Mohon tunggu...
Athari Farhani
Athari Farhani Mohon Tunggu... Konsultan - A Learner

Ambisi Tidak Pernah Mengenal Kata Akhir https://www.instagram.com/atfarhani/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengembalikan Bangsa Indonesia yang Humanistik

31 Mei 2019   18:16 Diperbarui: 31 Mei 2019   19:53 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini semula berjudul "Mengembalikan Manusia yang Humanistik" yang pernah saya tulis di blog pribadi sekitar awal Tahun 2018 lalu, namun saya mencoba menuliskanya kembali dengan melihat berbagai permasalahan serta kondisi bangsa yang saat ini semakin kehilangan sisi humanisnya. Itupun diperlihatkan oleh para penguasa negeri ini yang seharusnya memberikan politik harapan namun justru kerapkali memberikan narasi politik ketakutan, kecemasan serta kemarahan.

Sekitar tahun 2011 saya pernah menonton sebuah film yang berjudul Battle of the Pasific. Film ini bergenre perang dengan latar belakang perang dunia II antara pihak Amerika dan Jepang, sehingga sarat dengan penggalan sejarah masa itu. Film itu juga menggambarkan bagaimana manusia-manusia tak berdosa ikut menjadi korban dan Saya bisa membayangkan bagaimana kondisi masyarakat yang ada saat itu, pastinya berada pada tekanan dan kondisi yang menakutkan karena berada ditengah konflik peperangan. Namun waktu itu sudah berlalu, memasuki zona waktu yang berbeda dimana tahun 1948 menjadi angin segar bagi seluruh umat manusia di dunia, karena lahirnya Universal Declaration of Human Right atau deklarasi universal hak asasi manusia yang dicetuskan oleh PBB saat itu. Lahirnya DUHAM saat itu merupakan reaksi terhadap banyaknya perbuatan melanggar hak asasi manusia yang mendehumanisasi manusia khususnya dalam perang dunia pertama dan kedua.

Saya fikir semua sudah berakhir. Namun tidak, dengan kenyataan bahwa hari ini manusia banyak kehilangan sisi kemanusiaanya. Bahkan di negara yang demokratis sekalipun seperti Indonesia. Meninggalnya ratusan petugas KPPS dalam pelaksanaan pemilu serentak 2019 lalu namun Negara seperti diam membisu dan tak bergeming. Negara yang seharusnya hadir memberikan kenyamanan dan perlindungan namun justru bertindak lebih represif lewat aparat negara. Aparat negara dijadikan sebagai pengontrol secara ketat segala bentuk aktifitas masyarakat, jika aktifitas tersebut terlalu kritis dan berpeluang menjadi oposisi, maka akan cepat ditindak secara tegas. Penggunaan aparat negara sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, dalam hal ini penguasa mengganti fungsi alat negara sebagai alat kekuasaan untuk menghalau serta membungkam gerakan oposisi. Terbukti dengan adanya aksi 21-22 Mei 2019 lalu, bagaimana mencerminkan sebuah pemerintahan yang bersifat otoriterianisme. Seperti yang dimuat dalam tesis Althusser, bentuk aparat negara oleh negara otoriter anti demokrasi digunakan sebagai alat bukan lagi difungsikan sebagai gerak roda kebijakan pemerintah yang memihak dan berorientasi kepada kesejahteraan rakyat. Aparat tidak lagi difungsikan sebagai perangkat negara yang diperintahkan oleh The Ruling Power untuk menggawangi kebijakan yang mencerdaskan rakyat melainkan digunakan untuk melindungi kekuasaan yang faktanya segala bentuk kebijakanya menyengsarakan rakyat serta membodohi rakyat. Padahal, Habermas (dalam Stephen T. Leonard-critical theory in political practice,t.th.), kehendak politik yang memihak public hanya bisa diratifikasi ketika aktor politiknya memiliki kesadaran untuk mencapai tujuan kesejahteraan publik.

Tidaklah heran kini yang terjadi pada bangsa ini  satu sama lain saling menyerang, menghujat, mencaci, bahkan membunuh dengan bengis. Bahkan pemerintah yang berkuasa mempraktikan represi dan ketidakadilan terhadap rakyat. Ada yang secara agama terdiskriminasi dari ruang publik karena tidak menguntungkan secara politik atau bahkan ada juga yang secara ekonomi dimarjinalisasi karena tidak memiliki daya untuk melawan.  Cita-cita perjuangan yang selama ini telah mengalir kemudian justru mengantarkan Indonesia kepada kondisi sosial yang begitu menyakitkan. Disintegrasi bangsa dan rasa kemanusiaan sudah hampir menghilang dari bangsa yang dikenal sangat ramah ini.

