Secangkir kopi adalah perekat, untuk obrolan kita yang hangat. Terlebih, jika secangkir kopi yang ku suguhkan diseduh dengan racikan yang pas, antara manis gula dan pahit kopi itu sendiri. Untuk aromanya saja kamu sudah menyangka, bahwa kenikmatannya tidak bisa dilewatkan begitu saja.
"Diminum," ucapku waktu itu. Kamu yang sedari tadi hanya diam, mengangguk dengan malu.
Secangkir kopi adalah bukti keramahan tuan rumah. Namun sayang, terkadang secangkir kopi tidak disuguhkan dalam keadaan yang tepat. Seperti sekarang, kopi yang kusediakan dinikmati oleh perut yang belum sarapan. Harusnya, bukan secangkir kopi yang aku hidangkan, mungkin segelas tes hangat akan lebih menghangatkan.
"Kau baik-baik saja?" Aku khawatir, raut wajahmu menampakkan kalau ada sesuatu yang tengah kamu rasakan.
"Hanya sedikit begah." Begitulah jawabmu, dengan senyuman yang tak tanggal dari bibir. Ah, manis sekali. Hingga kopi yang kuseruput seolah kehilangan kepercayaan diri, kalah manis darimu.
Aku mengerti, perutmu tidak enak, kan? Tapi, kenapa saat aku tawarkan nasi kamu menggelengkan kepala?
Alasanmu, "Aku belum lapar." Padahal, ini sudah hampir waktunya makan siang.
Bahkan, untuk secangkir kopi yang hambar, bisa membuat seseorang betah berlama-lama dalam obrolan. Lalu sampai cangkir itu mendingin obrolan kita belum juga berakhir.
"Apa kamu tahu, perbedaan antara kamu dengan kopi ini?" tanyamu kala kopi tinggal menyisakan cangkirnya saja. Aku yang memang tidak tahu jawabannya hanya menggeleng, berharap kamu berkenan menjelaskannya segera.
"Kalau kopi, bikin candu."Â
Lalu? Kenapa kamu memotong perkataanmu?
"Kalau aku?" Tak sabar, aku ingin mendengar.
"Bikin rindu ...."
Alamak, tolong pegang kakiku. Aku bisa saja melambung tinggi kepentok lampu. Aku yakin, kopi semakin kehilangan eksistensinya.
Ingin aku berteriak kencang, mengatakan bahwa hatiku sangat girang. Namun, tentu aku urungkan, sebab tidak mungkin aku bertingkah demikian di depan secangkir kopi dan lelaki pujaan.
Melihatku salah tingkah, malah membuat senyum di bibirmu semakin merekah. Kenapa?
"Kamu sangat menggemaskan." Kalimatmu itu, sihir bagiku. Suaranya di telinga, tapi getarannya sampai hati. Ah, kalau saja dadaku bisa dibuka, mungkin kamu akan terkejut. Karena ada genderang yang tertabuh di dalam sana.
"Kalau kamu, tau nggak persamaan antara kamu dan kopi ini?" tanyaku, ingin juga melambungkannya.
"Sama-sama seleramu. Benar, kan?" balasmu. Kamu tertawa, tapi pipiku malah merona. Aih, kenapa malah aku lagi yang dibuatnya tersipu?
Secangkir kopi hanyalah teman untuk diseruput di tengah-tengah sebuah perbincangan. Sesekali kamu meminumnya di tengah kealpaan kata, dan sesekali kamu menyeruputnya sesaat selepas tertawa.
"Kopi dan senja, kamu lebih memilih mana?" tanyaku lagi. Berharap kamu memilih satu diantara dua itu, tapi apa jawabanmu?
"Aku pilih kamu."
Kamu tersenyum dan lagi-lagi aku tersipu.
Kau benar, jika kamu menginginkan seseorang untuk berlama-lama, setidaknya hidangkanlah secangkir kopi di hadapannya. Kalau ada, setoples biskuit juga bisa menjadi teman dari hangatnya kopi yang menenangkan. Sebab, secangkir kopi akan menahannya untuk tidak beranjak, meminumnya hingga menyisakan cangkirnya saja.
Seperti sekarang, kamu belum ingin beranjak pulang. Padahal, kopi dalam cangkirmu sudah tidak bersisa. Namun tidak mengapa, aku malah menyukainya. Bahkan jika harus menemani senja melepaskan jingganya, aku akan melakukannya. Asalkan itu bersamamu.
Ah memang benar. Jika secangkir kopi saja bisa menahannya lebih lama, lalu bagaimana dengan secangkir kopi yang ditemani dengan setoples rasa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H