Oleh : Atep Afia Hidayat - Ketika terjadi kontak dengan dunia nyata maka bekerjalah nalar kita, terjadilah persepsi dan penafsiran yang menimbulkan makna dan kesan. Persepsi itu sangat relative dan amat subyektif. Perintahkanlah 100 orang untuk membuat penilaian terhadap seseorang, misalnya mengenai perangainya, penampilannya, atau kecantikannya. Niscaya hasil pengamatan tersebut akan memberikan 100 macam jawaban.
Setiap individu membuat penafsiran tentang dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Persepsi sangat dipengaruhi oleh selera dan situasi mentalitas dari si preseptor. Orang yang jiwa dan pikirannya jernih akan menafsirkan sesuatu mendekati keobyektifan. Tetapi dalam keobyektifannya tersebut masih terdapat hal-hal yang bersifat relatif. Karena bagaimanapun jernihnya jiwa seseorang, masih dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya, antara lain pengetahuan, pengalaman dan sosiobilitas. Kemampuan melakukan persepsi pada dasarnya ditentukan oleh kepribadian. Kepribadian disini dapat diasumsikan sebagai kacamata. Jadi setiap orang menafsirkan kehidupan sosial dengan kacamatanya masing-masing, dan kacamata setiap individu sungguh berlainan.
Terdapat alat untuk menyesuaikan kacamata, supaya tidak terjadi perbedaan persepsi yang ekstrim. Alat itu misalnya tradisi atau budaya. Kelompok orang yang sesuku mempunyai kesamaan-kesamaan persepsi untuk hal-hal tertentu, karena bagaimanapun juga kepribadian seseorang tak lain merupakan produk lingkungannya. Lingkungan di sini meliputi budaya dan alam, orang-orang dengan lingkungan dataran rendah dan pengunungan akan memiliki temperamen yang berlainan. Begitu pula dalam hal melakukan persepsi.
Ketika kita bertemu seseorang, maka dengan tanpa dikomando, persepsi kita sudah mendeteksi orang tersebut, meskipun tanpa data yang masuk terlebih dahulu. Data mentah yang masuk hanya diperoleh mealui indra kita, umpamanya melalui mata, dengan demikian penafsirannya pun angat subyektif. Cukup masuk akal bahwa kesan atau pesona yang timbul dari pandangan pertama kebanyakan bohong, antara lain karena data-data penunjang sangat minim, sehingga menghasilkan informasi yang kadang-kadang sepihak, dan tanpa kebenaran. Hal ini lebih lanjut akan menyebabkan kelemahan dalam interaksi sosial.
Makin banyak data dan informasi yang dikuasai seseorang mengenai orang tertentu, maka persepsi yang dilakukan makin mendekati keobyektifan. Tapi seringkali data dan informasi yang beredar hanya isapan jempol belaka, misalnya karena isu atau gosip yang berlebihan.
Cukup mudah untuk mengedarkan data dan informasi, medianya meliputi orang-orang yang senantiasa melakukan pertukaran informasi. Disinilah kunci rahasia orang populer atau beken, ia memiliki sesuatu yang langka, baik berupa keterampilan, penampilan atau kemampuan lainnya. Lantas terdapat media tertentu yang mengeksposnya, maka beredarlah data dan informasi mengenai dirinya. Untuk menjadi orang ternama, harus memiliki sesuatu yang pantas untuk diekspos, begitu pula harus mampu memanfaatkan media-media penyebar informasi, baik itu media cetak, elektronik atau online.
Dalam membuat persepsi terhadap sesuatu atau seseorang, harus didukung oleh data dan infomasi yang akurat dan up to date, jauhkanlah unsur sentimen pribadi, dan subyektifitas harus ditekan. Ternyata kehidupan yang kita arungi selama ini, meliputi sekumpulan persepsi yang bersifat subyektif dan obyektif. Manakah yang lebih dominan ? (Atep Afia, pengelola PantonaNews.com ).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H