Jika sebelum amandemen ke-4 MPR merupakan representasi kakuasaan dan kedaulatan, pasca amandemen Undang-Undang dasar tugas MPR hanya praktis sebatas melantik Presiden dan Wakil Presiden saja. Itu artinya struktur kekuasaan negara selama yang ada saat ini, menempatkan MPR ibarat hanya sebatas macan ompong.Â
Sesungguhnya jika dicermati dengan seksama, manakala kedaulatan rakyat berhenti pada Presiden dan DPR maka tujuan negara tentang kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD 1945 serta dan sila ke-5 Pancasila akan mustahil dapat terwujud. Tidak sampai disitu saja, masih banyak lagi Pasal dalam UUD 1945 yang pada akhirnya berdampak pada munculnya peraturan perundang-undangan yang menyengsarakan rakyat.
Hal mendasar adalah, apakah seorang Pemimpin bangsa ini memiliki keberanian melakukan sebuah dekrit kembali ke UUD 1945? atau jalan ceritanya diubah dengan amandemen kelima agar kita tidak terjebak dalam krisis konstitusi yang berkepanjangan. Jika memang pada waktunya konstitusi di amandemen kembali, perlunya kiranya mengedepankan proses dialog sosial.Â
Konstitusi tidak selayaknya hanya diposisikan sekedar dokumen mati yang tidak dapat berkembang namun konstitusi harus di posisikan sebagai bagian dari kehidupan bangsa. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengangkat serta mereaktualisasikan unsur-unsur peradaban bangsa Indonesia yang dapat dijadikan sebagai landasan dari sebuah sistem yang dianut dalam konstitusi agar ia hidup dalam keseluruhan kehidupan seluruh lapisan masyarakat (the living constitution).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H