Mohon tunggu...
Reza Athabi Zayeed
Reza Athabi Zayeed Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lulusan Program Studi Manajemen SDM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Seorang yang memiliki fokus peminatan pada ranah keilmuan Pengembangan SDM, Organisasi, Psikologi, dan Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kampanye Sudah Dimulai! Hati-Hati, Jenis Sesat Pikir yang Sering Dilontarkan Politisi!

9 September 2024   09:20 Diperbarui: 9 September 2024   09:52 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan dimulainya masa kampanye calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia tahun 2024. Masa kampanye dimulai dari hari Selasa, 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Partai politik yang tergabung dalam koalisi turut menyambut antusias pengumuman tersebut. Segala macam bentuk usaha dilakukan untuk memenangkan masing-masing pasangan calon yang diusungnya. Mulai dari kunjungan ke berbagai wilayah di Indonesia, mendatangi acara-acara hiburan, hingga hadir dalam forum diskusi gagasan visi misi Indonesia kedepan.  

Tak hanya para capres dan cawapres saja yang melakukan safari kampanyenya. Tetapi juga para calon legislatif dari masing-masing partai yang didaftarkan, juga turut meramaikan masa kampanye ini dengan melakukan beberapa kegiatan seperti blusukan, pengajian, dan agenda-agenda masyarakat lainnya.

Kampanye memang salah satu cara yang sering digunakan politisi untuk merebut hati masyarakat agar mendapatkan suara. Dengan kampanye, visi, misi, serta program-program, hingga janji politik dapat disampaikan dan didengar langsung oleh rakyat. Tentu kemampuan public speaking para politisi menjadi krusial disini. Mulai dari muatan gagasannya sampai dengan bagaimana dia membawakan muatan tersebut.

Biasanya politisi yang pandai dalam meraih simpati adalah politisi yang bisa menyentuh sisi emosional para pendukungnya karena ranah emosional adalah ranah yang paling rentan dan sensitif untuk dipengaruhi, termasuk dalam memengaruhi keputusan untuk menentukan pilihan calon kandidat. Tetapi sebagai pemilih yang cerdik dan bijak, akankah kita mau begitu saja terpengaruh oleh omongan para politisi yang hanya menyentuh sisi emosional kita ? akankah kita mudah terpengaruh oleh ucapan atau kata-kata yang sebenarnya itu tidak logis, tetapi karena terlihat memukau dan menyentuh sisi emosional, maka kita jadi menjatuhkan pilihan pada politisi tersebut ?

Agar kita tetap objektif dalam menentukan pilihan, maka daya nalar dan kekritisan kita sebagai masyarakat harus dikedepankan untuk memahami dan menerima setiap informasi yang disampaikan. Berkenaan dengan penalaran, salah satu hal yang perlu kita pahami adalah ragam-ragam kesalahan berfikir. Ragam kesalahan berfikir ini sering digunakan oleh para politisi dengan tujuan untuk meraih suara masyarakat. Entah dengan retorika yang memukau, janji-janji manis dan  kata-kata yang mengandung muatan emosional.  

Berikut macam-macam bias berpikir atau logical fallacy yang diambil dari buku "ihwal sesat pikir dan cacat logika" karya Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag. Kesalahan berfikir yang sering dilontarkan seperti :

Logika "Engkau seperti aku"

Bias berfikir ini sering terjadi ketika para politisi hendak mencoba memposisikan dirinya sama dengan posisi masyarakat. Biasanya yang dituju oleh para politisi adalah sisi emosional untuk mencoba meraih hati dan simpati. Narasi yang umum sering kita dengar adalah seperti : "kami adalah kamu, kalau kalian susah kami juga susah, kalau kalian senang kami ikut senang. Semua program yang kami tawarkan adalah untukmu semua, untuk kepentinganmu. Karena kami suka, kami peduli, kami perhatian kepadamu. Satu suaramu sangat berharga untuk kebahagiaan kita bersama. Maka jangan lupa pilihlah kami". Sebagai pemilih yang cerdas, kita harus bijak menanggapi narasi-narasi seperti ini dengan menilai apa yang dibawanya, apa muatannya dan apa gagasannya, bukan pada bagaimana dia membawakannya.

Framing 

Dibanyak perdebatan yang terjadi disosial media, biasanya salah satu penyebabnya adalah miss informasi atau pemahaman yang disebabkan oleh suatu informasi atau fakta yang telah berubah maknanya. Perubahan tersebut biasanya dilakukan oleh pihak tertentu untuk berbagai kepentingan. Framing adalah suatu teknik psikologi untuk memunculkan kesan atas suatu informasi ataupun fakta menjadi berbeda dari yang sebenarnya. Para politisipun sering menggunakan teknik ini dengan seolah-oleh membuat kesan dan citra positif pada dirinya melalui berbagai macam cara seperti melalui branding lewat media sosial, media online dll. Framing juga sering terdapat dalam buku biografi atau otobiografi seseorang. Seseorang yang hidupnya biasa-biasa, tapi saat karirnya menanjak, jabatannya tinggi, kemudian meminta perjalanan hidupnya ditulis kepada seorang pengarang, lalu lahirlah sebuah buku biografi tentang orang hebat itu.

False dilemma 

False dilemma adalah kesalahan berpikir yang terjadi ketika seseorang hanya menawarkan dua buah pilihan, padahal sebenarnya masih banyak pilihan lainnya. Kesalahan berfikir ini juga sering disebut sebagai kesalahan berfikir hitam-putih. Misalkan dalam satu kampanye dengan para pendukung, sang politisi menyeru dengan mengeluarkan kata-kata "Merdeka atau Mati" yang tujuannya untuk membangkitkan semangat para pendukungnya. Padahal jika kita cermati secara seksama, ada banyak pilihan lain yang dapat dipilih selain hanya merdeka atau mati. Tidak bisakah kita merdeka tanpa harus mati? Atau mungkin ada opsi yang lain.

Slippery Slope

Kesalahan jenis berpikir semacam ini terjadi ketika berbagai hal, peristiwa, atau kejadian saling dihubungkan satu persatu tanpa dilandasi proses pengamatan yang akurat dan lebih banyak didasarkan pada asumsi-asumsi semata. Logika yang dipakai dalam jenis kesalahan berpikir ini sering menggunakan urutan jika-maka yang dihubungkan secara tidak koheren. Sebagai contoh dalam suatu perdebatan di Parlemen, ada salah satu dewan yang menyeru tidak menyetujui undang-undang pembatasan penggunaan senjata. Dewan tersebut berujar " kalau kita meloloskan undang-undang tersebut, maka konsekuensinya kita harus membuat undang-undang tentang pembatasan yang lain, dan jika itu terjadi, pada akhirnya negara kita seperti negara komunis". Dalam menyikapi kekeliruan berfikir ini, penting bagi kita untuk mengetahui hubungan antar suatu peristiwa atau hal yang dikaitkan terlebih dahulu lalu kemudian tunjukkan bahwasannya suatu hal yang saling berhubungan tersebut, tidak selalu memiliki konsekuensi yang saklek. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi.

Prejudicial Language

Proses kesalahan berpikir ini terjadi ketika seseorang melontarkan suatu pernyataan yang mengandung unsur emosi didalamnya untuk membuat seseorang percaya dengan kebenaran suatu pernyataan. Narasi yang sering dilontarkan cenderung memiliki kesan memaksa seseorang untuk dapat menyetujuinya. Salah satu contoh yang dapat menjelaskan jenis kesalahan berfikir ini adalah ketika seorang politisi berkampanye dengan memiliki keyakinan kuat akan kebenaran partainya yang bersih, jauh dari praktek politik kotor, dan idealis. Pernyataan yang pada umumnya sering dilontarkan adalah "orang yang pintar dan berhati jernih pasti memilih partai A". Sebagai warga yang bijak dalam menyikapi narasi seperti itu, pertama-tama harus bisa mengenali istilah  yang mengandung prasangka atau emosi dan tunjukkan bahwa menolak kesimpulan dari pernyataan itu tidak membuat seseorang menjadi seperti apa yang dikatakan dalam pernyataan tersebut.

Itulah beberapa jenis kesalahan berpikir dari sudut pandang penulis. Sebenarnya masih banyak jenis-jenis kesalahan berfikir lainnya yang belum tersampaikan,  tetapi yang disebutkan diatas adalah yang dari sudut pandang penulis sering digunakan oleh para politisi untuk meraih empati dan suara masyarakat. Sebagai masyarakat yang kritis dan logis, keputusan menentukan pilihan kandidat bukan hanya berangkat dari bagaimana ketika dia berbicara didepan publik, lancar tidaknya saat ia menyampaikan gagasan atau bagus tidaknya retorikanya, tetapi juga dilihat dari apa yang disampaikannya, apa muatannya, visi-misinya, gagasannya serta program-programnya hingga keterkaitan secara logis dari muatan, visi-misi, gagasan serta program yang akan dijalankan tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun