Mohon tunggu...
athaya lavita
athaya lavita Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Pekerja korporat & mahasiswa, full time!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Single Mom Insecurities

22 Desember 2022   20:11 Diperbarui: 22 Desember 2022   20:15 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mungkin banyak dari kita yang telah mengalaminya, being a single mom. Terkadang hidup tidak selalu sesuai ekspektasi kita, dan situasi memaksa membuat keputusan besar yang dapat mengubah kehidupan secara signifikan, salah satunya adalah menjadi ibu tunggal.

Namanya Jojo, ia berumur 6 tahun. Anak yang sensitif, penyayang dan sedikit pemarah ini adalah anak saya yang pertama, saya sangat mencintai dia dan rela melakukan apa saja untuknya, karya saya saat ini, usaha dan pendidikan S1 adalah tabungan untuk masa depan saya. 

Saya memilikinya saat berumur 19 tahun, "Terlalu muda ya?" salah satu dari banyak pertanyaan yang kadang buat saya tersinggung. Awalnya sulit sekali berlawan arus dengan stigma masyarakat dan komen-komen netizen in real life (ya, komennya seperti netizen menyakitkan, dan terjadi di dunia nyata, huft), tapi menjadi ibu telah menjadi pilihan yang saya jalani selama 6 tahun dan saya tidak pernah menyesalinya. 

Saya adalah lebih dari sekadar seorang ibu tunggal, saya seorang berpendidikan, dengan karir yang cemerlang, memiliki beberapa kelebihan lain, serta emotional intelligence yang lumayan baik untuk orang yang telah melalui beberapa rintangan yang sulit, saya tidak pernah memproyeksikan kekurangan saya kepada orang lain, tetapi memang konstruksi sosial di Indonesia mempengaruhi self-concept saya secara keseluruhan, memang bukan pengajaran budaya Indonesia untuk mempermalukan seorang ibu tunggal tetapi hal ini tetap ada dan didasari oleh ide bahwa seorang ibu adalah yang mematuhi suaminya, menjadi kerangka yang mempererat keluarga dan melindungi anak, dan segudang tanggung jawab lainnya. Tetapi bagaimana dengan saya dan jutaan perempuan lain? Terjebak dalam hubungan toxic yang dibarengi dengan KDRT dan timpang kuasa, apakah pilihan terbaik saya ini harus menjadi alasan untuk orang menghakimi saya dengan komen-komennya yang membuat saya sakit hati?

"Janda itu......"
Saya pikir kata diatas dan variasi lanjutannya wajib memiliki trigger warning, tetapi dunia tidak berjalan hanya untuk saya dan beberapa perempuan yang memiliki predikat yang sama dan memiliki perasaan yang sama tentang kata itu. 

Objektifikasi dari kata itu sangatlah berpengaruh pada self-concept saya, telah dituangkan malu, rasa bersalah, dan banyak negativitas yang ironisnya diberikan kepada perempuan-perempuan whose sole purpose of living is survival. Objektifikasi, kebanyakan, tetapi tidak terbatas pada ini adalah; pengganggu hubungan orang lain (sebuah generalisasi yang tidak masuk akal), perempuan tidak benar dan nakal, seksualisasi yang berlebihan (janda lebih...), perempuan gagal, tidak pantas di nikahi tapi untuk di nikmati, 'rasaya beda' saya dapat menulis banyak hal lain dari observasi saya di media sosial, media massa dan satu penelusuran Google, tapi mungkin daftarnya akan membuat sebuah novel, tidak akan ada habisnya. Inilah yang memberikan saya kesulitan saat awal-awal saya menerima realita bahwa saya telah menjadi kategori dalam kehidupan sosial di Indonesia. Inilah pandangan orang lain terhadap diri saya, pada saat itu. 


Ada juga masanya saat saya membandingkan diri saya pada orang lain, "Bagaimana ya jika aku bukan seorang janda?" Apakah saya akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik, seperti pekerjaan yang lebih baik atau kuliah lebih awal saat saya harus mengurus anak saya di tahun pertama? Apakah akan lebih baik dari teman-teman sebaya saya? Apakah saya secara biologis tubuh saya berubah menjadi lebih buruk karena kehamilan? Apakah orang seumur saya memiliki tubuh yang lebih baik? Banyak sekali pertanyaan yang membuat saya membandingkan diri saya dengan orang lain yang seumur saya, media sosial membuat semuanya lebih buruk, pada masa itu.

2021-2022 adalah selang waktu yang begitu transformatif, saya dapat melihat dunia dan diri saya dalam cahaya yang berbeda. Banyak sekali evaluasi dan interpretasi diri yang jauh lebih baik, meningkatkan kesadaran saya tentang diri saya, saya seperti mengetahuinya lebih jauh, menyukainya dan mencintainnya lebih dalam. Sudah jarang saya mendapati diri saya membandingkan diri dengan orang lain dengan cara yang kasar atau terlalu memikirkan stigma yang ada, karena sebenarnya, dan ternyata (oh ternyata...) dengan memperlakukan diri saya lebih baik, saya jadi lebih damai dan menerima keadaan saya. Saya punya kesadaran bahwa saya bukan orang yang sempurna, yaa tapi memang tidak ada yang sempurna, bukan? 

Saya dapat menerima kritik tanpa cognitive dissonance yang berlebihan, misalnya jika ada seseorang yang bilang saya terlalu banyak bekerja dan kurang waktu dengan anak saya, saya tidak mengambil pusing komen itu, karena benar terkadang saya memang terlalu ambisius untuk masa depan saya dan anak saya tetapi saya lupa saya juga melakukan ini untuk anak saya dan saya tidak boleh lupa menyempatkan diri untuk memiliki quality time bersamanya. Saya memang seorang ibu tunggal, itu sudah menjadi bagian dari diri saya yang tidak dapat terlepaskan dari saya, tetapi saya juga adalah Athaya, saya memiliki identitas dan keragaman diri yang tidak dapat disamakan dengan orang lain, dan saya memiliki alat untuk mencapai kesuksesan di hidup saya, dan saya menuju pada goal saya dalam hidup, saya unik dan saya indah dalam esensi yang saya inginkan.

Identitas/self concept saya ini banyak juga bersinggungan dengan cara saya membina hubungan yang intimate setelah dan sebelum self-concept ini direformasi. Sebelumnya saya sangat tidak percaya diri dalam mencari pasangan, banyak hubungan yang berakhir karena saya yang mengakhirinya, polanya kira-kira selalu sama; kita bertemu, berhubungan tanpa label, waktu berjalan lalu saya mengakhirinya karena saya merasa pasangan saya tidak akan siap dengan fakta bahwa saya memiliki anak walaupun saya sudah memberi tahu mereka keadaan saya dan kekurangan saya, saya tetap saja tidak mau berdamai dengan realita bahwa saya memiliki pasangan dan memiliki anak. Seperti ada rasa bersalah yang saya rasakan saat bersama pasangan saya di masa lampau, mengingat anak saya masih kecil, apa yang saya bisa katakan padanya? Apakah dia akan pernah mengetahui keadaan saya dan mengerti?

Lebih dewasa kini, saya menemukan pasangan yang saya sudah kenal selama 2 tahun ke belakang, ia adalah sosok yang jauh lebih baik daripada yang saya ekspektasikan sebagai pasangan untuk seorang single mom. Bukan hanya mengerti, dia sudah memikirkan masa depan kita bersama nantinya, walaupun saya belum berucap tentang anak saya, dia sudah memikirkannya duluan dan berbicara secara mendalam. Dia lebih dari menerima saya apa adanya, dia mengajarkan saya kalau keadaan saya tidak tidak mengurangi value saya sebagai manusia, bahkan menurut dia menjadi ibu adalah sebuah kelebihan karena saya melelui hal yang berat membuat saya lebih kuat dan hati-hati. Walaupun masih muda, dia adalah orang yang sangat bijaksana, wise beyond his year. Dia juga orang yang sangat suportif dalam banyak hal dalam kehidupan saya seperti pekerjaan, sekolah dan berbagai self-development yang saya alami. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun