"Kuliner Minang memang juara," kata Ibu sambil tersenyum.
Kami memakan makanan yang tersaji dengan lahap. Aku tak enggan menambah nasi dengan lauk pauk yang menggiurkan itu. Hasya pun terus memuji gulai tunjang yang lembut dan kaya rasa, sambil sesekali menyesap air putih untuk mengimbangi pedasnya. Ibu tersenyum puas melihat kami menikmati hidangan khas Minang yang memang tiada duanya.
*Lobang Jepang: Menyusuri Masa Kelam*
Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan ke Lobang Jepang. Seorang pemandu lokal menyambut kami dengan ramah. Ia menjelaskan bahwa terowongan ini dibangun dengan susah payah oleh rakyat Indonesia yang dipaksa bekerja oleh tentara Jepang. Saat melangkah masuk, suasana di dalam terasa hening dan dingin, seakan menyimpan kisah pilu dari masa penjajahan.
"Terowongan ini dibangun dengan kerja paksa oleh rakyat kita pada masa penjajahan Jepang," jelasnya.
Hasya bergidik. "Serem ya, Kak. Aku nggak bisa bayangin kerja di tempat seperti ini."
Aku mengangguk. "Iya, tapi ini jadi pelajaran penting. Kita harus menghargai perjuangan mereka."
Aku mendengarkan penjelasan dari pemandu dengan seksama. Ia menjelaskan bagaimana rakyat Indonesia disuruh bekerja paksa oleh tentara Jepang. Bahkan di lobang itu banyak nyawa rakyat rakyat Indonesia teregut. Saat itu aku menyadari betapa besar pengorbanan rakyat zaman dulu untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kita harus menghargai perjuangan keras mereka yang bahkan sampai mengorbankan nyawanya sendiri. Aku teringat akan kata-kata Ayah, bahwa kemerdekaan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang yang penuh penderitaan. Dengan mengingat hal itu, aku merasa lebih mencintai tanah air dan bertekad untuk menjaga serta menghargai kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan begitu berat.
*Fort de Kock dan Jembatan Limpapeh*