Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Money

Kiat Bisnis Aan Ibrahim

5 Juni 2011   23:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:50 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Oleh : Atep Afia Hidayat - Dalam hangar bingar  bisnis mode tanah air, Aan Ibrahim memang belum sejajar dengan Popy Darsono, Prayudi, Iwan Tirta atau Ramli. Semua nama yang menjadi ikon mode di Indonesia tersebut adalah senior dan guru Aan. Sebagaimana pengakuan Aan, yang ditemui penulis, bulan Agustus 2007 yang lalu di Bandar Lampung. Nama Popy Darsono sangat penting dalam karir bidang desainernya. Tahun 1989, ketika Aan mulai menikmati dunia desainer, Popy mengajaknya untuk mengikutifashion show di Hotel Sahid Jakarta. Saat itu, perasaan Aan galau campur minder. Bagaimana tidak, seorang desainer lokal yang mulai merangkak dan belum dikenal, harus langsung terjun di pagelaran tingkat nasional bersama desainer kondang yang menjadi member Asosiasi Perancang Mode Indonesia. Ternyata momen tersebut menjadi titik balik bagi bisnis mode yang digeluti Aan. Sehabis pementasan, Aan diwawancarai wartawan mode ibukota. Ternyata ada ciri khas yang diusung dalam busana rancangan Aan, yaitu penggunaan kain tapis yang khas Lampung. Tidak itu saja, Pasar Sarinah yang merupakan BUMN di Jakarta langsung memberikan order 220 pakaian dengan tiga rancangan, yang harus diselesaikannya selama tiga bulan secara hand made. Tentu saja Aan girang bukan kepalang, maka dicarilah teman-temannya yang sanggup meminjamkan modal. Di sini mental dan aktivitas bisnis Aan kembali mendapat ujian yang berat, dari 220 pakaian jadi yang disetor ke Sarinah yang berlokasi di Jalan Thamrin Jakarta itu, ternyata yang diterima hanya 40 potong. Sisanya dikembalikan dan harus diperbaiki, karena tidak memenuhi standar kualitas. Sejak itu pula Aan menjadi sadar kualitas dan menjadi proses pembelajaran yang sangat berarti. Untuk sementara Aan pun shock, tetapi tidak berlangsung lama. Aan tidak memperbaiki baju yang dikembalikan, tetapi membuatyang baru sesuai dengan standar kualitas yang ditentukan Sarinah. Adapun produk yang dikembalikan ia jual di Lampung, dan habis dalam enam bulan. Orang sini saat itu belum begitu sadar kualitas. Begitu ujar Aan. Sudah memasuki tahun ke18 Aan menerjuni bisnis mode, berbagai fashionshow sudah diikutinya, baik yang diselenggarakan di Lampung, Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia, bahkan sudah mencapai Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong dan Tokyo. Namun Aan belum berhasil menginjakkan kakinya di Paris, sebagai kiblat mode dunia. Kendala utamanya bayar peragawatinya mahal, sekitarRp. 65 juta per orang per pentas, jauh lebih mahal dari tarif peragawati nasional. Faktor lainnya, dukungan pemerintah masih kurang, beda dengan kebijakan pemerintah Jepang, yangbegitu progresif mendukung para desainernya untuk tampil di Paris, sehingga beragam rancangan dari Jepang bisa sejajar dengan karya orang Eropa. Itulah obsesi Aan, menembus Paris. Kilas Balik Aan Ibrahim adalah putera Lampung asli. Desainer yang tidak berpenampilan glamour itu lahir 12 Juni 1955 di Desa Pagar Dewa, Tulang Bawang, Lampung. Aan menyelesaikan pendidikan formal di Lampung dan meraih gelar sarjana dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA), yang sekarang berkembang menjadi Universitas Tulang Bawang, Bandar Lampung. Menyangkut soal pendidikan, Aan mengkritisi kualitas pendidikan tinggi, yang menurutnya masih rendah. Teori yang diajarkan perguruan tinggi sudah ketinggalan dan ketika lulus sarjana tidak siap pakai. Banyak sarjana baru yang melamar ke perusahaan Aan tetapi sebagian besar ditolaknya, karena ketika ditanya apa yang bisa diperbuat,justru malah kebingungan. Padahal pelamar tersebut sudah mematok gaji awal Rp.1,5 juta. Menurut Aan, idealnya para sarjana ketika melamar pekerjaan ke sebuah perusahaan, memberikan pernyataan tertulis sanggup meningkatkan omset, meskipun hanya satu persen. Aan yang sebelumnya berstatus PNS di Rumah Sakit Abdul Muluk, Bandar Lampung tersebut, mengundurkan diri tahun 1982 setelah berkarir sebagai perawat kurang lebih 15 tahun. Saya bisa memprediksi bahwa karir saya mentok, paling tinggi hanya manteri atau kepala Puskesmas. Jangkauannya terbatas, paling hanya mengobati sampai tingkat camat. Bupati jelas tidak terjangkau, karena mereka berobat ke dokter spesialis. Begitu kilah Aan, ketika ditanya mengenai   alasan pengunduran dirinya. Padahal semasa sekolah perawat menggunakan sistem eleminasi, yang prestasinya kurang langsung dropout. Di sekolah itupun menggunakan sistem ikatan dinas. Sepanjang tahun 1982-1989, Aan menjalani kehidupan yang penuh ketidakpastian. Aan mengistilahkannya masuk dalam periode terseok-seok, bahkan mobil kesayangannya pun terjual. Aan mengevaluasi diri, ternyata bakatnya sejak kecil adalah menjadi desainer. Namun penerimaan keluarga dan masyarakat kurang menggemberikan. Menurutnya, saat itu 90 persen masyarakat Lampung masih mengkotak-kotakkan profesi. Masih beruntung, putera sulung pasangan Ismi dan Hodijah yang berprofesi pedagang tersebut, mendapat dukungan penuh sang istri, Rosidah, yang berpikiran moderat. Maka Aan pun resmi menggeluti dunia desainer, dengan modal awal satu mesin jahit. Ketekunan dan obsesinya yang luar biasa, membuat usaha Aan tumbuh dan berkembang. Bahkan sebagian besar dari adiknya yang berjumlah 16 orang, dari tiga ibu, justru memilih profesi serupa. Di kemudian hari terbentuklah CV Aan Ibrahim and Brothers (http://aib-aanibrahim.blogspot.com/) , dengan 14 outlet tersebar di beberapa kota di Indonesia. Tentu  saja usaha pria yang memiliki dua puteri, yaitu Dewi dan Mawar, diwarnai pasang surut, baik karena sebab internal atau eksternal. Namun Aan tetap bertahan karena memang bisnisnya disiapkan tumbuh secara perlahan. Penampilan Aan yang sederhana, cukup dengan kemeja batik, dan galerinya di Tanjung Karang yang sederhana, menunjukkan hal itu. Menurut Aan, banyak desainer yang sempat top lantas menghilang bagaikan ditelan bumi, hal itu karena gaya hidup jor-joran, tidak tahan dipuja-puji masyarakat dan tidak bisa menahan jiwa konsumerisme. Kiat Bisnis Aan Produk Aan Ibrahim memang dikenal mahal, harga baju rancangannya mencapai jutaan rupiah. Secara tegas Aan memang membidik segmen pasar menengah ke atas. Menurut Aan, 20 persen masyarakat memang sudah melek kualitas dan merk, dan itulah sasaran pasar produknya. Aan sebenarnya banyak memiliki anak buah yang sudah mandiri, jumlahnya bisekitar 30 orang. Mereka dulunya bekerja di perusahaan Aan, tetapi mengundurkan diri secara baik-baik dan membuat usaha serupa. Bedanya, kalau harga yang ditawarkan Aan Rp. 1,5 juta, maka mantan anak buahnya itu hanya Rp. 400 ribu untuk produk yang sekelas. Jelas sasaran pasarnya akan berbeda, dan keunggulan bersaing Aan lebih pada brand image. Untuk mewadahi mantan anak buahnya itu, Aan mendirikan koperasi yang secara bisnis sudah berjalan dengan baik, memiliki manajer yang digaji tetap, serta pernah mendapat bantuan pemerintah sebesar Rp. 350 juta. Itulah salah satu prestasi  Aan, selain menumbuhkan usahanya sendiri, ia turut berupaya mengembangkan usaha teman-temannya. Tak heran jika Aan sering mendapat penghargaan sebagai pengusaha teladan, baik di tingkat lokal atau nasional. Aan pun berkiprah dalam berbagai organisasi seperti Asosiasi Perancang Mode Indonesi, Asosiasi Pertekstilan Indonesia dan Kadin. Kiat bisnis Aan sederhana saja, bahkan secara terus terang ia mengatakan, tak ada kiat khusus. Yang jelas obsesinya ingin terus maju. Salah satu strategi yang dijalankannya memperlakukan pelanggan secara spesial, diberikan keramahan dan pelayanan terbaik. Selain itu ia selalu menambah koleksi dan melakukan inovasi. Bagaimanapun desainer itu identik dengan memproduksi gagasan. Seringkali ia mengalami kebuntuan. Misalnya ada show dalam beberapa pekan mendatang, tetapi ide untuk materi pementasan tidak muncul. Kadang-kadang setelah marah-marah, baru ide itu muncul begitu saja, atau kadang-kadang setelah ia mondar-mandir ke sana ke mari, baru ada ide rancangan paling mutakhirnya. Menurut Aan yang memiliki latar belakang sebagai penjahit, menjadi desainer tidak mutlak berawal dari menjahit. Tidak banyak penjahit yang berubah status menjadi desainer, karena tidak punya ide. Seseorang dikatakan disainer harus punya garis rancangan yang tegas, beda dengan yang lain, dan paling tidak harus mempekerjakan minimal 15 orang. Sebagai contoh, perancang busana senior Prayudi, jejaknya banyak diteruskan para asistennya, namun semuanya mengacu pada pakem atau konsep yang ditetapkan Prayudi. Sebagai manajer CV Aan Ibrahim, sebenarnya ia seringkali melakukan kegiatan menjahit, merancang, bahkan promosi sendiri. Jelas sistem manajemennya masih terkesan tradisional. Sampai saat ini CV Aan Ibrahim belum memiliki manajer produksi, keuangan atau pemasaran, semuanya dikendalikan Aan. Dibajak Setiap Hari Sudah ribuan rancangan yang sudah dibuat Aan. Ia mengakui tidak memiliki dokumentasi, bahkan foto-foto rancangannya pun tidak lengkap. Padahal karya Aan Ibrahim menjadi barometer dunia fashion di Lampung. Setiap hari karya-karya Aan yang eklusif dibajak penjahit atau industri konveksi di Lampung, selanjutnya dijual dengan harga miring di toko-toko busana yang ada. Bahkan Aan punyapengalaman menarik, yaitu ketika seorang istri pejabat memesan gaun super spesial yang dirancang dan dibuat secara khusus. Sang istri pejabat protes berat ketika diketahuinya ada ibu-ibu lain yang menggunakan busana serupa tapi beda warna, ia menuduh Aan telah menggandakan rancangan spesialnya. Tentu saja Aan tidak menerima tiuduhan itu, bagaimanapun ia memiliki kredibilitas tinggi. Maka Aan pun mengusutnya, hasilnya menunjukkan bahwa pembajakan karyanya itu dilakukan melalui foto istri pejabat tersebut, yang sedang berpose dengan penganten saat ia menghadiri undangan pernikahan. Dengan gamblang Aan pun memberi penjelasan, menurutnya istri pejabat tersebut seharusnya bangga, karena menjadi seperti Lady Day, yang ketika foto-fotonya muncul di media, maka busana yang dikenakannya langsung menjadi trend dan diproduksi di seluruh dunia. Akhirnya istri pejabat itupun hanya mesem-mesem. Membajak suatu rancangan sangat mudah, tinggal melihat di foto. Namun bagaimanapun merk tetap menjadi jaminan kualitas dan gengsi. Perlahan tapi pasti busana dengan merk Aan Ibrahim, apalagi yang bersifat hand made, saat ini sudah memiliki pangsa pasar tersendiri. Sebagian konsumen Aan sudah memahami mana produk asli dan mana yang bajakan. Ada semacam kepuasan tersendiri dari konsumen terhadap rancangan spesifiknya, sehingga faktor harga menjadi sangat relatif. Pengembangan Usaha Sebagai pengusaha lokal, aktivitas bisnis Aan menghadapi beragam peluang dan tantangan. Selain menekuni bisnis busana, Aan pun sempat terjun di bisnis media, yaitu dengan menerbitkan tabloid busana, hiburan dan keluarga "Pesona". Melalui media tersebut,  Aan berupaya mencetak wartawan yang profesional  da nanti KKN. Tetapi dalam perkembangannya, tabloid tersebut kandas ditengah jalan, terutama karena kelemahan SDM. Padahal modal yang telah dikucurkan Aan tak kurang dari Rp. 600 juta. Menyangkut pembukaan outlet untuk galerinya pun, tahun 1995 Aan juga mengalami kegagalan dengan kerugian yang tidak sedikit. Saat itu, bersama teman-temannya Aan menyewa satu space di Cinere Mall. Ternyata kalkulasi bisnisnya keliru, karena saat itu mall tersebut masih sepi pengunjung. Itulah dunia usaha yang penuh dinamika, dibutuhkan stamina, keuletan dan kesabaran untuk mensiasatinya. Aktivitas bisnis Aan terus bergulir, sedikitnya dua bulan sekali ia melakukan show sebagai ajang promosi. Menurut pengakuannya, sekali show minimal harus dikeluarkan biaya Rp. 200 juta. Bagai Aan, prinsip pengembangan usahanya mengalir saja, tidak ada trik-trik khusus. Ia lebih banyak belajar dari pengalaman dan tanggapan serta kepuasan para konsumennya. Aan memang berobsesi menembus Paris dan mengekspor busana rancangannya. Kendala klasik yang dihadapinya menyangkut tenaga kerja dan quality control, terutama apabila menghadapi order yang cukup besar. Berdasarkan pengalamannya ia pernah diklaim pengusaha di Singapura, karena semua bajunya berbulu, karena memang terbuat dari benang yang mudah terurai. Untuk menghadapi klaim tersebut, maka Aan pun mencari benang khusus, sesuai dengan permintaan konsumen di Singapura. Kegiatan usaha Aan memang memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, bahkan untuk sulaman, secara home industry tersebar sampai ke wilayah Tenggamus dan Lampung Timur. Meskipun untuk para pengrajin tersebut upah yang diberikan masih di bawah UMR, tetapi para pengrajin masih antusias, karena kesehariannya sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga yang memiliki banyak waktu luang. Sulit bagi Aan untuk menaikan upah pekerja tidak tetapnya itu, karena baju sulaman yang dikerjakan selama sebulan oleh tiga orang itu, berharga Rp. 1,6 juta. Kalau upah dinaikkan, maka harga jual bajunya pun harus meningkat, tentu saja menjadi sulit mencari konsumennya. Di tengah iklim usaha yang kurang kondusif dan kebijakan pemerintah yang kurang menentu, Aan terus berkarya, bahkan menurut rencannya ia akan merambah bisnisloundry dan salon, sekaligus mengembangkan galeri pusatnya yang ada di Lampung. Harapan pengusaha yang menurut pengakuannya masih sedang mencari jati diri itu, semoga apresiasi masyarakat terhadap karya-karyanya makin meningkat. (Atep Afia, pengelola PantonaNews.com) Sumber Gambar : http://aib-aanibrahim.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun