Mohon tunggu...
Athika Utami
Athika Utami Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Amatir

Suka menulis dan masih terus belajar...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Shifting Uncommon to Common Culture" pada Fenomena TikTok

11 Juli 2022   12:30 Diperbarui: 16 Juli 2022   01:15 1397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TikTok dapat dikaitkan dengan common culture yang bermakna 2 hal, yakni budaya yang dibagi oleh orang banyak dan terintegrasi (Foto: cottonbro via pexels)

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam contoh di atas memunculkan konsep baru yang bergejala di masyarakat.

Jika dikaitkan dengan uncommon/common culture Featherstone, common culture bermakna 2 hal, yakni budaya yang dibagi oleh orang banyak dan terintegrasi; dan sesuatu yang masih perlu diperbaiki oleh kelompok yang berpengalaman. 

Implementasi common culture berupa karya seni, pola komunikasi, kebijakan, dan lain-lain. Kesemuanya dikemas oleh kelompok yang dianggap berpengalaman dengan tujuan untuk memperbaiki derajat budaya tersebut. Jika ada usaha untuk terus memperbaiki derajat itu dan menimbulkan budaya konsumen, maka akan terus dilakukan. 

Kemudian uncommon culture sebagai antitesisnya yang muncul dalam pembahasan budaya konsumen. Misalkan mana budaya yang dianggap alay dan mana yang keren.

Budaya dipandang dalam 2 hal, yakni sebagai proses pengembangan intelektual dan spiritual; dan sebagai produk seni dan praktek intelektual.

Jika disebut produk, maka budaya bisa diperdagangkan. Jika sebagai proses pengembangan intelektual dan spritual, maka dipandang sebagai sesuatu yang bersifat idealis. Jika budaya sebagai produk maka common culture bisa menjadi bentuk-bentuk bisnis dengan capaian-capaian sosial. 

Misalnya, keikutsertaan seseorang dalam tren TikTok, maka yang utama adalah hal ini bisa memperbaiki citra seseorang tersebut di kalangan teman-temannya atau kelompok sosialnya. Kelompok-kelompok yang dianggap berpengalaman dan dianggap bisa memperbaiki budaya itu sehingga masyarakat bisa menikmatinya, yaitu si pembuat produk itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun