Lalu? Kenapa kamu memotong perkataanmu?
"Kalau aku?" Tak sabar, aku ingin mendengar.
"Bikin rindu ...."
Alamak, tolong pegang kakiku. Aku bisa saja melambung tinggi kepentok lampu. Aku yakin, kopi semakin kehilangan eksistensinya.
Ingin aku berteriak kencang, mengatakan bahwa hatiku sangat girang. Namun, tentu aku urungkan, sebab tidak mungkin aku bertingkah demikian di depan secangkir kopi dan lelaki pujaan.
Melihatku salah tingkah, malah membuat senyum di bibirmu semakin merekah. Kenapa?
"Kamu sangat menggemaskan." Kalimatmu itu, sihir bagiku. Suaranya di telinga, tapi getarannya sampai hati. Ah, kalau saja dadaku bisa dibuka, mungkin kamu akan terkejut. Karena ada genderang yang tertabuh di dalam sana.
"Kalau kamu, tau nggak persamaan antara kamu dan kopi ini?" tanyaku, ingin juga melambungkannya.
"Sama-sama seleramu. Benar, kan?" balasmu. Kamu tertawa, tapi pipiku malah merona. Aih, kenapa malah aku lagi yang dibuatnya tersipu?
Secangkir kopi hanyalah teman untuk diseruput di tengah-tengah sebuah perbincangan. Sesekali kamu meminumnya di tengah kealpaan kata, dan sesekali kamu menyeruputnya sesaat selepas tertawa.
"Kopi dan senja, kamu lebih memilih mana?" tanyaku lagi. Berharap kamu memilih satu diantara dua itu, tapi apa jawabanmu?