Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Si Miskin "Harus" Sekolah

14 November 2011   05:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:42 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_143478" align="alignleft" width="300" caption="alfasaputra.multiply.com"][/caption] Oleh : Atep Afia Hidayat - Kemiskinan menjadi faktor pembatas yang nyata bagi sebagian anggota masyarakat untuk mengakses pendidikan. Padahal sudah jelas tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator bagi indek pembangunan manusia. Kalau puluhan juta masyarakat masih dijebak kemiskinan, dengan sendirinya berpengaruh langsung terhadap kualitas bangsa secara keseluruhan. Buku "Orang Miskin Dilarang Sekolah" yang ditulis oleh Eko Prasetyo dan diterbitkan oleh Insist Yogyakarta, secara gamblang menyampaikan kritik cerdas mengenai fenomena orang miskin dan hasratnya untuk bersekolah. Buku setebal 256 halaman tersebut terbagi dalam lima bagian. Bagian pertama diberi topik "Yang Pintar, Yak Kaya", mengungkap : Sekolah Hanya Bikin Miskin; Kapitalisme Pendidikan; Orang Miskin Disiksa Di Negeri Sendiri; Apa yang Diinginkan oleh Buku ini? Ternyata tuntutannya sederhana, pendidikan wajib murah ! Keterlantaran orang miskin dalam pendidikan harus menjadi perhatian serius, dalam hal ini negaralah yang paling bertanggung-jawab. Karena Negara dikelola oleh pemerintah (rejim yang berkuasa), dengan sendirinya pemerintahlah yang mengemban amanat. Dalam hal ini, komponen pemerintah yang mengurusinya ialah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Rapor keberhasilan Kemendikbud sebenarnya bisa dilihat dari tingkat putus sekolah. Jika angka putus sekolah SD, SMP, SMA/SMK atau perguruan tinggi tidak bisa diturunkan sampai tingkat paling rendah, sudah sepantasnya Mendikbud dengan sukarela mengundurkan diri, karena tidak mampu. Bagian kedua diberi topik "Sekolah Di Bawah Kuasa Modal", mengungkap: Kompetisi "Liar" Antar Sekolah; Sekolah jadi Sasaran Para Pengusaha; dan Kesimpulan. Menurut penulis, salah satu penyebab merosotnya kualitas pendidikan ialah adanya kebijakan pemerintah yang keliru, terutama berkaitan dengan liberalisasi pendidikan. Tak dapat dipungkiri pendidikan sudah menjadi bisnis dan industry, dengan dalih kepedulian sosial para pengusaha pun beramai-ramai mendirikan sekolah unggulan, sekolah berstandar internasional, universitas kelas dunia, dan sebagainya, dengan ongkos masuk yang "selangit". Kondisi ini makin meminggirkan orang miskin, ditengah keterhimpitannya dalam kehidupan hanya mampu berobsesi tentang sekolah. Bagian ketiga diberi topik "Sekolah yang mengantar Musibah", menjelaskan: Sekolah Sumber Utama Kekerasan; Guru Teraniaya di Lingkungannya; dan Kesimpulan. Penulis mengungkapkan, bahwa siswa seperti batang korek api yang digenggam erat di tangan pengurus dan guru sekolah. Sedangkan guru dan pengurus juga bukan mahluk yang independen, karena keduanya sangat tergantung pada penguasa di atasnya. Ya, begitulah dunia pendidikan kita, nyaris kurang ada independensi, bahkan sampai ujian siswa pun di atur oleh rejim yang berkuasa. Bagian keempat dengan topik "Sekolah Kemana Lulusannya ?", mengungkapkan: Sekolah Buat Calon Penganggur; Sekolah Luluskan Penjahat. Judul-judul tersebut tampak bombastis, namun realitanya tidak terlalu meleset. Faktanya jumlah pengangguran terdidik makin bertambah banyak, ribuan perguruan tinggi menghasilkan ratusan ribu lulusan, yang terserap dunia kerja atau yang mampu berusaha mandiri hanya sebagian kecil saja. Dengan makin banyaknya koruptor, manipulator, rampoktor sampai copetor, yang ternyataumumnya lulusan sekolah, menjadi timbul pertanyaan, sekolahnya di mana, apa saja yang diperoleh dari sekolah? Menurut penulis, edukasi berasal dari bahasa latin educare, yang artinya "membawa keluar". Sekolah sebenarnya bermula dari sana, membawa anak keluar sehingga bisa menyentuh realitas langsung masyarakat. Disebutkan, bahwa sekolah lebih banyak member jawaban yang definitive ketimbang pertanyaan yang menggairahkan. Bagian kelima dengan topik "Sekolah itu Mustinya Murah", berisikan hanya satu judul tulisan: Jalan Radikal. Ada sepuluh jalan yang diusulkan supaya orang miskin bisa sekolah, di antaranya anggaran pendidikan (APBN) harus benar-benar 20 persen atau lebih; Pemotongan gaji pejabat tinggi untuk dialokasikan bagi dunia pendidikan; Menarik pajak pendidikan melalui perusahaan besar; Berikan sanksi yang tegas dan keras bagi koruptor sector pendidikan; Adanya partisipasi aktif media massa untuk meliput secara tajam dan berani mengenai komitmen sejumlah kalangan untuk pendidikan; dan Adanya keterbukaan atau transparansi lembaga pendidikan. Si miskin butuh sekolah, ternyata sekolah tidak murah. Si miskin terbentur biaya, bahkan untuk masuk sekolah dasar (SD) sekalipun. Dengan demikian kendala utamanya adalah biaya, ongkos, dana atau anggaran. Dibutuhkan puluhan sampai ratusan triliun rupiah untuk membebaskan si miskin dari ongkos sekolah. Kalau memperhatikan kebocoran anggaran Negara yang begitu berjibun, yang setiap hari selalu diekspos media cetak, elektronik dan internet, maka penyebab utama si miskin tidak bisa sekolah adalah faktor kemampuan dan keseriusan pengelola Negara. Kalau pemerintah mumpuni, tegas, jujur dan adil sebenarnya Negara ini akan menjadi makmur, semua orang pun bisa sekolah. (Atep Afia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun