Laut Cina Selatan, wilayah maritim yang kaya sumber daya alam dan jalur strategi perdagangan, telah menjadi arena berkembangnya wilayah antar negara-negara di Asia Tenggara, terutama Tiongkok. Klaim "Sembilan Garis Putus-Putus" China yang luas dan bertentangan dengan hukum internasional, memicu ketegangan dan potensi konflik. Bagi Indonesia, perjuangan ini bukan hanya masalah geopolitik yang jauh, namun juga memiliki dampak langsung terhadap kedaulatan dan kepentingan nasional.
Ancaman Nyata bagi Kedaulatan Indonesia
Konflik di Laut China Selatan telah menjadi salah satu sumber ketegangan geopolitik utama di kawasan Asia Pasifik dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun Indonesia tidak memiliki klaim teritorial di kawasan tersebut, keamanan maritim dan keamanan Indonesia terancam oleh eskalasi konflik ini. Secara geografis, Indonesia memiliki wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, terutama di sekitar Kepulauan Natuna. Konflik di Laut Cina Selatan dapat memicu tindakan militer atau insiden maritim yang mengancam kelangsungan Indonesia di wilayah perairan tersebut. Seperti yang terjadi pada tahun 2016, ketika kapal nelayan Indonesia ditangkap oleh pihak berwenang Tiongkok di perairan yang diklaim sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di dekat Kepulauan Natuna (Situmorang, 2016). Kejadian semacam ini dapat memicu respons Indonesia untuk menjaga kelestariannya, yang berpotensi memperburuk situasi regional.
Selain itu, konflik di Laut China Selatan dapat mengganggu keamanan jalur laut Indonesia yang penting bagi perdagangan internasional dan pasokan energi. Sekitar 40% dari total perdagangan dunia melewati Selat Malaka, yang bertabrakan dengan Laut China Selatan (Aris, 2019). Gangguan terhadap jalur ini dapat berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia dan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Eskalasi konflik di Laut Cina Selatan juga dapat memicu persaingan kekuatan besar di kawasan Asia Pasifik, yang dapat mengancam stabilitas regional dan meningkatkan risiko konflik terbuka (Thayer, 2018). Hal ini dapat mempengaruhi upaya Indonesia untuk menjaga kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, serta menjaga keamanan wilayah maritimnya. Keterlibatan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok dalam konflik ini dapat menciptakan situasi yang tidak menguntungkan bagi Indonesia, yang ingin menjaga netralitas dan stabilitas regional.
Urgensi Diplomasi dan Penguatan Maritim
Untuk menghadapi ancaman ini, Indonesia harus memperkuat kemampuan maritimnya, termasuk pengembangan armada angkatan laut dan penegakan hukum di wilayah perairan. Indonesia juga harus meningkatkan kerja sama dengan negara-negara tetangganya dalam menyatukan dan menjaga keamanan di wilayah perairan yang strategis (Laksmana, 2017). Selain itu, diplomasi yang kuat dan keterlibatan dalam upaya penyelesaian konflik secara damai sangat penting untuk menjaga stabilitas regional dan melindungi kepentingan nasional Indonesia (Amri, 2019). Diplomasi dan penguatan maritim menjadi dua kunci utama:
- Diplomasi: Indonesia perlu aktif dalam diplomasi maritim, baik di tingkat regional maupun internasional, untuk menegaskan pelestariannya dan mendorong penyelesaian perdamaian secara damai. Upaya ini dapat dilakukan melalui berbagai forum, seperti Forum Regional ASEAN (ARF),KTT Asia Timur (EAS), dan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA).
- Penguatan Maritim: Memperkuat kemampuan maritim Indonesia, seperti armada laut, patroli maritim, dan penegakan hukum di laut, menjadi kunci untuk menjaga kedaulatan wilayah maritim.Penguatan ini dapat dilakukan melalui modernisasi alutsista, peningkatan pelatihan personel maritim, dan pengembangan infrastruktur maritim.
Namun, upaya Indonesia dalam menangani ancaman ini tidak terlepas dari tantangan. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan sumber daya maritim Indonesia, baik dalam hal armada angkatan laut maupun infrastruktur keamanan maritim. Selain itu, Indonesia juga harus berhati-hati dalam melakukan diplomasi terkait konflik ini, agar tidak dianggap memihak salah satu pihak yang berkonflik (Laksmana, 2017).
Meskipun Indonesia tidak memiliki klaim teritorial di Laut Cina Selatan, konflik di kawasan tersebut memiliki dampak langsung terhadap pelestarian dan keamanan maritim Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus tetap waspada dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan nasionalnya, baik melalui penguatan kemampuan maritim maupun diplomasi yang konstruktif dalam menangani konflik ini (Amri, 2019; Laksmana, 2017).
Pentingnya Kesadaran Maritim dan Kolaborasi
Selain diplomasi dan penguatan maritim, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya laut dan pelestarian maritim juga menjadi langkah penting. Kesadaran ini dapat ditumbuhkan melalui pendidikan maritim, kampanye publik, dan pelibatan masyarakat dalam kegiatan maritim (Sulistyani, 2022).
Kolaborasi dengan negara-negara ASEAN dan negara lain di kawasan juga penting untuk membangun kekuatan maritim bersama dan menjaga stabilitas regional. Kerjasama ini dapat dilakukan melalui berbagai platform, seperti patroli maritim bersama, latihan militer gabungan, dan pertukaran informasi maritim.
Kesimpulan
Sengketa Laut China Selatan merupakan tantangan besar bagi kedaulatan dan kepentingan nasional Indonesia. Dengan mengoptimalkan kekuatan, baik melalui diplomasi, pemaksaan maritim, peningkatan kesadaran maritim, dan kolaborasi regional, Indonesia mampu menangani berbagai ancaman dan menjaga keamanannya di Laut Cina Selatan. Sengketa ini juga menjadi pengingat bagi Indonesia untuk terus memperkuat identitas maritimnya dan menjadikan laut sebagai sumber kekuatan dan kemakmuran bangsa Indonesia
Daftar Pustaka:
Amri, A. (2019). Sengketa Indonesia dan Laut Cina Selatan: Menjaga Netralitas dan Mendorong Diplomasi Kolektif. Kebijakan Asia, 26(2), 94-117.
Aris, A. (2019). Sengketa Laut Cina Selatan dan Dampaknya terhadap Perekonomian Asia Tenggara. Perspektif ISEAS, 2019(26).
Laksmana, EA (2017). Ketidakjelasan Pragmatis: Cara Indonesia Menangani Sengketa Laut Cina Selatan. Asia Tenggara Kontemporer, 39(1), 87-116.
Situmorang, M. (2016). Perspektif Indonesia Terhadap Sengketa Laut Cina Selatan. Kebijakan Asia, 22(1), 37-42.
Thayer, CA (2018). Sekuritisasi di Laut Cina Selatan: Alasan Lainnya. Dalam Vuving, AL (Ed.), Laut Cina Selatan: Menilai Kembali Keamanan Regional (hlm. 49-73). Taylor & Fransiskus.
Sulistyani, Ari. (2022). Jokowi: Indonesia Tidak Akan Terlibat di Sengketa Laut China Selatan. Jakarta Post: https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/2149
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H