Mohon tunggu...
ATHAYA NADIYA ASYHAR
ATHAYA NADIYA ASYHAR Mohon Tunggu... Mahasiswa - Child development and family enthusiast!

suka belajar dari anak kecil

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ibu Berani: Berbagi Pengalaman dan Tips Pengasuhan Anak Disabilitas untuk Pengasuhan di Masa Pandemi

10 November 2021   10:20 Diperbarui: 10 November 2021   11:23 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Masa Pandemi ini, aktivitas sehari-hari menjadi lebih terbatas dan dilakukan di rumah saja. Tidak hanya bekerja atau bersekolah saja, bagi keluarga dengan anak disabilitas pun pengasuhan serta terapi dilakukan di rumah dan tanpa pendamping untuk meminimalisir mobilitas orang dan menjaga jarak. Hal ini menjadi sebuah tantangan baru bagi orang tua khususnya dalam memberikan pengasuhan dan dukungan. 

Pada umumnya, tantangan pengasuhan anak disabilitas berada pada komunikasi, permasalahan perilaku, seperti tantrum, repetitif dan agresif (Ludlow et al dalam Rahayu et al 2019) , serta kesulitan regulasi diri pada diri anak autis sehingga menyebabkan anak memiliki emosi yang negatif (Pisula dalam Rahayu et al 2019). Menurut KBBI, disabilitas merupakan keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang.

Ibu Y, seorang narasumber yang merupakan ibu dari anak disabilitas bersedia untuk berbagi pengalaman dan tips dalam menangani anak disabilitas. Pengalaman ini dapat menjadi acuan bagi para orang tua dengan anak disabilitas lainnya untuk memberikan pengasuhan terbaik dan mendukung perkembangan anak disabilitas khususnya di masa pandemi ini.

 Anak disabilitas menurut ibu Y merupakan suatu keistimewaan dan anugerah tersendiri bagi orang tuanya. Anak disabilitas memang berbeda namun bukan berarti diperlakukan dengan berbeda dengan anak normal pada umumnya. Menurut ibu Y kesabaran merupakan salah satu kunci dalam menjawab tantangan pengasuhan anak disabilitas. 

Anak ibu Y pada umumnya terlihat normal akan tetapi kurang aktif dalam berkomunikasi dan beraktivitas di kesehariannya, hal ini merupakan salah satu tantangan dalam pengasuhan.

 Didukung kondisi pandemi, hal ini menjadi lebih menantang khususnya bagi orang tua yang sebelumnya tidak melakukan pengasuhan langsung, kini harus berhadapan dengan anak dan keterbatasannya. Tantangan pengasuhan ini tidak hanya muncul dari anak disabilitas saja, melainkan penolakan diawal oleh kakak beradik yang memiliki saudara yang berbeda seringkali terjadi. Orang tua bisa memberikan pengertian kepada saudara yang lainnya agar bisa menerima dan memberikan pengaruh pada perkembangan anak disabilitas.

 Berbagai keterbatasan dan tantangan yang dirasakan oleh anak disabilitas dapat menjadi hambatan bagi dirinya untuk berkembang. Maka dari itu, diperlukan dukungan dari lingkungan sekitar disabilitas untuk menghadapi tantangan yang menghambat perkembangan. Selain memberikan dukungan ke anak, dukungan ke orang tua atau keluarga yang memiliki disabilitas merupakan poin penting yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan apabila keluarga mampu mengatasi perasaan stres dalam diri maka akan berpengaruh pada pengasuhan (Hidayati 2011). Hasil wawancara dengan ibu Y, seorang ibu dari anak disabilitas memberikan saran bagi orang tua dengan anak disabilitas untuk tetap tenang dalam memberikan pengasuhan kepada anaknya.

 “Dukungan yang tepat untuk anak disabilitas adalah dengan memperlakukan anak tersebut seperti anak pada umumnya.” ujar ibu Y ketika ditanya kiat pengasuhan anak disabilitas. Artinya, tidak ada perlakuan khusus yang cenderung membedakan anak disabilitas dengan anak normal. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Survei Prasetya (dalam Pratiwi dan Wahyudi 2019) yang menyatakan bahwa perlakuan yang paling sering dirasakan oleh anak disabilitas diantaranya adalah diasingkan dan dibedakan. Ibu Y merasa dengan melakukan anak secara “berbeda” maka akan membuat anak merasa diasingkan. 

Tips pengasuhan lainnya diberikan oleh seorang guru disabilitas, yaitu Guru I.  Guru I memberikan saran bentuk dukungan yang dapat diberikan kepada anak disabilitas adalah dengan mencari sekolah yang mampu mengembangkan potensi anak disabilitas tersebut. Guru I dalam wawancaranya menyatakan bahwa anak disabilitas harus banyak mengeksplorasi berbagai hal sehingga orang tua maupun guru dapat memahami kesukaan dan potensi dalam diri anak disabilitas. Dukungan lain yang dapat diberikan oleh keluarga dan lingkungannya adalah sebuah penerimaan, dukungan ini memiliki pengaruh besar pada perkembangan anak disabilitas namun hal ini paling sulit untuk dilakukan. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Riadin dan Usop (2017), anak disabilitas yang bisa diterima oleh teman-temannya atau lingkungan sekolahnya memunculkan perilaku anak disabilitas yang tidak bermasalah bahkan cenderung menaati peraturan. Dalam keluarga pun anak disabilitas perlu mendapatkan pengasuhan otoriter agar anak mampu memahami perilaku yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Pada setiap aktivitas yang dilakukan, disabilitas perlu mendapatkan pendampingan dan dapat bersosialisasi dengan komunitas yang sama juga termasuk ke dalam dukungan keluarga bagi anak disabilitas. 

Strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi dari anak disabilitas adalah dengan menempatkan anak di sekolah khusus yang sesuai dengan dirinya, melihat lingkungan yang dapat dipahami oleh anak, melihat sisi mana yang lebih disukai anak, serta melakukan pendampingan penuh bagi anak agar anak tidak merasa sendirian.

Namun, sekolah untuk anak disabilitas yang bisa mengembangkan minat bakat anak, seperti sekolah masak untuk anak disabilitas yang masih jarang ditemukan di Indonesia. 

Pemerintah perlu mendirikan sekolah khusus disabilitas sehingga pengembangan minat bakat anak disabilitas mendapat dukungan dan diberikan fasilitas, bukan hanya pembelajaran umum saja. 

Strategi lain yang diungkapkan oleh (Suhendra 2017) lebih melihat dari sisi pemerintahan seperti membuat kebijakan terkait kesetaraan disabilitas, adanya dukungan anggaran, melakukan renovasi berbagai penunjang kebutuhan disabilitas seperti transportasi, taman, gedung pemerintah dan tempat-tempat umum lainnya yang ramah disabilitas, mendukung penuh kebutuhan dari penyandang disabilitas terutama yang masuk ke dalam kategori miskin, dan sosialisasi mengenai pemahaman serta penerimaan anak disabilitas di lingkungan umum.

Melalui dukungan dan strategi tersebut, anak disabilitas tetap dapat tumbuh dan berkembang meskipun di tengah pandemi. Orang tua dengan anak disabilitas beserta anaknya memerlukan lingkungan positif dan suportif, sehingga perkembangan anak tidak terhambat akibat distraksi eksternal dan dapat memanajemen distraksi internal yang muncul dari dalam dirinya. 

AUTHOR: Athaya, Ferani, Asma

Daftar Pustaka

Hidayati N. 2011. Dukungan sosial bagi keluarga anak berkebutuhan khusus. Insan. 13(01):12–20.

Pratiwi CN, Wahyudi A. 2019. Diskriminasi siswa disabilitas di Sekolah Inklusi Sidosermo. Paradigma. 7(2):1–4.

Rahayu ATD, Ni’matuzzahroh, Amalia S. 2019. Religiusitas dan stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. 7(2): 252-269

Riadin A, Usop DS. 2017. Karakteristik anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar negeri (inklusi) di Kota Palangka Raya. 17(1):22–27.

Suhendra A. 2017. Strategi Pemerintah Kota Banda Aceh dan Kota Surakarta dalam Mewujudkan Kota Ramah Disabilitas. Matra Pembaruan. 1(3):131–142. doi:10.21787/mp.1.3.2017.131-142.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun