Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Money

Kapasitas SDM Pertanian

2 Juli 2011   01:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Atep Afia Hidayat - Petani adalah aktor-aktor bidang pertanian. Kalau prinsip industri mau diterapkan, petani sebagai sumberdaya manusia (SDM) bidang pertanian harus mampu memahaminya.

Lantas apakah kapasitasnya memadai, bagaimanapun untuk mengintroduksi prinsip-prinsip industri diperlukan kapasitas pengetahuan, kompetensi teknis dan inner force dalam dirinya.

Kualifikasi pendidikan menjadi modal dasar, hal itu agar prinsip-prinsip industri bisa dipahami dengan mudah lantas diaplikasikan dalam bidang pertanian.

Petani sebenarnya memiliki semacam keunggulan komparatif, bagaimanapun usaha dibidang pertanian berisiko tinggi, tak lain karena ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan. Hal-hal seperti banjir, kemarau, serangan hama dan penyakit bisa datang kapan saja, tanpa permisi, tiba-tiba mengganas dan bisa menyebabkan area tanaman menjadi “puso”.

Petani telah memiliki kepiawaian tersendiri dalam menghadapi krisis alam tersebut. Keberanian mengambil risiko akibat keputusan yang diambilnya sudah menjadi karakter petani. Seorang petani menanam padi, tentu saja dalam benaknya terpikirkan, bagaimana kalau secara tiba-tiba muncul serangan tikus atau wereng. Namun risiko itu diambilnya juga, tentu saja dengan bekal upaya proteksi terhadap tanamannya.

Tak heran jika petani di beberapa daerah begitu getolnya menyemprotkan pestisida, hingga melampaui dosis yang ditentukan. Hal itu untuk mengurangi risiko serangan hama, namun sayangnya tidak memperhatikan aspek lingkungan dan dampak dari kontaminasi atau keracunan oleh pestisida.

Petani adalah pengusaha, terlepas dari kelas gurem, menengah atau kakap. Prinsip-prinsip bisnis sebenarnya sudah ditekuninya. Orientasi pada tingkat keuntungan, atau paling tidak kembalinya modal memang sudah dipegangnya.

Persoalannya kesederhanaan dalam menerapkan prinsip bisnis umumnya menyebabkan nilai tambah yang diperolehnya sangat minim. Petani menjadi mangsa tengkulak atau pengijon, hal itu bukan merupakan cerita langka lagi.

Petani berbisnis dengan pola pikirnya yang sederhana dan statis yang terkadang tidak sejalan dengan perkembangan jaman. Hal-hal seperti jam kerja tak sempat terpikirkan oleh sebagian besar petani, bahkan banyak di antaranya yang berangkat dinihari dan pulang senja hari, “berkantor’ di beberapa petak sawah atau ladangnya.

Pertanian adalah jenis usaha yang berisiko tinggi, maka tak heran jika tidak banyak bank yang berani mengucurkan kreditnya. Begitu pula dengan perusahaan asuransi, hingga saat ini belum ada asuransi kerusakan tanaman akibat banjir, kekeringan atau serangan hama.

Baru dalam beberapa dekade terakhir inilah banyak pengusaha yang berani terjun di sektor pertaian. Usaha ini berorientasi bisnis atau agribisnis saat ini sedang trend, hingga sebagian konglomerat menekuni-nya. Puluhan ribu hektar hutan konversi menjelma jadi hamparan tanaman karet, kakao dan kelapa sawit, yang seringkali merusak ekosistem dan budaya masyarakat sekitar hutan.

Namun hal itu memberikan imbas terhadap perkembanga kapasitas SDM di sekitarnya. Wawasan petani karet di Jambi bertambah luas, tatkala tak jauh dari lahannya dibuka perkebunan karet milik PT. Anu dari Entah Berantah Group.

Perkebunan-perkebunan milik para konglomerat menggunakan jasa para profesional, sarjana-sarjana pertanian terpilih lulusan perguruan tinggi terkemuka. Dalam hal ini snagat layak ditumbuh-kembangkan pola kemitraan antara perusahaan swasta besar dengan petani di sekitarnya.

Model yang cukup popelar misalnya PIR-Perkebunan, di mana perusahaan swasta bertindak sebagai inti dan petani sebagai plasma. Dalam pola kerjasama yang demikian acuan memang pada orientasi bisnis dengan keuntungan yang optimal.

Kondisi petani dengan kapasitas SDM-nya perlu memperoleh perhatian khusus, dengan kata lain selain orientasi bisnis sebenarnya di dalamnya perlu terselip orientasi sosial. Dengan sendirinya Coorporate Social Responsibility (CSR) bisa diterapkan.

Para pengusaha atau pemilik perkebunan dan para profesional di lapangan, hendaknya memiliki empati atau kepekaan terhadap situasi dan kondisi sekitarnya.

Idealnya bisa bertindak selaku dinamisator bagi peningkatan kualitas SDM petani, tak lain agar usaha tani yang dilakukannya bisa berkembang baik, hingga masalah kesejangan sosial pun bisa teratasi.

Kapasitas SDM petani perlu mendapat perhatian yang serius, terutama upaya pengembangnnya yang harus dilakukan secara terpadu dan menyeluruh. Dalam sub sektor perkebunan umpamanya, produk petani selama ini kualitasnya cenderung di bawah standar yang ditetapkan. Hal itu tak lain karena aspek teknis yang belum benar-benar dikuasai.

Menghadapi era perdagangan bebas Asean-China (ACFTA) dimana komoditi pertanian harus bersaing secara ketat, semestinya skill petani terus dikembangkan. Kapasitas SDM petani harus benar-benar diperbaiki, diperlukan pola dan sistem pendidikan, pelatihan dan penyuluhan yang komprehenship, bukan lagi sekedar pendekatan proyek atau program asal jalan. (Atep Afia, pengelola PantonaNews.com).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun