Mohon tunggu...
Atep Afia Hidayat
Atep Afia Hidayat Mohon Tunggu... profesional -

Pemerhati sumberdaya manusia dan lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Rio dan KTT Bumi 1992

31 Maret 2011   16:34 Diperbarui: 4 April 2017   17:52 6484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Atep Afia Hidayat - Kota Rio de Janeiro di Brasil mencatat sejarah penting, karena pernah menyelenggarakan KTT Bumi yang dihadiri oleh utusan-utusan dari 165 negara, pada bulan Juni 1992, atau hampir 19 tahun yang lalu. Dari berbagai perundingan dan persidangan, dihasilkan berbagai konvensi menyangkut lingkungan hidup. Sebagian besar negara ikut menandatangani untuk segera diratifikasi di negara masing-masing. Namun ternyata ada juga negara yang terang-terangan menolak salah satu konvensi, misalnya Amerika Serikat dengan tegas menolak penandatanganan konvensi mengenai keanekaragaman hayati (convention on biodiversity). Sikap AS yang sangat disayangkan oleh berbagai pihak hanyalah untuk membela kepentingan ekonominya yang antara lain tergantung pada industri bioteknologi. Dalam perundingan tingkat internasional peranan AS begitu eksis dan dominan, terlebih setelah bubarnya Uni Soviet menjadi sebelas repubik, praktis tak ada lagi negara yang mampu menyaingi dominasi AS. Begitu pula dalam KTT Bumi tersebut, sikap lunak AS sangat diperlukan. Namun ternyata sikap AS jauh dari apa yang diharapkan, tak heran jika citra AS sebagai “pemimpin dunia” langsung melorot. Kenyataannya AS lebih mementingkan persoalan lokal daripada persoalan global. Kepentingan global diabaikan hanya karena kekhawatiran akan merosotnya perkembangan ekonomi lokal. Jika sikap AS mengecewakan negara-negara lainnya, ternyata siikap Jepang tidaklah demikian. Dalam pertemuan tersebut delegasi Jepang mengumumkan akan memberikan bantuan dana sebesar 7,7 miliar dollar AS untuk kepentingan lingkungan dan pembangunan di Negara-negara sedang berkembang. Jepang selama ini merupakan salah satu negara yang “merusak” lingkungan global. Selain produksi emisi karbonnya yang cukup besar, juga merupakan konsumen kayu tropis nomor satu. Memang sudah sewajarnya Jepang berpartisipasi aktif dalam program pemeliharaan lingkungan global. Tahun 1990 tim penasehat urusan hutan tropis yang diketuai oleh mantan Menlu Saburo Okita, berhasil mengajukan proposal Global Green Conservation yang berjangka sepuluh tahun. Proposal tersebut mencangkup tiga jenis aksi yang perlu di tempuh Pemerintah Jepang. Pertama memulihkan kembali kondisi hutan tropis yang terlanjur rusak, Kedua membantu Negara penghasil kayu tropis agar mengusahakan hutan tanpa merusak, Ketiga menjaga agar keragaman spesies pepohonan hutan tropis tidak menyusut. Sikap Negara-negara industri maju lainnya ternyata cukup melegakan, yaitu dengan adanya kesediaan untuk memberikan bantuan sekitar 7 persen dari GDP-nya untuk kegiatan pembangunan dan lingkungan di negara-negara sedang berkembang. Untuk mengendalikan degredasi kualitas lingkungan planet bumi diperlukan adanya kemitraan global (global partnership). Kerusakan lingkungan di negara-negara sedang berkembang memang erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan penduduk yang belum begitu baik. Dengan demikian salah satu langkah untuk memelihara lingkungan ialah dengan memberantas kemiskinan. Selain itu, langkah-langkah seperti perbaikan system ekonomi dan perdagangan internasional, serta menurunkan tingkat konsumsi sumberdaya alam, juga amat menunjang. Kota Rio de Jeneiro yang sempat menghangat karena menjadi focus of interest, kondisinya kembali seperti semula, berbagai pesan dan kesepakatan yang dihasilkan tidak lantas menjadi “dingin” dan “terpendam”. Bagaimanapun KTT bumi perlu diikuti berbagai action, jangan sekedar menjadi arena adu slogan dan hal-hal yang bersifat lips-service. KTT bumi merupakan langkah awal untuk secara bersama-sama mengamankan kondisi planet bumi. Dalam hal ini patut di garis bawahi salah satu bagian pidato Presiden Soeharto dalam sidang pleno KTT bumi tahun 1992, yang menyebutkan bahwa kelangsungan hidup bumi memerlukan upaya global, karena semua negara, tanpa kecuali terancam malapetaka lingkungan. Selanjutnya Presiden Soeharto menyatakan, bahwa negara industri maju tetap bersikeras memaksa syarat-syaratnya, meski kenyataan menunjukkan bahwa pola konsumsi mereka berlipat, lebih boros dan lebih banyak membuang limbah dari pada negara berkembang. Penduduk negara-negara industri maju rata-rata mengkonsumsi sumberdaya alam sekitar 40 kali lipat tingkat konsumsi penduduk negara-negara sedang berkembang. Konsumen terbesar kayu tropis adalah negara-negara industrii maju. Begitu pula yang mengkonsumsi bahan bakar fosil (minyak bumi, gas dan batubara), yaitu sekita 70 persen dari konsumsi dunia. Selama ini negara-negara sedang berkembang hanya dijadikan “kambing hitam” berbagai kerusakan lingkungan. Padahal yang rakus dalam mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan tersebut, tak lain negara-negara maju, dan sudah dilakukannya sejak ratusan tahun yang lalu. Negara-negara industri maju sudah “kenyang” dalam mengkonsumsi sumberdaya alam, sudah selayaknya bisa memikul tanggung jawab yang lebih besar terhadap upaya pemeliharaan dan perbaikan kualitas lingkungan. Negara-negara industri maju memiliki dana, teknologi dan kelembagaan yang cukup memadai. Sidang-sidang dalam KTT bumi yang berlangsung hamper 19 tahun yang lalu tersebut, diwarnai perdebatan yang sengit, terutama antara delegasi negara-negara sedang berkembang dan delegasi negara-negara industri maju. Perdebatan yang memakan waktu ratusan jam itu, menghasilkan kesepakatan yang dihimpun dalam Agenda 21, yang diharapkan diwujudkan masing-masing negara. Agenda 21 mencangkup Principles of Forestry (Prinsip-prinsip Kehutanan), yang berkaitan erat dengan kepentingan negara kita. Dalam KTT bumi, hutan tropis banyak dibicarakan, karena fungsinya sebagai “paru-paru” bumi. Untuk merealisasikan berbagai program yang tercantum dalam Agenda 21, diperlukan dana yang harus tersedia secara konstan. Sewajarnya negara-negara industri maju memprakarsai pengumpulan dana lingkungan global tersebut. Kini, hamper 19 tahun kemudian, kerusakan hutan tropis nyaris tak terkendali, kondisi lingkungan hidup semakin merana, dan bumi pun makin tak nyaman. Apakabar Rio de Janeiro, apakabar KTT Bumi ? (Atep Afia). Sumber Gambar : http://www.travelingtexasduo.com/wp-content/uploads/2011/03/RioDeJaneiroMap.jpg

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun