “Penguasaan terhadap anak-anak akibat dari perceraian haruslah dilihat berdasarkan kepentingan si anak terlebih dahulu tetapi apabila terjadi perselisihan maka Pengadilan dapat memberikan keputusan mengenai penguasaan anak-anak, apakah anak tersebut berada dalam penguasaan ibunya/ayahnya, terhadap penguasaan anak ini maka Pengadilan akan mengeluarkan suatu putusan mengenai pemeliharaan anak atau perwalian.”

      Ditinjau dari hukum Islam, hak asuh anak dikenal dengan istilah hadhanah, yaitu pemeriharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya. Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya disebabkan kesesuaian dengan banyak wanita yang feminim sehingga cenderung mengasuh sehingga memperkuat ketetapan buatan laki-laki bahwa seolah-olah pengasuhan ini memang sudah kodrat seorang wanita. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati ulama.

   Tujuan dari skripsi ini adalah Mendeskripsikan hak asuh anak setelah terjadinya perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali dan Menganalisis tinjauan hukum keluarga Islam terhadap hak asuh anak setelah terjadinya perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali.

Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah Menurut hukum Islam, hak pengasuhan atau pemeliharaan anak dalam hukum Islam disebut dengan istilah Hadhanah. Menurut Sayyid Sabiq, hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari suatu yang merusak jasmani, rohani, dam akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggungjawab apabila ia sudah dewasa.  Hadhanah adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencakup masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok sianak.

    Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa jika terjadi perceraian maka pengasuhan anak tetap menjadi tanggungjawab kedua orang tua. Ketentuan ini memang tidak secara tegas mengatur hak asuh anak apabila terjadi sengketa atau perebutan hak asuh anak maka hak asuh anak diberikan kepada bapak atau Ibu. Begitupun juga dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan, juga belum mengatur secara khusus tentang pengasuhan/pemeliharaan anak. Oleh karena itu digunakan rujukan dari KHI yang memberikan uraian yang lebih mendetail tentang hak asuh anak. Ada dua pasal yang menentukan pengasuhan anak yaitu Pasal 105 dan 156 KHI. Pasal 105 menentukan tentang pengasuhan anak pada dua keadaan. Pertama ketika anak masih dalam keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya. Kedua ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun keatas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih diasuh oleh ayah atau ibunya. Adapun Pasal 156 mengatur tentang pengasuhan anak ketika ibu kandungnya meninggal dunia dengan memberikan urutan yang berhak mengasuh anak, yaitu wanita- wanita dalam garis lurus dari Ibu, ayah, wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah, saudara perempuan dari anak yang bersangkutan, wanita wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, dan wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayahnya.

     Metodologi penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah penelitian kualitatif yaitu prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.24 Berdasarkan pengertian tersebut atas bahwa penelitian kualitatif dalam penelitian ini sebagai metode penelitian yaitu pengamatan terhadap perilaku subjek, hubungan sosial subjek, tindakan subjek, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata pada suatu konteks khusus yang alamiah, serta mengkaji lebih mendalam tentang gejala, peristiwa tentang hak asuh anak setelah perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali.

     BAB II
Tujuan Hak Asuh Anak Pasca Perceraian

     Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan definisi yaitu anak adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan.”

Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati ulama.

     Putusnya perkawinan akibat perceraian seringkali disertai dengan perebutan hak asuh anak. Pada prinsipnya anak berhak diasuh oleh orang tuanya karena orang tualah yang paling bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua pula yang memiliki ikatan batin yang khas dan tidak tergantikan oleh apa pun dan/atau siapa pun. Ikatan yang khas inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga anak menjadi dewasa. Jadi ikatan yang khas tersebut menorehkan warna positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, maka anak akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.

Seseorang yang akan melakukan hadhanah, demi kepentingan anak,
maka ia hendaklah sudah balig, berakal, dan tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang membutuhkan tanggung jawab penuh. Seseorang yang terkena gangguan jiwa atau ingatan tidak layak untuk melakukan tugas hadhanah. Dari kalangan Hambali ada yang menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.6
Memelihara anak adalah mempertanggungjawabkan anak itu jangan sampai ia binasa dan celaka, sehingga dapat berakibat pada tidak tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Seseorang yang akan melakukan hadhanah harus mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak yang diasuh, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar. Syarat lain yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa seseorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat menjamin pemeliharaan anak yang diasuh. Orang yang rusak akhlak dan agamanya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak, oleh karena itu tidak layak melakukan tugas ini. Tugas hadhanah termasuk usaha untuk mendidik anak menjadi muslim yang baik dan hal itu menjadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua, sesuai dengan maksudnya At-Tahrim ayat 6.

     Berdasarkan ayat diatas dapat dipahami bahwa orang tua dituntut untut memelihara keluarganya agar terhindar dari api neraka, serta supaya seluruh anggota keluarganya melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya. Termasuk anggota keluarga disini yakni anak. Untuk menghindari siksa api neraka, maka anak harus dibekali oleh ilmu-ilmu agama, tujuannya agar anak dapat mengetahui mana yang bisa dan tidak bisa untuk dikerjakan sehingga anak bisa melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi serta meninggalkan segala larangannya.

     Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini, ḥaḍānah
(pemeliharaan) anak dipegang oleh ibu yang telah diceraikan oleh suaminya. Akan tetapi, kalau sang istri sudah menikah lagi dengan laki- laki lain maka gugurlah hak pemeliharaan anak dari si ibu tadi.Lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya pada pasal 105 (a) diatur mengenai hak asuh anak berbunyi bahwa dalam hal terjadinya perceraian maka: (a) Pemeliharaan anak yang ghairu mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, adalah hak ibunya; (b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai hak pemeliharaan anak; (c) Biaya pemilaharaan anak ditanggung ayahnya. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.

BAB III

HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN DI DESA KEPOH KECAMATAN SAMBI KABUPATEN BOYOLALI
     

     Gambaran angka perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali adalah merujuk pada data yang tercatat pada monografi desa dimana pada tahun 2020 tercatat sebanyak 2 kasus perceraian, kemudian pada tahun 2021 sebanyak 3 kasus perceraian, dan pada tahun 2022 mencapai 5 kasus perceraian. Berdasarkan data tersebuttingkatperceraian di Desa Kepohterlihatmeningkat.
Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali
     Anak merupakan karunia dari Allah SWT yang wajib dijaga dan dipelihara oleh kedua orang tuanya. Kewajiban tersebut akan mudah dilaksanakan jika keadaan rumah tangga rukun dan sejahtera. Berbeda halnya jika terjadi perceraian seperti yang pada kasus keluarga BS, NO, dan SR dimana dalam kasus perceraian ini berdampak pada anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu keluarga dengan orangtua tunggal baik dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja. Kadang-kadang anak harus tinggal dalam keluarga dengan ayah tiri atau ibu tiri. Dalam hal terjadi perceraian, tentunya yang sangat urgen untuk diperhatikan adalah mengenai tanggungjawab pemeliharaan anak.
      dinyatakan bahwa hak asuh anak yang masih kecil (belum mumayyiz atau umur di bawah 12 tahun) terletak pada ibu kandungnya. Ketentuan ini dapat berubah jika ibunya telah meninggal dunia atau sebab lain yaitu sang ibu dinilai tidak sanggup atau kurang baik untuk diberikan hak asuh anak karena pertimbangan kemaslahatan tumbuh kembangnya anak. Artinya baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut.

Kompilasi Hukum Islam juga telah mengatur tentangvkekuasaan orangtua terhadap anak pasca perceraian dengan kriteria umur 12 tahun, karena usia ini anak dianggap telah akal baligh. Berdasarkan kriteria 12 tahun ini, maka anak yang belum memasuki usia 12 tahun akan berada dibawah kekuasaan ibunya. Setelah melewati usia 12 tahun, anak diperbolehkan menentukan pilihan sendiri, apakah ikut ibu atau ayah. Namun demikian angka 12 tahun ini bukan angka mati berdasarkan kriteria manfaat atau madharat, majelis hakim dapat menentukan keputusannya sendiri menyesuaikan keadaan dan fakta dalam persidangan.

Penutup
Kesimpulan

Hak asuh anak pasca perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali pada keluarga BS adalah pada bapaknya karena ibunya pergi dan dinilai tidak sanggup atau kurang baik untuk diberikan hak asuh anak, sehingga demi pertimbangan kemaslahatan tumbuh kembangnya anak yang lebih baik untuk kedepannya maka hak asuh diberikan kepada pihak bapak. Hak asuh pasca perceraian pada keluarga NO dan SR adalah ada pada ibunya karena anak masih kecil (belum mumayyiz atau umur di bawah 12 tahun). Ibu memiliki ikatan batin yang lebih kuat kepada anak, mempunyai rasa kasih sayang yang lebih, dan memiliki waktu lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu diharapkan mampu mengasuh anak agar tumbuh menjadi anak baik (shaleh) di kemudian hari.
Tinjauan hukum keluarga Islam terhadap hak asuh anak setelah perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali hak asuh anak pada keluarga NO dan SR yang masih berusia di bawah 12 tahun adalah hak ibunya, dan keluarga BS anaknya yang masih dibawah umur ikut ayah dikarenakan ibunya tidak ada kabar sama sekali. Tidak selamanya hak hadhanah itu jatuh kepada ibu, sang bapak pun berhak mempunyai hak yang sama dengan ibu, bila syarat-syarat penentuan ibu tidak memenuhi krieteria untuk memberikan kepentingan anak, seperti murtad, tidak berakhlak mulia, gila, dan sebagainya. Karena dalam hal pengasuhan anak ini yang pertama harus diperhatikan adalah kepentingan anak dan memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk memberikan rasa aman kepada anak yang menjadi korban perceraian .Sedangkan yang bertanggungjawab dan berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak adalah bapak (Pasal 105 KHI). Hak asuh anak dapat diberikan kepada bapaknya apabila si ibu telah meninggal dunia dan perempuan garis keatas dari ibu sudah tidak ada atau si ibu dinilai tidak sanggup atau kurang baik untuk diberikan hak asuh anak untuk kemaslahatan tumbuh kembang anak (Pasal 156 KHI).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun