PPN Naik 12%, Negara Untung Rakyat Buntung?
Berita tentang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai menjadi trending topik dan menuai beragam reaksi dari masyarakat. Langkah pemerintah ini dilakukan dengan alasan untuk mengurangi defisit APBN. Dengan meningkatnya tarif PPN menjadi 12% tentu akan meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dimana pajak merupakan penyumbang penerimaan paling besar dalam APBN, yang akhirnya dapat digunakan untuk mengurangi defisit anggaran dan memberikan kepastian mengenai kebijakan fiskal pemerintah dimasa yang akan datang. Namun, di sisi lain, banyak pihak khawatir bahwa kebijakan ini justru akan memberatkan masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah yang sudah tertekan oleh kenaikan harga barang kebutuhan pokok. Apakah kenaikan PPN benar-benar menguntungkan negara tanpa menciptakan dampak negatif bagi rakyat? Artikel ini akan mengulas lebih dalam implikasi kebijakan tersebut dari berbagai sudut pandang.
Pengertian, Dasar Hukum dan Peraturan tentang Kenaikan PPN
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan terhadap transaksi jual beli baik barang ataupun jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi maupun badan usaha yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN adalah salah satu jenis pajak yang paling umum dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat melakukan transaksi jual-beli. PPN merupakan pajak yang ditanggung oleh konsumen. Namun, kewajiban perpajakan mulai dari menghitung, menyetor, dan melapor dilakukan oleh penjual yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Kenaikan PPN menjadi 12% merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang disahkan pada tahun 2021. Dalam Pasal 7 UU HPP, disebutkan bahwa tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% akan dinaikkan secara bertahap, yakni 11% mulai 1 April 2022, dan 12% paling lambat pada tahun 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan yang bertujuan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan penerimaan negara.
Selain itu, pelaksanaan kenaikan PPN juga diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2022 yang memberikan pedoman teknis pelaksanaan pengenaan tarif PPN pada berbagai sektor ekonomi. Regulasi ini menjadi dasar hukum bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk memastikan kebijakan berjalan sesuai rencana.
Barang dan Jasa yang Terkena PPN 12%
Dalam paparannya, Sri Mulyani menyebutkan terdapat empat kelompok barang dan jasa yang akan dikenakan PPN 12%, yaitu:
- PPN atas bahan makanan premium, seperti beras premium, buah-buahan premium, daging premium (daging wagyu dan kobe), ikan mahal (salmon premium, tuna premium), udang dan crustacea premium (king crab);
- PPN atas jasa pendidikan premium (misalnya sekolah internasional dengan bayaran mahal);
- PPN atas jasa pelayanan kesehatan medis premium (misalnya pelayanan di rumah sakit dengan kelas VIP); dan
- PPN untuk listrik pelanggan rumah tangga dengan daya 3500--6600VA.
Dampak Kenaikan PPN terhadap Masyarakat dan Ekonomi
Kenaikan PPN menjadi 12% diproyeksikan mampu menambah penerimaan negara secara signifikan. Pemerintah beralasan, kebijakan ini merupakan upaya untuk memperkuat fiskal dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, PPN menyumbang lebih dari 40% dari total penerimaan pajak, sehingga penyesuaian tarif dianggap penting untuk mendukung program pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Namun, bagi masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah, dampaknya bisa terasa lebih berat.
Harga barang dan jasa yang dikenakan PPN diperkirakan akan meningkat, sehingga daya beli masyarakat dapat terpengaruh. Kenaikan ini juga dikhawatirkan memicu inflasi, terutama pada sektor kebutuhan pokok yang menjadi konsumsi utama rakyat. Sementara itu, pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) menghadapi dilema antara menaikkan harga jual atau menanggung tambahan beban PPN demi menjaga daya saing. Bagi mereka, kebijakan ini bisa menjadi tekanan tambahan di tengah upaya pemulihan pasca-pandemi.
Selain itu, ada pertanyaan besar tentang efektivitas pengelolaan dana hasil kenaikan PPN. Sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk memastikan bahwa peningkatan penerimaan ini benar-benar dialokasikan secara transparan dan tepat sasaran. Tanpa pengawasan yang memadai, kekhawatiran bahwa rakyat justru menanggung beban sementara manfaatnya tidak dirasakan secara langsung akan semakin menguat.
Pembandingan dengan Negara Lain
Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa kenaikan PPN tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga diterapkan di berbagai negara lain sebagai langkah adaptasi terhadap perubahan kebutuhan ekonomi global. Tarif PPN Indonesia sebelumnya sebesar 10% dianggap relatif rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Vietnam (10% hingga 12%) dan Filipina (12%). Dengan demikian, kenaikan ini diklaim sebagai upaya untuk menjaga daya saing fiskal sekaligus menciptakan ruang fiskal yang lebih luas bagi belanja negara.
Namun, kebijakan ini juga mengundang kritik dari para ekonom dan pengamat kebijakan publik. Mereka menilai bahwa kenaikan PPN seharusnya diimbangi dengan kebijakan subsidi yang lebih kuat untuk melindungi kelompok rentan. Selain itu, pemerintah perlu memastikan adanya pengawasan yang ketat terhadap distribusi barang dan jasa, sehingga tidak terjadi praktik spekulasi harga yang semakin membebani masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H