Bukankah manusia saat ini sudah berbekal pendidikan yang baik? Yang seharusnya menjadikanya lebih santun, lembut dan lebih manusiawi. Atau apakah ini dampak dari perkembangan dunia yang semakin canggih dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologinya yang menjadikan manusia menjadi makhluk individual, mengedepankan egosentris dan melupakan nilai-nilai humanistik itu sendiri. Pada tahun 1980, Toffler dalam bukunya yang berjudul The Third Wave menggambarkan perubahan dunia ke dalam 3 gelombang, yang pertama atau The First Wave dikenal sebagai Revolusi Hijau, kedua atau The Second Wave dimulainya peradaban industri, dan yang ketiga atau The Third Wave dimulainya kemajuan teknologi informasi yang juga disebut dengan Revolusi Informasi. Gambaran tersebut diperkuat dengan pernyataan Jacob yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat besar dewasa ini menimbulkan persoalan-persoalan yang ternyata berdampak sebagai anti manusia atau mengganggu keseimbangan antara individu, masyarakat serta lingkunganya.

Dalam perjalanannya, pendidikan dan ilmu pengetahuan serta teknologi memang sudah tidak dapat dispisahkan dan dilepaskan begitu saja dari kemajuan jaman yang semakin modern saat ini. Bahkan para pemimpin dunia pada masa lampu dalam memandang dunia masa depan dengan sebuah pesan "Knowledge Is Power" dengan sains dan teknologi. Bahkan negeri Pamansam menempatkan pendidikan, sains, dan teknologi sebagai ujung tombak bagi kecemerlangan bangsanya. Namun pesatnya kemajuan teknologi informasi serta ilmu pengetahuan saat ini tidak hanya memberikan dampak positif bagi seluruh umat di muka bumi ini, melainkan juga memiliki sisi negatif yang menyebkan manusia menjadi makhluk individualis serta selalu ingin bersaing satu sama lain khususnya dalam kemampuan teknologi. Bagi negara-negara maju teknologi informasi dan sains dapat menjadi penopang kemajuan bangsanya, namun bagi negara-negara berkembang hanya menjadi konsumen dan penonton bahkan tak terkecuali menjadi korban kebengisan negara-negara super power. Kemajuan Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tidak hanya sekedar mempermudah urusan manusia melainkan juga perlu digunakan secara bijaksana dengan manusia sebagai subjek yang perlu memiliki sisi humanistik.

Menghadapi tantangan di era modern saat ini, manusia memang seharusnya menyadari pentingnya menjaga nilai-nilai humanistik dalam dirinya, terlebih dengan kesadaran bahwa manusia diciptakan dimuka bumi ini sebagai khalifah dan menjaga perdamaian dimuka bumi. Pada hakikatnya manusia merupakan kesatuan jiwa dan raga, sehingga manusia akan dikatakan manusia bila kedua unsur tersebut sama-sama ada. karena jiwa dan raga merupakan kesatuan pembentuk makhluk bernama manusia.(Baharudin dan Makin,2007). Humanistik merupakan aliran dalam ilmu psikologi yang muncul pada tahun 1940-an sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa serta behavioristik. Dimana humanistik lebih menekankan pada perasaan individu tentang self dan melihat sifat individu secara alamai (positif). Psikologi humanistik memberikan sumbanganya bagi pendidikan alternatif yang dikenal dengan pendidikan humanistik. Pendidikan ini berusaha mengembangkan individu secara keseluruhan melalui pembelajaran nyata. prinsip-prinsip belajar humanistic menurut Carl Roger diantaranya : 1) Hasrat untuk belajar. 2)belajar yang berarti. 3) Belajar tanpa ancaman. 4) Belajar atas inisiatif sendiri. 5) Belajar dan perubahan.

Dalam konsep kenegaraan dimana Ruang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, serta ruang lain, semuanya dikendalikan oleh hegemoni negara. Sehingga perlu adanya sebuah counter-hegemony terhadap kekuasaan negara dimana dengan adanya kesadaran yang dimanifestasikan secara kolektif untuk proses humanisasi. Tidak hanya itu, namun juga perlu ada upaya mengembalikan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selain sebagai falsafah bangsa Pancasila juga sebagai  the way of life yang meniliki nilai-nilai sosial dan kemanusian.  

Sejalan dengan itu, manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang amat sangat mulia yang memiliki keunikan dan keistimewaan, sebagaimana Firman Allah dalam surat At-tin : 4 yang artinya " sesungguhnya telah kami ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya". Sehingga sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan, manusia harus mampu mengembangkan jasmani, mensucikan rohani, serta menumbuhkan akal untuk melaksanakn ibadah kepada sang pencipta sekaligus melaksanakan fungsinya sebagai khalifah fil ard, dalam menjalankan kewajiban dan tanggungjawab sebagai makhluk sosial. Semoga manusia semakin menyadari akan tujuan penciptaanya di muka bumi dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki menjadikanya semakin bijaksana dan lebih manusiawi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun